Penulis: Suzanne
Collins
Mataku melebar, Factionless
itu harapan terakhir yang kami miliki, karena sekarang setengah Dauntless
loyal dan seluruh faksi Candor sudah bisa dipengaruhi simulasi, serta setengah
faksi Abnegation sudah meninggal.
“Jangan katakan. Toh aku bakal mati. Jangan katakan apa-apa
kepadanya.”
“Ingatkan aku, Mr. Eaton,” kata Jeanine. “Apa yang dilakukan
simulasi Dauntless?”
“Ini bukan di kelas,” jawab Tobias melalui gigi terkatup.
“Katakan apa yang akan kau lakukan.”
“Tentu saja, asalkan kau menjawab pertanyaan sederhanaku.”
“Baik.” Mata Tobias beralih ke arahku. “Simulasi itu
menstimulasi amigdala, yang berfungsi untuk memproses rasa takut, menyebabkan
halusinasi berdasarkan rasa takut itu, lalu menyampaikan datanya ke komputer untuk
diproses dan diteliti.”
Kedengarannya Tobias sudah sering menghafalkan itu. Mungkin
memang begitu—lagi pula ia sering menjalankan simulasi.
“Bagus,” puji Jeanine. “Bertahun-tahun lalu, saat aku
mengembangkan simulasi Dauntless, kami menemukan bahwa kadar tertentu dapat
membuat otak kewalahan dengan teror sehingga tak mampu memahaminya dan
menciptakan lingkungan baru. Itulah sebabnya, kami mengencerkan larutan ini
sehingga simulasinya bisa lebih dipahami. Tapi, aku masih ingat cara
membuatnya.”
Ia menjentikkan kukunya ke alat suntik itu.
“Rasa takut,” katanya, “lebih kuat daripada rasa sakit.
Jadi, ada yang ingin kau katakan sebelum aku menyuntik Ms. Prior?”
Tobias mengatupkan bibirnya rapat-rapt.
Dan, Jeanine menyuntikkan jarum itu.
***
Awalnya pelan, hanya ada degup jantung. Awalnya aku tak
yakin degup jantung siapa yang kudengar, karena bunyinya terlalu kuat dan tak
mungkin itu jantungku. Tapi kemudian, aku sadar itu bunyi jantungku, dan
bunyinya semakin cepat dan semakin kencang.
Keringat berkumpul di telapak tanganku dan di belakang
lututku.
Lalu, aku harus menarik napas kuat-kuat agar bisa bernapas.
Saat itulah aku mulai menjerit.
Dan aku
Tak bisa
Berpikir.
***
Tobias berkelahi dengan Dauntless pembelot di pintu.
Aku mendengar suara seperti teriakan anak kecil di sampingku
dan menoleh untuk melihat sumbernya, tapi yang ada di sana hanyalah alat pantau
jantung. Di atasku, garis-garis di antara lempengan plafon saling bertumpuk dan
berpuntir membentuk makhluk-makhluk mengerikan. Bau daging busuk menguar di
udara, membuatku mual. Makhluk-makhluk mengerikan tadi mulai mewujud—burung,
burung gagak, dengan paruh sepanjang lenganku dan sayap yang begitu hitam
sehingga seolah-olah menelan seluruh cahaya.
“Tris,” Tobias memanggil. Aku mengalihkan pandangan dari
burung-burung gagak itu.
Tobias berdiri di dekat pintu, di tempat yang sama sebelum
aku disuntik. Namun sekarang, ia punya pisau. Ia mengacungkan pisau itu dan
memegangnya dengan sedemikian rupa sehingga bilahnya mengarah ke dalam, ke perutnya.
Lalu, ia menggerakkan pisau itu ke tubuhnya, menyentuhkan ujungnya ke perut.
“Apa yang kau lakukan? Hentikan!”
Tobias tersenyum sedikit dan berkata, “Aku melakukan ini
untukmu.”
Ia menekankan pisau itu ke dalam, dengan pelan, dan darah
menodai kemejanya. Aku tercekik dan meronta melawan tali yang menahanku di
meja. “Jangan! Hentikan!” Aku meronta-ronta. Di dalam simulasi, aku pasti bisa
membebaskan diri, jadi ini pasti nyata. Ini nyata. Aku menjerit sementara
Tobias menghunjamkan pisau itu hingga gagangnya. Ia roboh ke lantai. Darahnya
tumpah dengan cepat di sekelilingnya. Burung-burung hitam mengalihakan
pandangan mereka ke arah Tobias, lalu menyerbu bagai tornado yang penuh dengan
sayap dan paruh, mematuki kulit Tobias. Aku melihat mata Tobias di antara
pusaran bulu-bulu itu. Ia masih sadar.
Seekor burung mendarat di jari Tobias yang memegang pisau.
Tobias mengangkat pisau dan benda itu berkelontangan di lantai. Aku seharusnya
berharap Tobias sudah mati, tapi aku terlalu egois sehingga tak sanggup
melakukan itu. Punggungku terangkat dari meja. Seluruh ototku tegang.
Kerongkonganku sakit karena menjerit-jeritkan kata-kata yang tak bisa dipahami,
tanpa henti.
***
“Obat penenang,” perintah suara tegas.
Jarum lain memasuki leherku, lalu degup jantungku mulai
melambat. Aku terisak lega. Selama beberapa saat, yang bisa kulakukan hanyalah
terisak lega.
Yang tadi itu bukan rasa takut. Yang tadi itu sesuatu yang
lain. Emosi yang seharusnya tidak pernah ada.
“Lepaskan aku,” pinta Tobias, suaranya terdengar lebih serak
dibandingkan tadi. Aku mengerjapkan mata dengan cepat sehingga bisa melihatnya
dari balik air mataku. Ada noda merah di lengannya, di tempat Dauntless
pembelok memeganginya. Namun, Tobias tidak sekarat. Ia tidak apa-apa. “Aku
hanya mau mengatakannya kalau kau melepaskanku.”
Jeanine mengangguk. Tobias segera menyerbu ke arahku. Ia
memegangi tanganku dengan satu tangan dan membelai rambutku dengan tangan yang
lain. Jari-jarinya basah terkena air mata. Ia tidak menyekanya. Ia hanya
menyandarkan keningnya ke keningku.
“Rumah aman factionless,”
katanya pelan, tepat di pipiku. “Ambilkan peta, biar aku tandai tempatnya
untukmu.”
Dahi Tobias terasa dingin dan kering di dahiku. Otot-ototku
sakit, mungkin karena Jeanine membiarkanku terikat selama serum tadi mengalir
di tubuhku.
Tobias mundur. Jari-jarinya menyelimuti jari-jariku selama
mungkin hingga Dauntless pembelot menariknya dari genggamanku dan membawanya ke
tempat lain. Tanganku terkulai lemas di meja. Aku tak ingin lagi berusaha
melepaskan diri dari ikatan itu. Yang kuinginkan hanya tidur.
“Sementara kau di sini...,” kata Jeanine saat Tobias dan
pengawalnya pergi. Ia mendongak dan mengarahkan mata pucatnya ke salah satu
Erudite. “Jemput dan bawa ia ke sini. Sudah saatnya.”
Jeanine kembali menunduk memandangku.
“Sementara kau tidur, kami akan melakukan prosedur singkat
untuk mengamati beberapa hal di otakmu. Tidak invasif. Tapi, sebelum itu ...
aku sudah berjanji akan memberitahumu tentang prosedur-prosedur ini. Jadi,
kurasa cukup adil kalau kau tahu siapa yang membantuku.” Jeanine tersenyum
sedikit. “Siapa yang memberitahuku bahwa ada tiga faksi dari hasil tes
kecakapanmu, bagaimana cara terbaik agar kau kemari, dan memberi tahu agar
memasukkan ibumu ke dalam simulasi terakhir suapa lebih efektif.”
Jeanine memandang ke pintu saat obat penenang itu mulai
bekerja, membuat tepi segala sesuatunya tampak kabur. Aku menoleh ke balik
bahuku. Lalu, aku melihatnya dari balik kabut obat.
Caleb.[]
No comments:
Post a Comment