Insurgent (Divergent #2) (62)

Penulis: Suzanne Collins

Mataku melebar, Factionless itu harapan terakhir yang kami miliki, karena sekarang setengah Dauntless loyal dan seluruh faksi Candor sudah bisa dipengaruhi simulasi, serta setengah faksi Abnegation sudah meninggal.

“Jangan katakan. Toh aku bakal mati. Jangan katakan apa-apa kepadanya.”

“Ingatkan aku, Mr. Eaton,” kata Jeanine. “Apa yang dilakukan simulasi Dauntless?”

“Ini bukan di kelas,” jawab Tobias melalui gigi terkatup. “Katakan apa yang akan kau lakukan.”

“Tentu saja, asalkan kau menjawab pertanyaan sederhanaku.”

“Baik.” Mata Tobias beralih ke arahku. “Simulasi itu menstimulasi amigdala, yang berfungsi untuk memproses rasa takut, menyebabkan halusinasi berdasarkan rasa takut itu, lalu menyampaikan datanya ke komputer untuk diproses dan diteliti.”

Kedengarannya Tobias sudah sering menghafalkan itu. Mungkin memang begitu—lagi pula ia sering menjalankan simulasi.

“Bagus,” puji Jeanine. “Bertahun-tahun lalu, saat aku mengembangkan simulasi Dauntless, kami menemukan bahwa kadar tertentu dapat membuat otak kewalahan dengan teror sehingga tak mampu memahaminya dan menciptakan lingkungan baru. Itulah sebabnya, kami mengencerkan larutan ini sehingga simulasinya bisa lebih dipahami. Tapi, aku masih ingat cara membuatnya.”

Ia menjentikkan kukunya ke alat suntik itu.

“Rasa takut,” katanya, “lebih kuat daripada rasa sakit. Jadi, ada yang ingin kau katakan sebelum aku menyuntik Ms. Prior?”

Tobias mengatupkan bibirnya rapat-rapt.

Dan, Jeanine menyuntikkan jarum itu.
***

Awalnya pelan, hanya ada degup jantung. Awalnya aku tak yakin degup jantung siapa yang kudengar, karena bunyinya terlalu kuat dan tak mungkin itu jantungku. Tapi kemudian, aku sadar itu bunyi jantungku, dan bunyinya semakin cepat dan semakin kencang.

Keringat berkumpul di telapak tanganku dan di belakang lututku.

Lalu, aku harus menarik napas kuat-kuat agar bisa bernapas.

Saat itulah aku mulai menjerit.

Dan aku

Tak bisa

Berpikir.
***

Tobias berkelahi dengan Dauntless pembelot di pintu.

Aku mendengar suara seperti teriakan anak kecil di sampingku dan menoleh untuk melihat sumbernya, tapi yang ada di sana hanyalah alat pantau jantung. Di atasku, garis-garis di antara lempengan plafon saling bertumpuk dan berpuntir membentuk makhluk-makhluk mengerikan. Bau daging busuk menguar di udara, membuatku mual. Makhluk-makhluk mengerikan tadi mulai mewujud—burung, burung gagak, dengan paruh sepanjang lenganku dan sayap yang begitu hitam sehingga seolah-olah menelan seluruh cahaya.

“Tris,” Tobias memanggil. Aku mengalihkan pandangan dari burung-burung gagak itu.

Tobias berdiri di dekat pintu, di tempat yang sama sebelum aku disuntik. Namun sekarang, ia punya pisau. Ia mengacungkan pisau itu dan memegangnya dengan sedemikian rupa sehingga bilahnya mengarah ke dalam, ke perutnya. Lalu, ia menggerakkan pisau itu ke tubuhnya, menyentuhkan ujungnya ke perut.

“Apa yang kau lakukan? Hentikan!”

Tobias tersenyum sedikit dan berkata, “Aku melakukan ini untukmu.”

Ia menekankan pisau itu ke dalam, dengan pelan, dan darah menodai kemejanya. Aku tercekik dan meronta melawan tali yang menahanku di meja. “Jangan! Hentikan!” Aku meronta-ronta. Di dalam simulasi, aku pasti bisa membebaskan diri, jadi ini pasti nyata. Ini nyata. Aku menjerit sementara Tobias menghunjamkan pisau itu hingga gagangnya. Ia roboh ke lantai. Darahnya tumpah dengan cepat di sekelilingnya. Burung-burung hitam mengalihakan pandangan mereka ke arah Tobias, lalu menyerbu bagai tornado yang penuh dengan sayap dan paruh, mematuki kulit Tobias. Aku melihat mata Tobias di antara pusaran bulu-bulu itu. Ia masih sadar.

Seekor burung mendarat di jari Tobias yang memegang pisau. Tobias mengangkat pisau dan benda itu berkelontangan di lantai. Aku seharusnya berharap Tobias sudah mati, tapi aku terlalu egois sehingga tak sanggup melakukan itu. Punggungku terangkat dari meja. Seluruh ototku tegang. Kerongkonganku sakit karena menjerit-jeritkan kata-kata yang tak bisa dipahami, tanpa henti.
***

“Obat penenang,” perintah suara tegas.

Jarum lain memasuki leherku, lalu degup jantungku mulai melambat. Aku terisak lega. Selama beberapa saat, yang bisa kulakukan hanyalah terisak lega.

Yang tadi itu bukan rasa takut. Yang tadi itu sesuatu yang lain. Emosi yang seharusnya tidak pernah ada.

“Lepaskan aku,” pinta Tobias, suaranya terdengar lebih serak dibandingkan tadi. Aku mengerjapkan mata dengan cepat sehingga bisa melihatnya dari balik air mataku. Ada noda merah di lengannya, di tempat Dauntless pembelok memeganginya. Namun, Tobias tidak sekarat. Ia tidak apa-apa. “Aku hanya mau mengatakannya kalau kau melepaskanku.”

Jeanine mengangguk. Tobias segera menyerbu ke arahku. Ia memegangi tanganku dengan satu tangan dan membelai rambutku dengan tangan yang lain. Jari-jarinya basah terkena air mata. Ia tidak menyekanya. Ia hanya menyandarkan keningnya ke keningku.

“Rumah aman factionless,” katanya pelan, tepat di pipiku. “Ambilkan peta, biar aku tandai tempatnya untukmu.”

Dahi Tobias terasa dingin dan kering di dahiku. Otot-ototku sakit, mungkin karena Jeanine membiarkanku terikat selama serum tadi mengalir di tubuhku.

Tobias mundur. Jari-jarinya menyelimuti jari-jariku selama mungkin hingga Dauntless pembelot menariknya dari genggamanku dan membawanya ke tempat lain. Tanganku terkulai lemas di meja. Aku tak ingin lagi berusaha melepaskan diri dari ikatan itu. Yang kuinginkan hanya tidur.

“Sementara kau di sini...,” kata Jeanine saat Tobias dan pengawalnya pergi. Ia mendongak dan mengarahkan mata pucatnya ke salah satu Erudite. “Jemput dan bawa ia ke sini. Sudah saatnya.”

Jeanine kembali menunduk memandangku.

“Sementara kau tidur, kami akan melakukan prosedur singkat untuk mengamati beberapa hal di otakmu. Tidak invasif. Tapi, sebelum itu ... aku sudah berjanji akan memberitahumu tentang prosedur-prosedur ini. Jadi, kurasa cukup adil kalau kau tahu siapa yang membantuku.” Jeanine tersenyum sedikit. “Siapa yang memberitahuku bahwa ada tiga faksi dari hasil tes kecakapanmu, bagaimana cara terbaik agar kau kemari, dan memberi tahu agar memasukkan ibumu ke dalam simulasi terakhir suapa lebih efektif.”

Jeanine memandang ke pintu saat obat penenang itu mulai bekerja, membuat tepi segala sesuatunya tampak kabur. Aku menoleh ke balik bahuku. Lalu, aku melihatnya dari balik kabut obat.

Caleb.[]



No comments:

Post a Comment