Penulis: Suzanne
Collins
Kami terus berjalan. Tapi, sesuatu yang ibuku katakan
menggangguku. Apakah itu yang ia katakan tentang ayahku? Bukan—ayahku memang
selalu mengeluhkan Erudite. Apakah itu yang ibuku katakan tentang faksi
Erudite? Aku melompati pecahan kaca yang besar. Bukan, pasti bukan. Ia benar
tentnag Erudite. Semua guruku itu orang Erudite, begitu juga dengan dokter yang
mengobati lengan ibuku yang patah beberapa tahun lalu.
Bagian terakhirnya. “Ingatlah itu.” Seakan-akan ia tak akan
sempat mengingatkanku nanti.
Aku merasakan sesuatu bergeser di benakku, seperti sesuatu
yang tadinya tertutup sekarang terbuka.
“Bu?” aku memanggil.
Ia menoleh ke belakang. Rambut pirang terlepas dari ikatan
dan menjuntai ke pipinya.
“Aku menyayangimu.”
Aku menunjuk ke jendela kiriku, dan jendela itu meledak.
Pecahan kaca menghujani kami.
Aku tak ingin terbangun dalam kamar di markas Erudite, jadi
aku tidak langsung membuka mata, bahkan saat simulasi itu menghilang. Aku
berusaha mempertahankan bayangan ibuku dan rambut yang menjuntai ke pipinya
selama mungkin. Namun, saat yang bisa kulihat hanyalah warna merah kelopak
mataku, aku pun membuka mata.
“Kau seharusnya melakukan yang lebih baik daripada itu,”
kataku kepada Jeanine.
Ia menjawab, “Ini baru permulaan.”[]
31
Malam itu aku bermimpi. Bukan tentang Tobias. Bukan tentang
Will. Tapi tentang ibuku. Kami berdiri di kebun Amity. Apel-apel meranum dan
bergantung beberapa senti di atas kepala kami. Bayang-bayang dedaunan melukis
wajahnya. Ibuku mengenakan pakaian hitam, walaupun aku tak pernah melihatnya
mengenakan pakaian hitam saat ia masih hidup. Ia sedang mengajariku cara
mengepang rambut, menunjukkannya dengan menggunakan rambutnya, tertawa saat
jari-jariku meraba-raba.
Aku terbangun dan bertanya-tanya mengapa aku tak menyadari
betapa ia penuh dengan energi Dauntless yang siap meledak, padahal aku biasa
duduk di depannya di meja. Apakah karena ia menyembunyikannya dengan baik.
Ataukah karena aku tak memperhatikannya?
Aku mengubur wajahku ke matras tipis yang kutiduri. Aku tak
akan pernah mengenal ibuku. Tapi, setidaknya ia juga tak akan pernah tahu apa
yang kulakukan terhadap Will. Saat ini, kurasa aku tak sanggup menanggungnya
jika ibuku mengetahui itu.
Aku masih mengerjapkan mata untuk menghilangkan kabut kantuk
dari mataku saat membuntuti Peter menyusuri koridor, entah berapa detik atau
menit kemudian.
“Peter.” Kerongkonganku sakit. Pasti aku berteriak waktu
tidur tadi. “Jam berapa sekarang?”
Ia mengenakan jam tangan, tapi bagian mukanya tertutup sehingga
aku tak bisa membacanya. Ia tak memandang jam tangannya.
“Kenapa kau selalu mengawalku ke mana-mana?” tanyaku.
“Apakah tak ada kegiatan buruk harus kau ikuti? Menendang anak anjing atau
memata-matai perempuan yang sedang ganti pakaian, atau semacamnya?”
“Aku tahu apa yang kau lakukan terhadap Will. Jangan
pura-pura lebih baik dariku karena kita ini, aku dan kau, sama.”
Satu-satunya yang membedakan koridor yang satu dengan
lainnya di sini adalah panjangnya. Aku memutuskan untuk menamainya sesuai dengan
jumlah langkah kakiku sebelum berbelok. Sepuluh. Empat puluh tujuh. Dua puluh
sembilan.
“Kau salah,” kataku. “Kita berdua mungkin memang orang yang
buruk, tapi ada perbedaan besar di antara kita—aku tak suka menjadi seperti
ini.”
Peter mendengus sedikit, dan kami berjalan di antara
meja-meja laboratorium Erudite. Saat itulah aku sadar di mana aku berada, dan
ke mana kami berjalan: kembali ke ruangan yang ditunjukkan Jeanine kepadaku.
Ruangan tempak eksekusiku. Aku menggigil begitu keras sehingga gigiku
bergemelutuk. Rasanya sulit untuk terus berjalan dan menjaga pikiranku tetap
lurus. Ini cuma ruangan, kataku
kepada diri sendiri. Cuma ruangan seperti
ruangan lainnya.
Aku ini pembohong.
Kali ini, ruangan eksekusi itu tidak kosong. Empat Dauntless
pembelot berputar-putar di salah satu sudut. Dua orang Erudite, wanita berkulit
gelap dan lelaki yang lebih tua, keduanya mengenakan jas lab, berdiri bersama
Jeanine di dekat meja logam di tengah ruangan. Sejumlah mesin dipasang
mengelilinginya dan di mana-mana ada kabel.
Aku tak tahu apa kegunaan mesin-mesin itu, tapi di antaranya
ada satu pemantau jantung. Apa yang akan Jeanine lakukans sehingga memerlukan
pemantau jantung?
“Naikkan ia ke meja,” kata Jeanine, terdengar bosan. Sejenak
aku menatap lembaran baja yang menantiku. Bagaimana jika ia berubah pikiran dan
tak mau menunggu untuk mengeksekusiku? Bagaimana jika ini saatnya aku mati?
Tangan Peter mencengkeram lenganku dan aku menggeliat, mengerahkan segenap
kekuatanku untuk meronta.
Tapi, Peter mengangkatku, menghindari kakiku yang
menendang-nendang, dan mengempaskanku ke lempengan logam itu sehingga napasku
tersentak keluar. Aku terkesiap, dan melemparkan tinju ke apa pun yang bisa
kuhantam, yang ternyata hanya pergelangan tangan Peter. Ia meringis, tapi
sekarang Dauntless pembelot lain datang untuk membantu.
Salah satu dari mereka memegangi pergelangan kakiku dan yang
lain menahan bahuku saat Peter memasang tali pengikat hitam di tubuhku yang
terluka terasa sakit dan berhenti melawan.
“Ada apa ini?” aku menuntuk sambil mengulurkan leher untuk
memandang Jeanine. “Kita sudah sepakat—aku menurut dengan imbalan melihat
hasilnya! Kita sudah sepakat—”
“Ini sama sekali tak ada kaitannya dengan kesepakatan kita,”
ujar Jeanine sambil melirik jam tangannya. “Ini bukan tentang dirimu,
Beatrice.”
Pintu terbuka lagi.
Tobias berjalan masuk—dengan terpincang-pincang—dan diapit oleh Dauntless pembelot. Wajahnya
memar dan ada luka sobekan di atas alisnya. Ia tidak berjalan seperti biasa. Ia
menguatkan diri agar tubuhnya tetap tegak. Pasti ia terluka. Aku berusaha untuk
tidak memikirkan bagaimana ia bisa sampai begitu.
“Apa ini?” tanyanya, suaranya kasar dan parau.
Akibat berteriak, mungkin.
Kerongkonganku seakan membengkak.
“Tris,” panggil Tobias sambil meluncur ke arahku, tapi kedua
Dauntless pembelot itu bergerak lebih cepat. Mereka meraihnya sebelum Tobias
bisa berjalan lebih dari beberapa langkah. “Tris, kau baik-baik saja?”
“Ya,” aku menjawab. “Kau?”
Tobias mengangguk. Aku tak memercayainya.
“Mr. Eaton, kupikir daripada membuang-buang waktu, lebih
baik aku mengambil pendekatan yang paling masuk akal. Tentu saja aku ingin
menggunakan serum kejujuran, tapi perlu berhari-hari untuk memaksa Jack Kang
menyerahkan sebagian serum Kejujuran yang ia miliki dan dijaga ketak oleh faksi
Candor itu, dan aku tak mau membuang-buang waktu lagi.” Jeanine melangkah maju
dengan tangan memegang jarum suntik. Serum di dalamnya berwarna abu-abu.
Mungkin itu serum simulasi versi baru, tapi aku meragukannya.
Aku penasaran apa kegunaannya. Pastilah tidak bagus karena
Jeanine tampak begitu puas dengan dirinya.
“Beberapa detik lagi, aku akan menyuntikkan cairan ini ke
Tris. Aku yakin pada saat itu naluri tanpa pamrihmu akan mengambil alih, lalu
kau akan mengatakan apa yang ingin kuketahui.”
“Jeanine ingin tahu apa?” tanyaku, menyela Jeanine.
“Informasi tentang rumah aman factionless,” jawab Tobias tanpa memandangku.
No comments:
Post a Comment