Insurgent (Divergent #2) (60)

Penulis: Suzanne Collins

Sepatu Peter berdecit saat ia berbalik untuk pergi.

“Tunggu!” Aku memandang sosoknya yang kabur, tak bisa melihat wajahnya. “Apa yang akan mereka lakukan kepadanya? Sama seperti yang mereka lakukan terhadapku?”

“Entahlah.”

“Bisakah kau mencari tahu?” Aku mengelap pipiku dengan tumit tanganku, frustrasi. “Setidaknya bisakah kau menyelidiki apakah ia baik-baik saja?”

Peter menjawab, “Kenapa aku harus melakukan itu? Kenapa aku harus melakukan sesuatu untukmu?”

Sesaat kemudian, aku mendengar pintu bergeser menutup.[]

30

Aku pernah membaca bahwa menangis itu tak dapat dijelaskan secara ilmiah. Fungsi air mata hanyalah untuk membasahi mata. Tak ada alasan yang jelas mengapa kelenjar air mata memproduksi banyak air mata saat emosi.

Menurutku kita menangis untuk melepaskan bagian hewani dari diri kita tanpa kehilangan kemanusiaan kita. Karena di dalam diriku ada hewan buas yang menggeram, meraung, dan meronta demi kebebasan, demi Tobias, dan, di atas semua itu, demi hidup. Dan, walaupun aku sudah berusaha sekuat mungkin, aku tak mampu membunuhnya.

Jadi, aku hanya menangis ke tanganku.
***

Kiri, kanan, kanan. Kiri, kanan, kiri. Kanan, kanan. Itu belokan yang kami lewati dari tempat asal kami—selku—ke tempat tujuan kami.

Ruangan baru. Di ruangan ini ada kursi yang agak miring, seperti kursi dokter gigi. Di salah satu sudutnya ada layar dan meja. Jeanine duduk di meja itu.

“Di mana ia?” tanyaku.

Aku sudah menunggu berjam-jam untuk menanyakan itu. Aku tertidur dan bermimpi mengejar Tobias di markas Dauntless. Namun, seberapa kencang pun aku berlari, Tobias selalu berada jauh di depanku saat lenyap di belokan dan aku hanya bisa melihat sekilas lengan baju atau tumit sepatu.

Jeanine memandangku penuh tanya. Namun, ia tidak bingung. Ia mempermainkanku.

“Tobias,” aku melanjutkan. Tanganku gemetar, kali ini bukan karena takut—melainkan karena marah. “Di mana ia? Apa yang kau lakukan kepadanya?”

“Rasanya tak ada alasan untuk memberikan informasi itu,” kata Jeanine. “Dan, karena kau sudah tak punya sesuatu yang  bisa ditawarkan lagi, aku pikir kau tak mungkin bisa memberikan alasan apa pun, kecuali jika kau ingin mengubah kesepatakan kita.

Aku ingin menjerit karena tentu saja, tentu saja aku lebih ingin tahu tentang Tobias daripada tentang Divergentku, tapi aku hanya diam. Aku tak boleh mengambil keputusan secara gegabah. Jeanine akan melaksanakan apa pun yang ingin ia lakukan terhadap Tobias, baik aku tahu ataupun tidak. Lebih baik aku benar-benar memahami apa yang terjadi pada diriku.

Aku menarik napas melalui hidung, dan mengeluarkannya melalui hidung juga. Aku mengibaskan tanganku. Lalu, aku duduk di kursi.

“Menarik,” Jeanine berkomentar.

“Bukankah kau seharusnya memerintah faksi dan merencanakan perang?” tanyaku. “Kenapa kau justru di sini dan mengetes gadis enam belas tahun?”

“Kau menggunakan cara yang berbeda untuk menyebut dirimu sendiri, tergantung mana yang nyaman,” komentarnya sambil bersandar di kursi. “Terkadang, kau berkeras bahwa kau itu bukan gadis kecil, tapi terkadang kau bersikukuh kau hanyalah gadis kecil. Yang membuatku penasaran adalah: Bagaimana sebenarnya caramu memandang dirimu sendiri? Sebagai gadis kecil atau bukan? Dua-duanya? Atau bukan dua-duanya?”

Aku membuat nadaku datar dan lugas, seperti Jeanine. “Rasanya tak ada alasan untuk memberikan informasi itu.”

Aku mendengar dengusan pelan. Peter menutup mulutnya. Jeanine memelototi Peter, yang langsung mengubah tawanya menjadi batuk.

“Olok-olok itu kekanakan, Beatrice,” kata Jeanine. “Tak cocok untukmu.”

Olok-olok itu kekanakan, Beatrice,” aku mengulangi sambil meniru suaranya sebaik mungkin. “Tak cocok untukmu.”

“Serumnya,” kata Jeanine sambil memandang Peter. Peter melangkah maju dan merogoh kotak hitam di meja, lalu mengeluarkan alat suntuk dengan jarumnya.

Peter menghampiriku, dan aku mengulurkan tanganku.

“Biar aku saja,” kataku.

Peter memandang Jeanine meminta izin dan Jeanine berkata, “Baiklah.” Peter menyerahkan jarum suntik itu kepadaku dan aku menusukkan isinya. Jeanine menekan sebuah tombol dengan jarinya. Lalu, segalanya gelap.
***

Ibuku berdiri di lorong dengan lengan terulur ke atas sehingga ia bisa memegang tiang itu. Ia menoleh, bukan ke orang-orang yang duduk di sekelilingku, melainkan ke arah kota yang kami lewati saat bus meluncur maju. Aku melihat keriput di kening dan di sekeliling mulutnya saat ia mengerutkan dahi.

“Ada apa”” aku bertanya.

“Banyak yang harus dilakukan,” katanya sambil memberi isyarat kecil ke arah jendela bus. “Dan hanya ada sedikit orang yang tersisa untuk melakukannya.

Maksud ibuku sudah jelas. Di luar bus ada puing-puing sejauh mataku memandang. Di seberang jalan, sebuah bangunan berdiri di antara puing-puing itu. Pecahan kaca mengotori gang-gang. Aku bertanya-tanya apa yang menyebabkan kerusakan itu.

“Kita ke mana?” tanyaku.

Ibuku tersenyum ke arahku, dan aku melihat kerutan lain, di sudut matanya. “Kita ke markas Erudite.”

Aku mengerutkan kening. Hampir sepanjang hidupku, aku menghindari markas Erudite. Bahkan, ayahku, sering bilang ia tak suka menghirup udara di sana. “Kenapa kita ke sana?”

“Mereka akan membantu kita.”

Kenapa perutku tiba-tiba terasa sakit saat aku memikirkan ayahku? Aku membayangkan wajah ayahku, yang lapuk akibat frustrasi berkepanjangan terhadap dunia disekelilingnya, serta rambutnya, yang dijaga agar tetap pendek sesuai standar faksi Abnegation, dan merasakan rasa sakit di perutku seperti ketika aku tidak makan untuk waktu yang lama—rasa sakit yang kosong.

“Ada yang terjadi pada Ayah?” tanyaku.

Ibuku menggeleng. “Kenapa kau bertanya begitu?”

“Entahlah.”

Aku tak merasakan sakit itu saat memandang ibuku. Tapi, aku merasa seakan-akan setiap detik yang kami habiskan dengan berdiri sejarak beberapa senti ini haruslah terpatri di benakku sehingga seluruh ingatanku hafal bentuknya. Tapi, jika ibuku tidak permanen, ia itu apa?

Bus berhenti dan pintunya berderak terbuka. Ibuku berjalan menyusuri lorong dan aku mengikutinya. Ia lebih tinggi dariku, jadi aku menatap di antara bahunya, di atas tulang punggungnya. Ia tampak rapuh, padahal sebenarnya tidak.

Aku turun ke trotoar. Pecahan kaca berbunyi di bawah kakiku. Warnanya biru dan dulunya adalah jendela, dilihat dari lubang-lubang di bangunan di kananku.

“Apa yang terjadi?”

“Perang,” kata ibuku. “Ini yang selama ini kita hindari.”

“Dan faksi Erudite akan membantu kita ... dengan melakukan apa?”

“Aku khawatir kau memandangErudite itu buruk karena semua pidato ayahmu tentang mereka,” ujar ibuku dengan lembut. “Mereka memang membuat kesalahan, tapi mereka, seperti semua orang, punya sifat baik sekaligus sifat buruk, bukan hanya salah satu. Apa yang akan kita lakukan tanpa dokter, ilmuwan, dan guru?”

Ia membelai rambutku.

“Ingatlah itu, Beatrice.”

“Ya,” aku berjanji.



No comments:

Post a Comment