Insurgent (Divergent #2) (59)

Penulis: Suzanne Collins

Peter berdiri sangat dekat di belakangku—siap merenggutku jika aku menyerang seseorang. Tapi, aku tak akan menyerang siapa pun. Kalau aku melakukannya, aku bisa kabur sampai mana? Lari ke satu koridor, atau dua? Lalu, aku pasti tersesat. Aku tak bisa keluar dari tempat ini, bahkan kalau tak ada penjaga yang menjagaku supaya tidak kabur.

“Letakkan di sana,” perintah Jeanine sambil menunjuk ke layar besar di dinding kiri. Salah seorang ilmuwan Erudite mengetuk layar komputernya, lalu sebuah gambar muncul di dinding kiri itu. Gambar otakku.

Aku tak mengerti apa yang aku lihat. Aku tahu bentuk otak itu seperti apa, dan apa fungsi setiap bagiannya, secara umum. Namun, aku tak tahu seperti apa otakku dibandingkan otak orang lain. Jeanine mengetuk-ngetuk dagunya dan menatap lama sekali.

Akhirnya ia berkata, “Ada yang bisa menjelaskan pada Ms. Prior mengenai fungsi korteks prefrontal?”

“Korteks prefrontal adalah area otak yang ada di belakang dahi,” sahut salah seorang ilmuwan. Ia tampanya tidak jauh lebih tua dibandingkan aku, dan mengenakan kacamata bulat besar yang menyebabkan matanya terlihat lebih besar. Fungsinya adalah mengatur pikiran dan tindakan untuk mencapai tujuan.”

“Benar,” Jeanine memuji. “Nah, sekarang tolong terangkan apa hasil pengamatan mereka terhadap korteks profrontal lateral Ms. Prior.”

“Besar,” sahut ilmuwan lain—kali ini seorang pria dengan rambut yang menipis.

“Maksudnya?” ujar Jeanine. Seolah memarahi pria itu.

Aku sadar aku ada di sebuah kelas, karena setiap ruangan dengan lebih dari satu orang Erudite adalah sebuah kelas. Dan di antara mereka, Jeanine adalah guru yang paling disegani. Mereka semua menatap Jeanine dengan mata melebar dan bersemangat, serta mulut terbuka, menanti untuk membuatnya terkesan.

“Ukurannya lebih besar dibandingkan rata-rata,” pria berambut menipis itu mengoreksi kata-katanya.

“Itu lebih bagus.” Jeanine memiringkan kepalanya. “Malahan, ini adalah salah satu korteks prefrontal lateral terbesar yang pernah kulihat. Namun, korteks orbitofrontalnya sangat kecil. Apa arti kedua hal tersebut?”

“Korteks orbitofrontal adalah pusat pnghargaan di otak. Orang yang menunjukkan perilaku mencari-penghargaan memiliki korteks orbitofrontal yang besar,” jawab seseorang. “Itu artinya Ms. Prior hanya sedikit menunjukkan perilaku mencari-penghargaan.”

“Bukan cuma itu.” Jeanine tersenyum sedikit. Cahaya biru dari layar membuat tulang pipi dan dahinya lebih terang, tapi menyebabkan lekuk matanya berbayang. “Bukan sekadar menunjukkan sesuatu mengenai perilakunya, tapi juga hasratnya. Ia tidak termotivasi dengan penghargaan. Namun, ia sangat pintar dalam mengarahkan pikiran dan tindakannya untuk meraih tujuannya. Ini menjelaskan mengapa ia memiliki kecenderungan perilaku yang berbahaya-tapi-tanpa-pamrih dan, mungkin, kemampuannya untuk keluar dari simulasi. Jadi, bagaimana pengaruh pengetahuan ini terhadap pengembangan serum simulasi baru kita?”

“Serum itu harus menekan sebagian, bukan seluruh, aktivitas di korteks prefrontal,” sahut ilmuwan dengan kacamata bulat.

“Persis,” kata Jeanine. Akhirnya, ia memandangku, matanya berbinar penuh rasa senang. “Itulah yang akan kita lakukan. Apakah aku sudah memenuhi kesepakatan kita, Ms. Prior?”

Mulutku kering sehingga sulit untuk menelan.

Apa yang akan terjadi jika mereka menekan aktivitas di korteks prefrontalku—jika mereka merusak kemampuanku untuk mengambil keputusan? Bagaimana jika serum itu berfungsi dan aku menjadi budak simulasi seperti semua orang? Bagaimana kalau aku benar-benar melupakan kenyataan?

Aku tak tahu bahwa seluruh kepribadianku, seluruh diriku, dapat dianggap sebagai hasil samping anatomiku. Bagaimana jika aku ini sebenarnya hanya seseorang dengan korteks prefrontal yang besar ... hanya itu?

“Ya,” aku menjawab. “Benar.”
***

Aku dan Peter berjalan kembali ke kamarku tanpa bicara. Kami berbelok ke kiri, dan melihat kerumunan orang berdiri di ujung koridor itu. Ini koridor terpanjang yang akan kami lalui, tapi jarak itu menyempit saat aku melihatnya.

Kedua lengannya dipegangi oleh Dauntless pembelot, dengan pistol dibidikkan ke belakang kepalanya.

Tobias, darah mengalir di samping wajahnya dan menodai kaus putihnya dengan warna merah. Tobias, teman Divergent, berdiri di mulut tungku yang akan membakarku.

Tangan Peter mencengkeram bahuku, menahanku di tempat.

“Tobias,” aku memanggil, dan suaraku seolah tersekat.

Dauntless pembelot dengan pistol itu mendorong Tobias ke arahku. Peter juga mencoba mendorongku maju, tapi kakiku seolah berakar di sana. Aku datang ke sini agar tak ada yang mati. Aku ke sini untuk melindungi banyak orang, sebanyak mungkin yang kubisa. Dan, aku lebih memikirkan keselamatan Tobias dibandingkan keselamatan orang lain. Jadi, kenapa aku di sini, jika ia ada di sini? Apa gunanya?

“Apa yang kau lakukan?” aku bergumam. Jarak Tobias sekarang hanya beberapa langkah dariku, tapi tidak cukup dekat untuk mendengarku. Saat melewatiku, ia mengulurkan tangannya. Ia menggenggam tanganku dan meremasnya. Meremas, lalu melepaskannya. Matanya merah. Wajahnya pucat.

“Apa yang kau lakukan?” Kali ini pertanyaan itu seakan merobek leherku, seperti geraman.

Aku melemparkan diriku ke arahnya, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Peter, walaupun tangannya kuat.

“Apa yang kau lakukan?” aku menjerit.

“Kau mati, aku juga mati.” Tobias menoleh ke belakang ke arahku. “Aku melarangmu melakukan ini. Kau memutuskan. Ini akibatnya.”

Tobias hilang di tikungan. Yang terakhir kulihat dari dirinya dan Dauntless pembelot yang mendorongnya adalah kilauan laras pistol dan darah di belakang daun telinganya akibat luka yang belum pernah kulihat.

Seluruh semangat hidupku lenyap begitu Tobias pergi. Aku berhenti melawan dan membiarkan tangan Peter mendorongku ke selku. Begitu masuk, aku langsung merosot ke lantai dan menunggu pintu tertutup yang menandakan kepergian Peter, tapi itu tak terjadi.

“Kenapa ia ke sini?” tanya Peter.

Aku mendongak memandangnya.

“Karena ia itu idiot.”

“Yah, memang.”

Aku menyandarkan kepalaku ke dinding.

“Apa ia berpikir bisa menyelamatkanmu?” Peter mendengus sedikit. “Kedengarannya seperti hal yang akan dilakukan orang Kaku.”

“Kurasa tidak,” aku menjawab. Jika Tobias berniat untuk menyelamatkanku, ia pasti akan memikirkannya secara saksama. Ia akan membawa yang lain. Ia tak akan menerobos markas Erudite sendirian.

Air mata menggenangi mataku, dan aku tidak mencoba berkedip untuk menyingkirkannya. Aku justru memandang melalui air mataku dan melihat keadaan di sekelilingku menjadi kabur. Beberapa hari yang lalu, aku tak akan menangis di depan Peter, tapi sekarang aku tak peduli. Ia bukan musuhku.

“Kurasa ia datang untuk mati bersamaku,” kataku. Aku mengatupkan tangan di mulutku untuk menahan isakan. Kalau aku bisa terus bernapas, aku bisa berhenti menangis. Aku tak mau dan tak butuh Tobias mati bersamaku. Aku ingin ia tetap aman. Dasar idiot, pikirku, tapi tidak dengan sepenuh hati.

“Itu konyol,” kata Peter. “Tak masuk akal. Umurnya delapan belas tahun. Ia bisa cari pacar lain kalau kau mati. Aku menutup mata. “Kalau kau berpikir begitu ...,” aku menelan isakan lain. “... kaulah yang bodoh.”

Yeah. Terserahlah.”



No comments:

Post a Comment