Insurgent (Divergent #2) (58)

Penulis: Suzanne Collins

“Karena itu, aku dan kawab-kawan ilmuwanku akan mempelajari dirimu, selama mungkin.” Ia tersenyum sedikit. “Kemudian, setelah mencapai kesimpulan dari penelitian ini, kau akan dieksekusi.”

Aku tahu itu. Aku tahu itu, jadi mengapa lututku terasa lemah? Mengapa perutku melilit? Mengapa?

“Eksekusinya akan diadakan di sini.” Ia menyusuri meja di bawahnya menggunakan ujung jari. “Di meja ini. Kupikir menunjukkannya kepadamu pastilah menarik.”

Ia ingin mempelajari reaksiku. Aku nyaris tak bernapas. Selama ini aku mengira kekejaman itu membutuhkan dendam, tapi ternyata tidak. Jeanine tak punya alasan untuk bertindak karena dendam. Tapi, ia kejam karena ia tak peduli dengan apa yang dilakukannya, asalkan itu menarik baginya. Aku ini seperti puzzle yang ingin diselesaikannya atau mesin rusak yang ingin diperbaikinya. Ia sanggup membuka tengkorakku hanya demi melihat cara kerja otakku. Aku akan mati di sini, dan aku akan bersyukur karenanya.

“Aku sudah menduga apa yang akan terjadi saat aku ke sini,” kataku. “Ini cuma meja. Dan, aku ingin kembali ke kamarku sekarang.”
***

Aku tak bisa memperkirakan waktu, setidaknya tidak seperti biasa seperti saat aku bisa mengetahui waktu dengan mudah. Jadi, saat pintu terbuka lagi dan Peter masuk ke selku, aku tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, yang kutahu hanya aku lelah.

“Ayo, Kaku,” katanya.

“Aku bukan orang Abnegation.” Aku merentangkan tangan ke atas hingga menyentuh dinding. “Dan, karena sekarang ini kau itu kacung Erudite, kau tak bisa memanggilku ‘Kaku’. Itu tidak pas.”

“Kubilang, ayo.”

“Lho, tak ada komentar menghina, nih?” Aku memandangnya sambil berpura-pura kaget. “Tak ada ‘Kau tolol sekali karena datang ke sini, otakmu pasti rusak seperti semua Divergent’?”

“Tak perlu dikatakan juga sudah jelas, kan?” balas Peter. “Kau yang berdiri atau aku yang menyeretmu ke koridor. Kau yang pilih.”

Aku merasa lebih tenang. Peter selalu kejam kepadaku. Aku mengenali ini.

Aku berdiri dan berjalan keluar ruangan. Saat berjalan itu, aku melihat lengan Peter yang kutembak dulu tidak lagi dibebat.

“Mereka mengobati luka tembakmu?”

“Ya,” jawabnya. “Sekarang, kau harus mencari titik kelemahan lain. Sayangnya aku tak punya lagi.” Ia meraih lenganku yang sehat dan berjalan lebih cepat, sambil menyeretku di sampingnya. “Kita terlambat.”

Walaupun koridor itu panjang dan kosong, langkah kaki kami tidak terlalu bergaung. Telingaku terasa seolah-olah ditutup seseorang dan aku baru menyadarinya. Aku berusaha menghitung koridor-koridor yang kami lewati, tapi kemudian kehilangan, aku lupa sampai mana hitunganku itu. Kami tiba di ujung sebuah koridor, lalu berbelok ke kiri memasuki ruangan suram yang mengingatkanku akan akuarium. Salah satu dindingnya terbuat dari cermin satu arah—bagian cerminnya di sisiku, tapi aku yakin di baliknya transparan.

Sebuah mesin besar berdiri di sisi seberang cermin itu, dengan baki sebesar manusia keluar dari sana. Aku ingat mesin itu ada di buku teks Sejarah Faksiku, di bagian Erudite dan pengobatan. Mesin MRI. Benda itu akan memotret otakku.

Sesuatu menyala di dalam diriku. Sudah lama sekali aku tak merasakannya sehingga nyaris tak mengenali perasaan itu. Rasa penasaran.

Suatu suara—suara Jeanine—terdengar dari interkom.

“Berbaringlah, Beatrice.”

Aku memandang baki seukuran manusi yang akan membawaku masuk ke mesin itu.

“Tidak.”

Ia menghela napas. “Kalau kau tak berbaring sendiri, kami akan memaksamu.”

Peter berdiri di belakangku. Bahkan dengan lengan terluka pun, ia lebih kuat dibandingkan aku. Aku membayangkan tangannya menyentuhku, memaksaku ke arah baki itu, menekanku ke logamnya, dan mengikatkan bebat yang tergantung dari baki itu di tubuhku dnegan sangat erat.

“Kita bikin kesepakatan,” kataku. “Kalau aku bekerja sama, aku boleh melihat hasil scan-nya.”

“Kau bakal bekerja sama, mau atau tidak.”

Aku mengangkat satu jari. “Itu tidak benar.”

Aku memandang cermin. Tidak sulit berbicara dengan bayanganku sendiri sambil berpura-pura bicara dengan Jeanine. Rambutku pirang seperti rambutnya. Wajah kami sama-sama pucat dan galak. Pikiran itu begitu menggangguku sehingga otakku kosong dan aku beridir tanpa berbicra denga jari teracung di udara selama beberapa saat.

Aku berkulit pucat, berambut pucat, dan dingin. Aku ingin tahu gambaran otakku. Aku seperti Jeanine. Aku bisa membencinya, menyerangnya, menghancurkannya ... atau aku bisa memanfaatkannya.

“Itu tidak benar,” aku mengulangi. “Kau tak akan bisa membuatku benar-benar diam agar fotonya jelas, berapa banyak pun tali yang kau gunakan.” Aku berdeham. “Aku mau melihat hasil scan itu. Toh pada akhirnya kau juga bakal membunuhku, jadi apa masalah kalau aku melihat otakku sendiri sebelum kau?”

Hening.

“Kenapa kau ingin melihatnya?” tanya Jeanine.

“Pasti kau, terutama, mengerti. Lagi pula, hasil tes kecakapanku menunjukkan Erudite, yang nilainya seimbang dengan Dauntless dan Abnegation.”

“Oke. Kau boleh melihatnya. Berbaringlah.”

Aku berjalan ke baki itu, lalu berbaring. Logamnya terasa seperti es. Baki itu bergerak sehingga aku sekarang berada di dalam mesin. Aku menatap warna putih. Waktu kecil, kupikir surga itu seperti ini, hanya ada cahaya putih tanpa yang lain. Sekarang, aku  tahu itu tidak benar karena cahaya putih itu mengancam.

Aku mendnegar bunyi bergedebuk, lalu aku menutup mata saat mengingat salah satu rintangan di ruang ketakutanku, tinju yang menghantam jendelaku dan orang-orang tak terlihat yang berusaha menculikku. Aku pura-pura menganggap bunyi itu bunyi jantung, bunyi drum. Air sungai menghantam dinding jurang di kompleks Dauntless. Kaki-kaki dijejakkan pada upacara akhir inisiasi. Kaki-kaki menjejak tangga setelah Upacara Pemilihan.

Aku tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu saat ketukan itu berhenti dan baki itu keluar. Aku duduk dan menggosok leherku dengan ujung-ujung jari.

Pintu terbuka, memperlihatkan Peter di koridor. Ia memanggilku. “Ayo. Kau bisa melihat hasil scan-nya sekarang.”

Aku melompat turun dari baki dan menghampirinya. Saat kami berjalan di koridor, ia menggeleng ke arahku.

“Apa?”

“Aku tak mengerti kenapa kau selalu bisa mendapatkan apa yang kau mau.”

Yeah, karena aku ingin dikurung dalam sel di markas Erudite. Aku ingin dieksekusi.”

Aku terdengar sombong, seakan-akan terbiasa menghadapi eksekusi. Tapi, saat bibirku mengucapkan kata “eksekusi”, aku bergidik. Aku pura-pura kedinginan dan meremas lenganku.

“Memangnya tidak?” kata Peter. “Maksudku, kau memang ke sini atas keinginan sendiri. Aku tak akan menyebut itu naluri bertahan hidup yang bagus.”

Peter mengetikkan serangkaian angka di papan tombol di samping pintu, lalu pintu itu terbuka. Aku memasuki ruangan yang ada di sisi lain cermin tadi. Ruangan ini penuh dengan layar dan cahaya, yang memandtul dari kacamata para Erudite. Di seberang ruangan, pintu lain tertutup mengunci. Di balik salah satu layar ada sebuah kursi kosong, masih berputar. Seseorang baru saja pergi.



No comments:

Post a Comment