Penulis: Suzanne
Collins
Akhirnya, aku membiarkan diriku panik.
Aku memandang setiap sudut, ke kamera itu, dan menahan
jeritan yang sudah memenuhi perut, dada, dan kerongkonganku, jeritan yang
memenuhi setiap bagian kerongkonganku, jeritan yang memenuhi setiap bagian
tubuhku. Sekali lagi aku merasakan perasaan bersalah dan berduka mencakari
jiwaku, saling berperang untuk menentukan siapa yang lebih kuat. Namun, teror
lebih kuat dibandingkan keduanya. Aku menarik napas, tapi tidak
mengembuskannya. Ayahku bilang itu cara untuk menyembuhkan cegukan. Waktu itu
aku bertanya apakah aku bakal mati jika menahan napas.
“Tidak,” katanya. “Tubuhmu akan mengambil ali dan memaksamu
bernapas.”
Sayang sekali. Aku bisa melarikan diri dengan itu. Pikiran
itu membuatku ingin tertawa. Lalu menjerit.
Jadi, aku bergelung dan menekankan wajahku ke lutut. Aku
harus membuat rencana. Kalau aku bisa membuat rencana, aku tak akan setakut
ini.
Tapi, tak ada rencana. Tak ada jalan keluar dari jantung
markas Erudite. Tak ada jalan keluar dari Jeanine. Dan, tak ada jalan keluar
dari apa yang telah kulakukan.[]
29
Aku lupa jam tanganku.
Bermenit-menit atau berjam-jam kemudian, saat rasa panik
reda, itulah yang paling kusesali. Bukan datang ke sini—yang waktu itu
tampaknya merupakan pilihan yang jelas—melainkan pergelangan tanganku yang
kosong, sehingga aku tak mungkin mengetahui berapa lama aku sudah duduk di
ruangan ini. Punggungku sakit. Itu bisa menandakan berapa lama waktu berlalu,
tapi tidak cukup tepat.
Setelah beberapa saat, aku berdiri dan mondar-mandir sambil
mengangkat tangan dan meregangkannya. Aku tak ingin melakukan apa pun karena
ada kamera, tapi tak mungkin mempelajari apa pun dengan menontonku menyentuh
jari kakiku.
Pikiran itu membuat tanganku gemetar, tapi aku tidak
berusaha menyingkirkannya dari benakku. Sebaliknya, aku justru mengatakan
kepada diriku sendiri bahaw aku adalah seorang Dauntless dan rasa takut
bukanlah hal asing bagiku. Aku akan mati di tempat ini. Mungkin dalam waktu
dekat. Begitulah kenyataannya.
Tapi, ada cara lain untuk memikirkan itu. Tak lama lagi, aku
akan memberi penghormatan kepada kedua orangtuaku dengan mati seperti mereka.
Dan, jika keyakinan mereka tentang kematian itu benar, tak lama lagi aku akan
bersama-sama mereka dalam apa pun yang terjadi setelah itu.
Aku mengguncang tanganku sambil berjalan. Tanganku masih
gemetar. Aku ingin tahu sekarang jam berapa. Tadi aku tiba tak lama setelah
tengah malam. Sekarang mungkin dini hari, sekarang 4.00 atau 5.00. Atau,
mungkin hanya terasa selama itu karena aku tak melakukan apa pun.
Pintu terbuka, dan akhirnya aku berdiri berhadapan dengan
musuhku dan pengawal-pengawal Dauntlessnya.
“Halo, Beatrice,” sapa Jeanine. Ia mengenakan pakaian biru
Erudite, kacamata Erudite, dan pandangan sombong Erudite yang kubenci, karena
ayahku mengajariku begitu. “Sudah kuduga kau yang akan datang.”
Tapi, aku tak merasakan kebencian saat memandangnya. Aku tak
merasakan apa pun, walaupun aku tahu ia bertanggung jawab atas banyak kematian,
termasuk kematian Marlene. Kematian ada di benakku sebagai serangkaian rumus
yang tak bermakna, dan aku berdiri membeku, tak mampu memecahkannya.
“Halo, Jeanine,” jawabku, karena itulah satu-satunya yang
muncul di benakku.
Aku mengalihkan pandangan sari mata abu-abu bening Jeanine
ke Dauntless yang mengapitnya. Peter berdiri di samping kanannya, dan seorang
wanita dengan kerutan di kiri dan kanan bibirnya berdiri di kiri Jeanine. Di
belakang Jeanine ada pria botak dengan bentuk kepala yang tajam. Aku
mengerutkan kening.
Mengapa Peter bisa mendapatkan posisi penting, sebagai
pengawal Jeanine Matthews? Apa alasannya?
“Aku ingin tahu sekarang jam berapa,” kataku.
“Benarkah?” ujar Jeanine. “Itu menarik.”
Seharusnya aku sudah menduga ia tak akan memberitahuku.
Setiap keping informasi yang didapatnya memiliki peranan dalam stratefinya.
Jeanine tak akan memberitahuku sekarang jam berapa, kecuali jika ia merasa
bahwa memberikan informasi itu lebih berguna daripada merahasiakannya.
“Aku yakin teman-teman Dauntlessmu ini kecewa,” ujar
Jeanine, “karena kau belum mencoba untuk mencungkil mataku.”
“Itu tindakan bodoh.”
“Benar. Tapi, sejalan dengan kecenderunganmu perilakumu
untuk ‘bertindak dulu baru berpikir’.”
“Aku enam belas tahun.” Aku mengerucutkan bibirku. “Aku
berubah.”
“Menyegarkan sekali.” Jeanine punya cara untuk membuat
kata-katanya itu terdengar datar, padahal harusnya mengandung suatu perasaan.
“Mari kita keliling sebentar?”
Jeanine mundur dan mempersilakanku berjalan ke pintu. Hal
terakhir yang kuinginkan adalah berjalan keluar dari ruangan ini menuju tempat
yang tak pasti, tapi aku tidak ragu-ragu. Aku keluar, setelah perempuan
Dauntless bertampang kejam itu. Peter berjalan di belakangku.
Koridor itu panjang dan pucat. Kami berbelok di sudut dan
menyusuri koridor lain yang persis seperti koridor tadi.
Lalu, dua koridor lagi. Aku begitu bingung sehingga tak akan
bisa menemukan jalan kembali ke ruangan tadi. Namun kemudian, sekelilingku
berubah—lorong putih itu berujung di sebuah ruangan besar tempat pria dan
wanita Erudite denga jaket biru panjang berdiri di balik meja. Sebagian dari
mereka memegang peralatan, sebagian mencampur cairan warna-warni, dan sebagian
lagi menatap monitor komputer. Kalau aku harus menebak, aku rasa mereka sedang
mencampur serum simulasi, tapi aku rasa tak mungkin faksi Erudite hanya
mengurusi simulasi.
Sebagian besar dari mereka berhenti bekerja dan memandangai
kami berjalan ke lorong tengah. Atau, mungkin sebenarnya aku-lah yang mereka pandangi. Sebagiian dari mereka berbisik, tapi
kebanyakan tetap diam. Di sini sunyi sekali.
Aku mengikuti wanita Dauntless pembelot melewati pintu, lalu
tiba-tiba berhenti sehingga Peter menubrukku.
Ruangan ini sebesar ruangan yang barusan, tapi di sini hanya
ada satu benda: meja logam besar dengan mesin di sampingnya. Mesin yang
samar-samar kukenali sebagai mesin pemantau jantung. Di atasnya tergantung
sebuah kamera. Aku bergidik tanpa menyadarinya. Karena aku tahu apa pini.
“Aku sangat senang karena kau, terutama, ada di sini,” kata Jeanine. Ia berjalan melewatiku
dan bertengger di meja, jari-jarinya mencengkeram tepiannya.
“Rasa senangku ini, tentu saja, ada kaitannya hasil tes
kecakapanmu.” Rambutnya yang pirang diikat kencang di kepalanya memantulkan
sinar lampu dan menarik perhatianku.
“Bahkan di antara para Divergent, kau ini aneh, karena tesmu
menghasilkan tiga faksi. Abnegation, Dauntless, dan Erudite.”
“Bagaimana ....” Suaraku parau. Aku memaksa pertanyaan itu
keluar. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Semua ada waktunya,” tukas Jeanine. “Dari hasil tesmu, aku
menyimpulkan kau itu salah seorang Divergent terkuat. Itu kukatakan bukan
karena aku memujimu, melainkan karena
harus menjelaskan tujuanku. Kalau aku ingin mengembangkan simulasi yang tak
dapat ditolah oleh otak Divergent, aku harus mempelajari otak Divergent paling
kuat untuk mengatasi semua kekurangan teknologi itu. Mengerti?”
Aku tak menjawab. Aku masih menatap pemantau jantung di
samping meja itu.
No comments:
Post a Comment