Insurgent (Divergent #2) (57)

Penulis: Suzanne Collins

Akhirnya, aku membiarkan diriku panik.

Aku memandang setiap sudut, ke kamera itu, dan menahan jeritan yang sudah memenuhi perut, dada, dan kerongkonganku, jeritan yang memenuhi setiap bagian kerongkonganku, jeritan yang memenuhi setiap bagian tubuhku. Sekali lagi aku merasakan perasaan bersalah dan berduka mencakari jiwaku, saling berperang untuk menentukan siapa yang lebih kuat. Namun, teror lebih kuat dibandingkan keduanya. Aku menarik napas, tapi tidak mengembuskannya. Ayahku bilang itu cara untuk menyembuhkan cegukan. Waktu itu aku bertanya apakah aku bakal mati jika menahan napas.

“Tidak,” katanya. “Tubuhmu akan mengambil ali dan memaksamu bernapas.”

Sayang sekali. Aku bisa melarikan diri dengan itu. Pikiran itu membuatku ingin tertawa. Lalu menjerit.

Jadi, aku bergelung dan menekankan wajahku ke lutut. Aku harus membuat rencana. Kalau aku bisa membuat rencana, aku tak akan setakut ini.

Tapi, tak ada rencana. Tak ada jalan keluar dari jantung markas Erudite. Tak ada jalan keluar dari Jeanine. Dan, tak ada jalan keluar dari apa yang telah kulakukan.[]

29
Aku lupa jam tanganku.

Bermenit-menit atau berjam-jam kemudian, saat rasa panik reda, itulah yang paling kusesali. Bukan datang ke sini—yang waktu itu tampaknya merupakan pilihan yang jelas—melainkan pergelangan tanganku yang kosong, sehingga aku tak mungkin mengetahui berapa lama aku sudah duduk di ruangan ini. Punggungku sakit. Itu bisa menandakan berapa lama waktu berlalu, tapi tidak cukup tepat.

Setelah beberapa saat, aku berdiri dan mondar-mandir sambil mengangkat tangan dan meregangkannya. Aku tak ingin melakukan apa pun karena ada kamera, tapi tak mungkin mempelajari apa pun dengan menontonku menyentuh jari kakiku.

Pikiran itu membuat tanganku gemetar, tapi aku tidak berusaha menyingkirkannya dari benakku. Sebaliknya, aku justru mengatakan kepada diriku sendiri bahaw aku adalah seorang Dauntless dan rasa takut bukanlah hal asing bagiku. Aku akan mati di tempat ini. Mungkin dalam waktu dekat. Begitulah kenyataannya.

Tapi, ada cara lain untuk memikirkan itu. Tak lama lagi, aku akan memberi penghormatan kepada kedua orangtuaku dengan mati seperti mereka. Dan, jika keyakinan mereka tentang kematian itu benar, tak lama lagi aku akan bersama-sama mereka dalam apa pun yang terjadi setelah itu.

Aku mengguncang tanganku sambil berjalan. Tanganku masih gemetar. Aku ingin tahu sekarang jam berapa. Tadi aku tiba tak lama setelah tengah malam. Sekarang mungkin dini hari, sekarang 4.00 atau 5.00. Atau, mungkin hanya terasa selama itu karena aku tak melakukan apa pun.

Pintu terbuka, dan akhirnya aku berdiri berhadapan dengan musuhku dan pengawal-pengawal Dauntlessnya.

“Halo, Beatrice,” sapa Jeanine. Ia mengenakan pakaian biru Erudite, kacamata Erudite, dan pandangan sombong Erudite yang kubenci, karena ayahku mengajariku begitu. “Sudah kuduga kau yang akan datang.”

Tapi, aku tak merasakan kebencian saat memandangnya. Aku tak merasakan apa pun, walaupun aku tahu ia bertanggung jawab atas banyak kematian, termasuk kematian Marlene. Kematian ada di benakku sebagai serangkaian rumus yang tak bermakna, dan aku berdiri membeku, tak mampu memecahkannya.

“Halo, Jeanine,” jawabku, karena itulah satu-satunya yang muncul di benakku.

Aku mengalihkan pandangan sari mata abu-abu bening Jeanine ke Dauntless yang mengapitnya. Peter berdiri di samping kanannya, dan seorang wanita dengan kerutan di kiri dan kanan bibirnya berdiri di kiri Jeanine. Di belakang Jeanine ada pria botak dengan bentuk kepala yang tajam. Aku mengerutkan kening.

Mengapa Peter bisa mendapatkan posisi penting, sebagai pengawal Jeanine Matthews? Apa alasannya?

“Aku ingin tahu sekarang jam berapa,” kataku.

“Benarkah?” ujar Jeanine. “Itu menarik.”

Seharusnya aku sudah menduga ia tak akan memberitahuku. Setiap keping informasi yang didapatnya memiliki peranan dalam stratefinya. Jeanine tak akan memberitahuku sekarang jam berapa, kecuali jika ia merasa bahwa memberikan informasi itu lebih berguna daripada merahasiakannya.

“Aku yakin teman-teman Dauntlessmu ini kecewa,” ujar Jeanine, “karena kau belum mencoba untuk mencungkil mataku.”

“Itu tindakan bodoh.”

“Benar. Tapi, sejalan dengan kecenderunganmu perilakumu untuk ‘bertindak dulu baru berpikir’.”

“Aku enam belas tahun.” Aku mengerucutkan bibirku. “Aku berubah.”

“Menyegarkan sekali.” Jeanine punya cara untuk membuat kata-katanya itu terdengar datar, padahal harusnya mengandung suatu perasaan. “Mari kita keliling sebentar?”

Jeanine mundur dan mempersilakanku berjalan ke pintu. Hal terakhir yang kuinginkan adalah berjalan keluar dari ruangan ini menuju tempat yang tak pasti, tapi aku tidak ragu-ragu. Aku keluar, setelah perempuan Dauntless bertampang kejam itu. Peter berjalan di belakangku.

Koridor itu panjang dan pucat. Kami berbelok di sudut dan menyusuri koridor lain yang persis seperti koridor tadi.

Lalu, dua koridor lagi. Aku begitu bingung sehingga tak akan bisa menemukan jalan kembali ke ruangan tadi. Namun kemudian, sekelilingku berubah—lorong putih itu berujung di sebuah ruangan besar tempat pria dan wanita Erudite denga jaket biru panjang berdiri di balik meja. Sebagian dari mereka memegang peralatan, sebagian mencampur cairan warna-warni, dan sebagian lagi menatap monitor komputer. Kalau aku harus menebak, aku rasa mereka sedang mencampur serum simulasi, tapi aku rasa tak mungkin faksi Erudite hanya mengurusi simulasi.

Sebagian besar dari mereka berhenti bekerja dan memandangai kami berjalan ke lorong tengah. Atau, mungkin sebenarnya aku-lah yang mereka pandangi. Sebagiian dari mereka berbisik, tapi kebanyakan tetap diam. Di sini sunyi sekali.

Aku mengikuti wanita Dauntless pembelot melewati pintu, lalu tiba-tiba berhenti sehingga Peter menubrukku.

Ruangan ini sebesar ruangan yang barusan, tapi di sini hanya ada satu benda: meja logam besar dengan mesin di sampingnya. Mesin yang samar-samar kukenali sebagai mesin pemantau jantung. Di atasnya tergantung sebuah kamera. Aku bergidik tanpa menyadarinya. Karena aku tahu apa pini.

“Aku sangat senang karena kau, terutama, ada di sini,” kata Jeanine. Ia berjalan melewatiku dan bertengger di meja, jari-jarinya mencengkeram tepiannya.

“Rasa senangku ini, tentu saja, ada kaitannya hasil tes kecakapanmu.” Rambutnya yang pirang diikat kencang di kepalanya memantulkan sinar lampu dan menarik perhatianku.

“Bahkan di antara para Divergent, kau ini aneh, karena tesmu menghasilkan tiga faksi. Abnegation, Dauntless, dan Erudite.”

“Bagaimana ....” Suaraku parau. Aku memaksa pertanyaan itu keluar. “Bagaimana kau bisa tahu?”

“Semua ada waktunya,” tukas Jeanine. “Dari hasil tesmu, aku menyimpulkan kau itu salah seorang Divergent terkuat. Itu kukatakan bukan karena aku memujimu, melainkan  karena harus menjelaskan tujuanku. Kalau aku ingin mengembangkan simulasi yang tak dapat ditolah oleh otak Divergent, aku harus mempelajari otak Divergent paling kuat untuk mengatasi semua kekurangan teknologi itu. Mengerti?”

Aku tak menjawab. Aku masih menatap pemantau jantung di samping meja itu.



No comments:

Post a Comment