Insurgent (Divergent #2) (56)

Penulis: Suzanne Collins

“Sudah kubilang, aku akan mengunjungi Caleb. Aku kembali bebrapa hari lagi, setelah itu kita bisa mengatur strategi. Kupikir lebih baik ada orang lain yang tahu tentang semua ini sebelum aku pergi. Buat jaga-jaga. Oke?”

Christina memegangi lenganku beberapa lama lagi, dan akhirnya melepaskanku. “Baiklah,” jawabnya.

Aku berjalan menuju pintu keluar sambil menguatkan diri hingga melewati pintu itu. Kemudian, aku merasa air mataku akan keluar.

Itu mungkin percakapan terakhirku dengannya, dan itu percakapan yang penuh kebohongan.
***

Begitu di luar, aku memasang tudung sweter Tobias. Saat tiba di ujung jalan, aku memandang ke atas dan ke bawah, mencari-cari tanda kehidupan. Tak ada apa-apa.

Udara dingin menusuk paru-paruku saat aku menarik napas dan keluar sebagai awan uap saat aku mengembuskan napas, sebentar lagi musim dingin. Aku bertanya-tanya apakah pada saat itu Erudite dan Dauntless masih akan bertahan, menunggu kelompok yang satu melenyapkan yang lainnya. Aku senang karena tak akan hidup untuk menyaksikannya.

Sebelum memilih faksi Dauntless, aku sama sekali tak pernah berpikir seperti itu. Aku yakin umurku akan panjang, kalau tak ada sesuatu. Sekarang, keyakinan seperti itu sudah tak ada, kecuali tempat yang kutuju, dan aku pergi ke sana karena memilih untuk itu.

Aku berjalan di bayang-bayang gedung-gedung, berharap langkah kakiku tak menarik perhatian siapa pun. Di wilayah ini tak ada lampu jalan, tapi bulan cukup terang sehingga aku bisa berjalan tanpa banyak kesulitan.

Aku berjalan di bawah rel yang bergetar akibat gerakan kereta yang akan datang. Aku harus berjalan cepat jika ingin tiba di sana sebelum ada yang menyadari kepergianku. Aku meloncat menyamping melewati retakan besar di jalan, dan melompati lampu jalan yang roboh.

Saat berangkat tadi, aku tak memikirkan jarak yang harus kutempuh. Tak berapa lama, tubuhku mulai panas karena berjalan, menoleh ke belakang, dan menghindari puing-puing di jalan. Aku mempercepat langkahku, setengah berjalan dan setengah berlari kecil.

Tak lama kemudian, aku tiba di bagian kota yang kukenal. Jalan-jalan di sini terawat, disapu bersih, dan hanya ada sedikit lubang. Di kejauhan sana aku melihat cahaya dari markas Erudite, lampu-lampu mereka melanggar aturan penghematan energi kami. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan begitu tiba di sana. Menuntuk untuk bertemu Jeanine? Atau hanya berdiri sampai ada yang melihatku?

Jari-jariku menyusuri jendela di gedung di sampingku. Tak lama lagi. Seluruh tubuhku gemetar kerena aku sudah dekat, membuatku sulit berjalan. Bernapas pun susah. Aku tak lagi berusaha untuk tidak bersuara, dan membiarkan udara berdesir keluar masuk paru-paruku. Apa yang akan mereka lakukan padaku saat aku tiba di sana? Apa yang mereka rencanakan untukku sebelum aku tak lagi berguna dan dibunuh? Aku yakin akhirnya mereka akan membunuhku. Aku memusatkan perhatian untuk melangkah maju, menggerakkan kakiku walaupun sepertinya kedua kakiku tak mau menopang berat badanku.

Lalu akhirnya, aku berdiri di depan markas Erudite.

Di dalam, kerumunan orang berbaju biru duduk mengelilingi meja-meja, sambil mengetik di komputer, membungkuk di atas buku, atau saling mengoper kertas-kertas. Sebagian dari mereka adalah orang baik-naik yang tak mengerti apa yang telah dilakukan faksi mereka. Namun, jika seluruh gedung ini runtuh menimpa mereka di hadapan mataku, aku tak akan peduli.

Ini kesempatan terakhirku untuk berbalik dan pulang. Udara dingin menyengat pipi dan tanganku ketika aku ragu. Aku bisa pergi sekarang. Berlindung di kompleks Dauntless. Berharap dan berdoa tak ada orang yang mati karena keegoisanku.

Namun, aku tak bisa pergi. Kalau aku pergi, beban akibat rasa bersalah atas nyawa Will, orangtuaku, dan sekarang Marlene, akan meremukkan tulangku dan membuatku mustahil bernapas.

Aku berjalan pelan menuju gedung itu dan mendorong pintunya hingga terbuka.

Ini satu-satunya cara agar tidak tercekik.
***

Sesaat setelah kakiku menyentuh lantai keayu, dan aku berdiri di depan lukisan raksasa Jeanine Matthews yang tergantung di dinding di depanku, tak ada yang melihatku, bahkan dua penjaga Dauntless pembelot yang mondar-mandir di dekat jalan masuk. Aku berjalan ke meja resepsionis, tempat seorang pria setengah baya dengan ubun-ubun botak duduk sambil memilah-milah tumpukan kertas. Aku meletakkan tanganku di meja itu.

“Permisi,” kataku.

“Sebentar,” katanya tanpa menengadah.

“Sekarang.”

Karena mendengar itu, ia mendongak, dengan kacamata merosot dan muka cemberut seolah-olah akan memarahiku. Kata-kata apa pun yang akan diucapkannya seolah menyangkut di kerongkongannya. Ia menatapku dengan mulut ternganga, tatapannya beralih dari wajahku, lalu ke sweter hitam yang kupakai.

Walaupun aku merasa ngeri, raut wajahnya tampak menggelikan. Aku tersenyum kecil dan menyembunyikan tanganku, yang gemetar.

“Aku yakin Jeanine Matthews ingin menemuiku,” kataku. “Jadi, aku akan sangat berterima kasih kalau kau mau menghubunginya.”

Pria itu memberi isyarat pada Dauntless pembelot di pintu, tapi itu tak perlu. Para penjaga itu menyadari keberadaanku. Prajurit Dauntless dari bagian-bagian lain ruangan itu juga sudah berjalan maju, dan mengepungku, tapi tidak menyentuhku ataupun bicara kepadaku. Aku memandang wajah mereka, berusaha tampak tenang.

“Divergent?” akhirnya salah satu dari mereka bertanya saat pria di balik meja mengangkat gagang sistem komunikasi gedung itu.

Kalau aku mengepalkan tangan, tanganku tak akan gemetar lagi. Aku mengangguk.

Mataku beralih ke seorang Dauntless yang keluar dari lift di sisi kiri ruangan itu, dan otot-otot di wajahku merosot. Peter berjalan ke arah kami.

Seribu reaksi muncul di benakku pada saat yang bersamaan, mulai dari menerjang Peter dan mencekiknya hingga berteriak dan membuat semacam lelucon. Aku tak bisa memutuskan mau melakukan yang mana. Jadi, aku berdiri diam dan menatapnya. Jeanine pasti tahu aku akan datang. Ia pasti memilih Peter untuk membawaku. Pasti.

“Kami diperintahkan untuk membawamu ke atas,” kata Peter.

Aku berniat untuk mengatakan sesuatu yang ketus, atau yang acuh tak acuh, tapi yang keluar dari mulutku hanyalah suara persetujuan yang meninggi akibat gumpalan di kerongkonganku. Peter berjalan ke lift dan aku mengikutinya.

Kami menyusuri serangkaian koridor indah. Walaupun pada kenyataannya kami sedang menaiki tangga, aku masih merasa seperti terjun ke pusat bumi.

Aku pikir mereka akan membawaku ke Jeanine, tapi ternyata tidak. Mereka berhenti di koridor pendek dengan deretan pintu logam di masing-masing sisinya. Peter mengetikan kode untuk membuka salah satu pintu, dan Dauntless pembelot mengepungku, dengan rapat, membentuk lorong sempit yang harus kulalui untuk masuk ke ruangan itu.

Ruangan itu kecil, mungkin dua meter kali dua meter. Lantai, dinding, dan langit-langitnya terbuat dari panel cahaya—yang saat ini redup—seperti panel berkilau di ruangan Tes Kecakapan. Di setiap sudutnya ada kamera hitam kecil.



No comments:

Post a Comment