Penulis: Suzanne
Collins
“Sudah kubilang, aku akan mengunjungi Caleb. Aku kembali
bebrapa hari lagi, setelah itu kita bisa mengatur strategi. Kupikir lebih baik
ada orang lain yang tahu tentang semua ini sebelum aku pergi. Buat jaga-jaga.
Oke?”
Christina memegangi lenganku beberapa lama lagi, dan
akhirnya melepaskanku. “Baiklah,” jawabnya.
Aku berjalan menuju pintu keluar sambil menguatkan diri
hingga melewati pintu itu. Kemudian, aku merasa air mataku akan keluar.
Itu mungkin percakapan terakhirku dengannya, dan itu
percakapan yang penuh kebohongan.
***
Begitu di luar, aku memasang tudung sweter Tobias. Saat tiba
di ujung jalan, aku memandang ke atas dan ke bawah, mencari-cari tanda
kehidupan. Tak ada apa-apa.
Udara dingin menusuk paru-paruku saat aku menarik napas dan
keluar sebagai awan uap saat aku mengembuskan napas, sebentar lagi musim
dingin. Aku bertanya-tanya apakah pada saat itu Erudite dan Dauntless masih
akan bertahan, menunggu kelompok yang satu melenyapkan yang lainnya. Aku senang
karena tak akan hidup untuk menyaksikannya.
Sebelum memilih faksi Dauntless, aku sama sekali tak pernah
berpikir seperti itu. Aku yakin umurku akan panjang, kalau tak ada sesuatu.
Sekarang, keyakinan seperti itu sudah tak ada, kecuali tempat yang kutuju, dan
aku pergi ke sana karena memilih untuk itu.
Aku berjalan di bayang-bayang gedung-gedung, berharap
langkah kakiku tak menarik perhatian siapa pun. Di wilayah ini tak ada lampu
jalan, tapi bulan cukup terang sehingga aku bisa berjalan tanpa banyak kesulitan.
Aku berjalan di bawah rel yang bergetar akibat gerakan
kereta yang akan datang. Aku harus berjalan cepat jika ingin tiba di sana
sebelum ada yang menyadari kepergianku. Aku meloncat menyamping melewati
retakan besar di jalan, dan melompati lampu jalan yang roboh.
Saat berangkat tadi, aku tak memikirkan jarak yang harus
kutempuh. Tak berapa lama, tubuhku mulai panas karena berjalan, menoleh ke
belakang, dan menghindari puing-puing di jalan. Aku mempercepat langkahku,
setengah berjalan dan setengah berlari kecil.
Tak lama kemudian, aku tiba di bagian kota yang kukenal.
Jalan-jalan di sini terawat, disapu bersih, dan hanya ada sedikit lubang. Di
kejauhan sana aku melihat cahaya dari markas Erudite, lampu-lampu mereka
melanggar aturan penghematan energi kami. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan
begitu tiba di sana. Menuntuk untuk bertemu Jeanine? Atau hanya berdiri sampai
ada yang melihatku?
Jari-jariku menyusuri jendela di gedung di sampingku. Tak
lama lagi. Seluruh tubuhku gemetar kerena aku sudah dekat, membuatku sulit
berjalan. Bernapas pun susah. Aku tak lagi berusaha untuk tidak bersuara, dan
membiarkan udara berdesir keluar masuk paru-paruku. Apa yang akan mereka
lakukan padaku saat aku tiba di sana? Apa yang mereka rencanakan untukku
sebelum aku tak lagi berguna dan dibunuh? Aku yakin akhirnya mereka akan
membunuhku. Aku memusatkan perhatian untuk melangkah maju, menggerakkan kakiku
walaupun sepertinya kedua kakiku tak mau menopang berat badanku.
Lalu akhirnya, aku berdiri di depan markas Erudite.
Di dalam, kerumunan orang berbaju biru duduk mengelilingi
meja-meja, sambil mengetik di komputer, membungkuk di atas buku, atau saling
mengoper kertas-kertas. Sebagian dari mereka adalah orang baik-naik yang tak
mengerti apa yang telah dilakukan faksi mereka. Namun, jika seluruh gedung ini
runtuh menimpa mereka di hadapan mataku, aku tak akan peduli.
Ini kesempatan terakhirku untuk berbalik dan pulang. Udara
dingin menyengat pipi dan tanganku ketika aku ragu. Aku bisa pergi sekarang.
Berlindung di kompleks Dauntless. Berharap dan berdoa tak ada orang yang mati
karena keegoisanku.
Namun, aku tak bisa pergi. Kalau aku pergi, beban akibat
rasa bersalah atas nyawa Will, orangtuaku, dan sekarang Marlene, akan
meremukkan tulangku dan membuatku mustahil bernapas.
Aku berjalan pelan menuju gedung itu dan mendorong pintunya
hingga terbuka.
Ini satu-satunya cara agar tidak tercekik.
***
Sesaat setelah kakiku menyentuh lantai keayu, dan aku
berdiri di depan lukisan raksasa Jeanine Matthews yang tergantung di dinding di
depanku, tak ada yang melihatku, bahkan dua penjaga Dauntless pembelot yang
mondar-mandir di dekat jalan masuk. Aku berjalan ke meja resepsionis, tempat
seorang pria setengah baya dengan ubun-ubun botak duduk sambil memilah-milah
tumpukan kertas. Aku meletakkan tanganku di meja itu.
“Permisi,” kataku.
“Sebentar,” katanya tanpa menengadah.
“Sekarang.”
Karena mendengar itu,
ia mendongak, dengan kacamata merosot dan muka cemberut seolah-olah akan
memarahiku. Kata-kata apa pun yang akan diucapkannya seolah menyangkut di
kerongkongannya. Ia menatapku dengan mulut ternganga, tatapannya beralih dari
wajahku, lalu ke sweter hitam yang kupakai.
Walaupun aku merasa ngeri, raut wajahnya tampak menggelikan.
Aku tersenyum kecil dan menyembunyikan tanganku, yang gemetar.
“Aku yakin Jeanine Matthews ingin menemuiku,” kataku. “Jadi,
aku akan sangat berterima kasih kalau kau mau menghubunginya.”
Pria itu memberi isyarat pada Dauntless pembelot di pintu,
tapi itu tak perlu. Para penjaga itu menyadari keberadaanku. Prajurit Dauntless
dari bagian-bagian lain ruangan itu juga sudah berjalan maju, dan mengepungku,
tapi tidak menyentuhku ataupun bicara kepadaku. Aku memandang wajah mereka,
berusaha tampak tenang.
“Divergent?” akhirnya salah satu dari mereka bertanya saat
pria di balik meja mengangkat gagang sistem komunikasi gedung itu.
Kalau aku mengepalkan tangan, tanganku tak akan gemetar
lagi. Aku mengangguk.
Mataku beralih ke seorang Dauntless yang keluar dari lift di
sisi kiri ruangan itu, dan otot-otot di wajahku merosot. Peter berjalan ke arah
kami.
Seribu reaksi muncul di benakku pada saat yang bersamaan,
mulai dari menerjang Peter dan mencekiknya hingga berteriak dan membuat semacam
lelucon. Aku tak bisa memutuskan mau melakukan yang mana. Jadi, aku berdiri
diam dan menatapnya. Jeanine pasti tahu aku akan datang. Ia pasti memilih Peter
untuk membawaku. Pasti.
“Kami diperintahkan untuk membawamu ke atas,” kata Peter.
Aku berniat untuk mengatakan sesuatu yang ketus, atau yang
acuh tak acuh, tapi yang keluar dari mulutku hanyalah suara persetujuan yang
meninggi akibat gumpalan di kerongkonganku. Peter berjalan ke lift dan aku
mengikutinya.
Kami menyusuri serangkaian koridor indah. Walaupun pada
kenyataannya kami sedang menaiki tangga, aku masih merasa seperti terjun ke
pusat bumi.
Aku pikir mereka akan membawaku ke Jeanine, tapi ternyata
tidak. Mereka berhenti di koridor pendek dengan deretan pintu logam di
masing-masing sisinya. Peter mengetikan kode untuk membuka salah satu pintu,
dan Dauntless pembelot mengepungku, dengan rapat, membentuk lorong sempit yang
harus kulalui untuk masuk ke ruangan itu.
Ruangan itu kecil, mungkin dua meter kali dua meter. Lantai,
dinding, dan langit-langitnya terbuat dari panel cahaya—yang saat ini
redup—seperti panel berkilau di ruangan Tes Kecakapan. Di setiap sudutnya ada
kamera hitam kecil.
No comments:
Post a Comment