Insurgent (Divergent #2) (55)

Penulis: Suzanne Collins

“Kau itu terlalu penting untuk ... mati.” Tobias menggeleng. Ia bahkan tak memandangku—tatapannya melewati wajahku, ke dinding di belakangku atau langit-langit di atasku, ke segala hal selain aku. Aku terlalu kaget untuk marah.

“Aku ini tidak penting. Semuanya akan baik-baik saja tanpa diriku,” kataku.

“Siapa yang peduli dengan semua orang? Bagaimana dengan aku?”

Tobias menurunkan kepalanya ke tangan, menutupi matanya. Jari-jarinya gemetar.

Lalu, ia melintasi ruangan dengan dua langkah panjang dan memelukku. Pelukan lembutnya menghapuskan beberapa bulan yang sudah berlalu. Aku kembali menjadi gadis yang duduk di batu di dekat jurang, dengan air sungai menciprati pergelangan kakinya, dan menciumnya untuk pertama kalinya. Aku kembali menjadi gadis yang memegang tangannya di koridor hanya karena ingin.

Aku menjauhkan diri, tanganku menahan dadanya. Masalhnya adalah, aku juga gadis yang menembak Will lalu berbohong tentang itu, memilih Hector daripada Marlene, dan ribuan hal lainnya. Aku tak mungkin menghapus semua itu.

“Kau akan baik-baik saja,” kataku tanpa menatap Tobias. Aku memandang kausnya yang berada di antara jari-jariku dan tato hitam yang melengkung di lehernya, tapi aku tak memandang wajahnya. “Mulanya tidak. Tapi, kau akan melanjutkan hidupmu dan melakukan apa yang harus kau lakukan.”

Tobias merangkulku. “Itu bohong,” katanya.

Ini salah. Salah bila aku melupakan siapa diriku saat ini. Begitu juga dengan membiarkannya menciumku, padahal aku tahu apa yang harus kulakukan.

Tapi, aku menginginkannya. Oh, aku sangat menginginkannya.

Aku berjinjit dan merangkul Tobias. Aku bisa merasakan napasnya di telapak tanganku, tubuhnya mengembang dan mengempis. Aku tahu ia kuat, mantap, dan tak bisa dihentikan. Seharusnya aku menjadi semua itu, tapi tidak, aku tidak seperti itu.

Tobias melangkah mundur sambil menarikku bersamanya sehingga aku terhuyung. Ia duduk di tepi tempat tidur dan aku berdiri di depannya, dan akhirnya kami saling bertatapan.

Ia menyentuh wajahku, merangkum pipiku dengan kedua tangannya.

Ia terasa seperti air dan wanginya seperti udara segar.

Aku tak pernah merindukan seseorang seperti ini.

Tobias menarik diri cukup jauh dan memandang mataku dengan tatapan lembut.

“Berjanjilah padaku,” bisiknya, “bahwa kau tak akan pergi. Untukku. Lakukanlah satu hal ini demi aku.”

Bisakah aku melakukannya? Bisakah aku tetap di sini, memperbaiki keadaan bersama Tobias, dan membiarkan orang lain mati sebagai gantinya? Saat memandangnya, sesaat aku yakin sanggup melakukan itu. Namun kemudian, aku melihat Will. Kerutan di antara alisnya. Tatapannya yang kosong akibat simulasi. Tubuhnya yang roboh.

Lakukanlah satu hal ini demi aku. Mata Tobias yang gelap memohon kepadaku.

Kalau bukan aku yang pergi ke faksi Erudite, siapa yang bakal ke sana? Tobias? Sepertinya ia dapat melakukan itu.

Dadaku serasa dihunjam nyeri saat aku membohonginya. “Oke.”

“Berjanjilah,” pinta Tobias, dengan kening berkerut.

Rasa nyeri itu berubah menjadi rasa sakit yang menyebar ke mana-mana—semuanya bercampur, rasa sakit, rasa ngeri, dan rasa rindu. “Aku janji.”[]

28

Saat Tobias tertidur, ia terus memelukku dengan erat, bagai mengurungku agar aku tetap hidup. Tapi, aku menunggu dan tetap terjaga dengan memikirkan tubuh-tubuh menghantam trotoar hingga pegangan Tobias melemah dan napasnya teratur.

Aku tak akan membiarkan Tobias pergi ke faksi Erudite jika kejadian itu terulang, jika ada lagi yang mati. Tak akan.

Aku menyelinap keluar dari pelukannya. Aku mengambil salah satu sweternya agar bisa membawa aroma tubuhnya bersamaku. Kemudian, aku menyusupkan kakiku ke dalam sepatuku. Aku tidak membawa senjata atau kenang-kenangan.

Aku berhenti di ambang pintu dan memandang Tobias yang setengah terkubur di balik selimut, tampak damai dan kuat.

“Aku mencintaimu,” bisikku, sambil merasakan makna kata-kata itu. Kemudian, aku membiarkan pintu tertutup.

Sudah saatnya memperbaiki keadaan.

Aku berjalan ke asrama tempat peserta inisiasi asli Dauntless tidur dulu. Ruangan itu persis seperti kamar tempatku tidur ketika aku masih menjadi peserta inisiasi: panjang dan sempit, dengan ranjang tingkat di kanan dan kiri serta papan tulis di salah satu dinding. Karena adanya lampu biru di sudut, aku bisa melihat tak seorang pun yang repot-repit menghapus rangking yang tertera di papan itu—nama Uriah masih paling atas.

Christina tidur di ranjang bawah, di bawah Lynn. Aku tak ingin mengagetkannya. Namun, karena tak mungkin membangunkan Christina tanpa membuatnya terkejut, aku menutup mulutnya dengan tanganku. Ia terbangun dengan kaget serta dengan mata membelalak sebelum melihatku. Aku menempelkan jari ke bibir dan memberi isyarat untuk mengikutiku.

Aku berjalan ke ujung koridor, lalu berbelok. Koridor itu diterangi oleh lampu darurat bernoda cat yang tergantung di salah satu pintu keluar. Christina tidak mengenakan sepatu. Ia mengerutkan jari-jari kakinya agar tidak dingin.

“Ada apa?” tanyanya. “Kau mau pergi?”

Yeah, aku ...” Aku harus berbohong, jika tidak ia pasti akan mencegahku. “Aku mau menemui kakakku. Kau ingatkan kakakku itu bersama faksi Abnegation?”

Christina menyipitkan matanya.

“Maaf karena membangunkanmu,” kataku. “Tapi, aku ingin kau melakukan sesuatu. Ini penting sekali.”

“Oke. Tris, tingkahmu benar-benar aneh. Kau yakin kau tidak—”

“Aku yakin. Dengar. Penyerangan simulasi waktu itu dilakukan bukan secara mendadak. Penyerangan dilakukan pada waktu itu karena faksi Abnegation akan melakukan sesuatu—aku tak tahu apa, tapi pasti ada kaitannya dengan suatu informasi penting, dan sekarang Jeanine memiliki informasi itu ....”

“Apa?” Ia mengerutkan dahi. “Kau tak tahu apa yang akan mereka lakukan? Kau tahu informasi apa itu?”

“Tidak.” Aku pasti terdengar gila. “Masalahnya, aku belum berhasil mengorek lebih banyak tentang ini karena Marcus Eaton adalah satu-satunya orang yang mengetahui segalanya, tapi ia tak mau memberitahuku. Aku ... penyerangan itu terjadi karena itu. Itulah penyebabnya. Dan, kita harus mengetahui informasi itu.”

Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Tapi, Christina sudah mengangguk.

“Itu sebabnya, Jeanine memaksa kami menyerang orang-orang tak bersalah,” ujarnya dengan nada pahit. “Yeah. Kita harus mengetahuinya.”

Aku hampir lupa—waktu itu Christina berada di bawah pengaruh simulasi. Berapa banyak orang Abnegation yang dibunuhnya, di bawah panduan simulasi itu? Bagaimana perasaannya saat terbangun dari mimpi itu dan menjadi seorang pembunuh? Aku tak pernah bertanya, dan tak akan pernah bertanya.

“Aku membutuhkan bantuanmu, segera. Aku perlu seseorang yang bisa membujuk Marcus untuk bekerja sama, dan kupikir kau bisa melakukannya.”

Ia memiringkan kepala dan menatapku selama beberapa saat.

“Tris. Jangan bertindak bodoh.”

Aku memaksakan diri tersenyum. “Kenapa orang-orang selalu bilang begitu kepadaku?”

Ia mencengkeram lenganku. “Aku serius.”



No comments:

Post a Comment