Penulis: Suzanne
Collins
Ia tampak berbeda dengan Lynn yang selama ini kukenal.
Tatapannya tidak galak seperti biasanya. Sebaliknya, ia tampak pucat dan
menggigiti bibirnya agar tak terlihat gemetar.
“Mmm ...,” katanya. Ia memandang ke kiri, ke kanan, ke mana
pun selain wajahku. “Aku benar-benar ... aku merindukan Marlene. Aku sudah lama
mengenalnya, dan aku ....” Ia menggeleng. “Intinya, jangan menyangka
kata-kataku ini ada hubungannya
dengan Marlene,” hardiknya, seolah memarahiku, “tapi ... terima kasih sudah
menyelamatkan Hec.”
Lynn menggeser-geser kaki dengan canggung sambil memandang
sepintas ke sekeliling ruangan. Lalu, ia memelukku dengan satu tangan dan
meremas bajuku. Nyeri merambati bahuku. Tapi, aku hanya diam.
Ia melepaskan pelukannya, menarik napas singkat, lalu
kembali ke mejanya seakan-akan tak terjadi apa-apa. Aku memandanginya beberapa
lama, lalu mencari tempat duduk.
Zeke dan Uriah duduk berdampingan di meja yang kosong. Wajah
Uriah tampak lesu, seolah-olah belum bangun sepenuhnya. Ada botol cokelat tua
di depannya yang disesapnya setiap beberapa saat.
Aku merasa takut di dekatnya. Aku menyelamatkan Hec—yang
artinya aku gagal menyelamatkan Marlene. Tapi, Uriah tidak memandangku. Aku menarik
kursi di hadapannya, lalu duduk di ujung kursi itu.
“Shauna mana?” tanyaku. “Masih di rumah sakit?”
“Tidak, ia di sana,” jawab Zeke sambil mengangguk ke meja
Lynn tadi. Aku melihat Shauna di sana, sedang duduk di kursi roda. Wajahnya
begitu pucat nyaris tembus cahaya. “Seharusnya Shauna masih istirahat, tapi
Lynn kacau, jadi Shauna menemaninya.”
“Tapi, kalau kau bertanya-tanya kenapa mereka semua ada di
sana ... Shauna tahu aku ini Divergent,” tambah Uriah dengan enggan. “Dan ia
tak mau ketularan.”
“Oh.”
“Sikapnya padaku jadi aneh,” timpal Zeke sambil mendesah.
“’Bagaimana aku tahu saudaramu itu tidak bekerja untuk pihak lawan? Apakah kau
mengamatinya?’ Aku mau memberikan apa saja supaya bisa menonjok orang yang
meracuni pikirannya.”
“Kau tak perlu memberikan apa pun,” sahut Uriah. “Ibunya
duduk di sana. Pergi saja ke sana dan tonjok ia.”
Aku mengikuti pandangannya ke wanita setengah baya dengan
semburat biru di rambutnya dan anting-anting yang menghiasi seluruh cuping
telinganya. Ia cantik, seperti Lynn.
Beberapa saat kemudian, Tobias memasuki ruangan dengan
diikuti Tori dan Harrison. Selama ini aku menghindarinya. Aku belum bicara
dengannya sejak pertengkaran kami, sebelum Marlene ....
“Halo, Tris,” sapa Tobias saat aku cukup dengan untuk mendengarnya.
Suaranya pelan dan serak, membawaku ke tempat yang tenang.
“Hai,” aku membalas sapaannya dengan suara kecil mencicit
yang bukan suaraku.
Tobias duduk di sampingku, lalu meletakkan tangannya di
punggung kursiku, dan mendekat. Aku tidak membalas tatapannya—aku menolak untuk membalas tatapannya.
Aku menatapnya.
Matanya yang gelap—dengan warna biru yang unik, entah
bagaimana sanggup menyingkirkan seluruh kafetaria, menenangkanku, dan juga
mengingatkanku bahwa jarak kami berdua lebih jauh daripada yang kuinginkan.
“Kau tak bertanya apakah aku baik-baik saja?” tanyaku.
“Tidak, aku yakin kau tidak baik-baik saja.” Tobias
menggeleng. “Aku cuma mau memintamu supaya tidak mengambil keputusan apa pun
sebelum kita membicarakannya.”
Terlambat, pikirku.
Keputusannya sudah dibuat.
“Setelah kita semua membicarakannya, maksudmu, karena ini
melibatkan kita semua,” Uriah menimpali. “Menurutku tak ada yang perlu
menyerahkan diri.”
“Tidak perlu?” tanyaku.
“Tidak!” Uriah memberengut. “Kupikir kita harus balas
menyerang.”
“Oke,” kataku dengan perasaan hampa, “mari kita provokasi si
Perempuan yang bisa memaksa setengah penghuni di sini bunuh diri. Sepertinya
itu rencana yang sangat bagus.”
Aku terlalu kasar. Uriah meneguk isi botolnya, lalu
menurunkan botol itu ke meja dengan keras sehingga aku takut benda itu bakal
pecah.
“Jangan bicara begitu,” gerutunya.
“Maaf,” kataku. “Tapi, kau tahu aku benar. Jalan terbaik
untuk memastikan setengah faksi kita tidak mati adalah dengan mengorbankan satu
nyawa.”
Aku tak tahu apa yang kuharapkan. Mungkin aku berharap
Uriah, yang sangat tahu apa yang akan terjadi jika salah satu dari kami tidak
pergi, akan mengajukan dirinya dengan sukarela. Tapi, ia tampak muram. Enggan.
“Aku, Tori, dan Harrison memutuskan untuk meningkatkan
pengamanan. Semoga kita bisa menghentikan mereka jika semua orang waspada
terhadap serangan seperti ini,” kata Tobias. “Kalau ternyata tak berhasil,
barulah kita pikirkan solusi lain. Begitu. Tapi, jangan ada yang melakukan apa
pun. Oke?”
Tobias memandangku saat mengatakan itu, sambil mengangkat
alis.
“Oke,” aku menjawabm, tanpa menatap matanya.
***
Setelah makan malam, aku mencoba kembali ke asrama tempatku
tidur, tapi aku tak sanggup melewati pintunya. Aku justru berjalan menyusuri
koridor sambil menyapukan jari-jariku di dindingnya dan mendengarkan gema
langkah kakiku.
Tanpa sengaja, aku melewati air mancur tempat Peter, Drew,
dan Al menyerangku. Aku tahu itu Al dari wanginya—dan aku masih bisa mengingat
aroma lemongrass itu dengan jelas.
Sekarang, aku mengaitkan wangi itu bukan hanya dengan temanku, melainkan juga
dengan rasa tak berdaya yang kurasakan saat mereka menyeretku ke jurang.
Aku berjalan lebih cepat sambil membuka mata lebar-lebar
supaya tidak membayangkan penyerang itu. Aku harus pergi dari sini, sejauh
mungkin dari tempat kawanku menyerangku, tempat Peter menikam Edward, tempat
teman-temanku berbaris menuju sektor Abnegation dan kegilaan ini dimulai tanpa
menyadarinya.
Aku berjalan ke tempat yang menurutku aman; apartemen kecil
Tobias. Begitu tiba di pintunya, aku merasa lebih tenang.
Pintu apartemen Tobias tidak tertutup rapat. Aku
mendorongnya hingga terbuka dengan kakiku. Ia tidak ada, tapi aku tak perlu
pergi. Aku duduk di tempat tidurnya, memeluk selimut, membenamkan wajahku ke
sana, lalu menarik napas dalam-dalam menghirup aromanya. Wangi yang biasanya
ada di sana sudah hampir hilang. Sudah lama Tobias tidak tidur di sini.
Pintu terbuka dan Tobias menyelinap masuk. Lenganku serasa
kaku dan selimut itu jatuh ke pangkuanku. Bagaimana aku menjelaskan
keberadaanku di sini? Aku seharusnya marah kepadanya.
Tobias tidak merengut, tapi bibirnya begitu tenang sehingga
aku tahu ia marah terhadap diriku.
“Jangan tolot,” katanya.
“Tolol?”
“Kau bohong. Kau bilang tak akan ke faksi Erudite, dan kau
bohong. Pergi ke faksi Erudite itu tindakan tolol. Jadi jangan.”
Aku menyimpan kembali selimut itu dan berdiri.
“Jangan coba-coba menyederhanakan ini,” aku menghardik.
“Karena kenyataannya memang tidak. Seperti aku, kau juga tahu ini tindakan yang
paling benar.”
“Kau memilih saat ini
untuk bertindak seperti seorang Abnegation?” Suara Tobias membahana di kamar
dan menimbulkan rasa takut di dadaku. Kemarahannya terasa terlalu mendadak.
Terlalu aneh. “Selama ini kau berkeras bahwa kau itu terlalu egois untuk
mereka. Lalu sekarang, saat nyawamu jadi
taruhannya, kau ingin jadi pahlawan? Ada apa denganmu?”
“Ada apa denganmu?
Orang-orang mati. Mereka berjalan ke tepi gedung, lalu terjun! Aku bisa
mencegah itu terjadi lagi!”
No comments:
Post a Comment