Insurgent (Divergent #2) (53)

Penulis: Suzanne Collins

Aku mengalihkan pandangan ke Hector. Hector, yang takut terhadapku karena disuruh ibunya begitu. Lynn mungkin masih di samping tempat tidur Shauna, berharap Shauna dapat menggerakkan kakinya saat bangun nanti. Ia tak boleh kehilangan Hector.

Aku maju untuk menerima pesan itu.

“Ini bukan negosiasi. Ini peringatan,” kata simulasi itu melalui Marlene, menggerakkan bibirnya dan menggetarkan kerongkongannya. “Setiap dua hari hingga salah satu dari kalian mengantarkan diri kalian ke markas Erudite, ini akan terjadi lagi.”

Ini.

Marlene melangkah mundur. Aku menukik ke depan, tapi bukan ke arahnya. Bukan ke arah Marlene, yang pernah membiarkan Uriah menembak muffin dari kepalanya dalam suatu tantangan. Yang mengumpulkan setumpuk pakaian untuk kupakai. Yang selalu, selalu menyapaku sambil tersenyum. Bukan, bukan ke arah Marlene.

Saat Marlene dan anak perempuan Dauntless itu melangkah ke tepi atap, aku melompat ke arah Hecotr.

Aku meraih apa pun yang bisa tanganku temukan. Lengan. Segenggam pakaian. Atap yang kasar menggores lututku saat berat badannya menarikku ke depan. Aku tidak cukup kuat untuk menariknya. Aku berbisik, “Tolong,” karena tak mampu berkata lebih keras dari itu.

Christina sudah di bahuku. Ia membantuku menarik tubuh lunglai Hector ke atas atap. Lengannya terjuntai ke samping, lemas. Beberapa langkah dari sana, anak perempuan itu berbaring telentang di atap.

Lalu simulasi berakhir. Hector membuka matanya yang tak lagi hampa.

“Aduh,” katanya. “Apa yang terjadi?”

Gadis kecil itu terisak, dan Christina berjalan menghampirinya, menggumamkan sesuatu dengan nada yang menenangkan.

Aku berdiri. Seluruh tubuhku gemetar. Aku beringsut ke tepi atap dan menatap ke tanah. Jalan di bawah tidak terlalu terang, tapi aku melihat siluet samar Marlene di trotoar.

Bernapas—siapa yang peduli tentang bernapas?

Aku mengalihkan pandangan, mendengarkan detak jantungku di telinga. Bibir Christina bergerak. Aku mengabaikannya dan berjalan ke pintu, menuruni tangga, menyusuri koridor, lalu memasuki lift.

Begitu pintu lift menutup, begitu aku roboh ke lantai, seperti Marlene setelah aku memutuskan untuk tidak menyelamatkannya, aku menjerit sambil mencakari bajuku. Setelah beberapa saat, kerongkonganku terasa perih, dan lenganku yang tidak terlindung kain tergores. Namun, aku tetap menjerit.

Lift berhenti dengan bunyi ding. Pintu terbuka.

Aku merapikan pakaian dan rambutku, lalu keluar.
***

Aku punya pesan untuk Divergent.

Aku Divergent.

Ini bukan negosiasi.

Bukan, itu bukan negosiasi.

Ini peringatan.

Aku mengerti.

Setiap dua hari hingga salah satu dari kalian mengantarkan diri kalian ke markas Erudite ....

Aku akan melakukannya.

... ini akan terjadi lagi.

Itu tak akan terjadi lagi.[]

27

Aku berzigzag menembus kerumunan di samping jurang. Suasana di The Pit bising, dan itu bukan hanya akibat raungan sungai. Karena membutuhkan ketenangan, aku pergi ke koridor yang menuju asrama. Aku tak mau mendengar pidato Tori untuk Marlene atau berada di sana untuk bersulang dan berteriak sebagaimana cara Dauntless merayakan hidup dan keberaniannya.

Pagi ini Lauren melaporkan bahwa kami melewatkan kamera di asrama inisiasi, tempat yang digunakan oleh Christina, Zeke, Lauren, Marlene, Hector, serta Kee, si Anak Perempuan dengan rambut hijau. Begitulah cara Jeanine memutuskan siapa yang dikendalikan simulasi. Aku yakin Jeanine memilih generasi muda Dauntless karena ia tahu kematian mereka akan sangat memengaruhi kami.

Aku berhenti di suatu koridor asing, lalu menyandarkan dahiku ke dinding.  Temboknya terasa kasar dan dingin di kulitku. Aku bisa mendengar teriakan Dauntless di belakangku, yang teredam berlapis-lapis batu.

Aku mendengar seseorang mendekat, lalu menengok, Christina, yang masih mengenakan pakaian yang semalam, berdiri beberapa langkah dariku.

“Hei,” ia menyapa.

“Aku sedang tidak mood untuk merasa bersalah. Jadi, tolong pergi sajalah.”

“Aku cuma mau mengatakan sesuatu, setelah itu aku akan pergi.”

Matanya bengkak dan suaranya agak mengantuk, mungkin karena lelah atau alkohol, atau keduanya. Tapi, tatapannya begitu mantap, jadi ia pasti tahu apa yang akan dikatakannya. Aku menjauhkan diri dari dinding.

“Aku tak pernah melihat simulasi seperti itu. Kau tahu, dari luar. Tapi kemarin ....” Ia menggeleng. “Kau benar. Mereka tak bisa mendengarmu, tak bisa melihatmu. Seperti Will ....”

Christina terbatuk saat menyebut nama Will. Ia berhenti, menarik napas, lalu menelan ludah. Mengejapkan mata beberapa kali. Lalu, ia memandangku lagi.

“Kau bilang terpaksa melakukannya, karena kalau tidak Will akan menembakmu, tapi aku tak percaya. Tapi sekarang aku percaya, dan ... aku akan mencoba memaafkanmu. Cuma itu ... yang ingin kukatakan.”

Ada sebagian dari diriku yang merasa lega. Christina percaya padaku, ia berusaha memaagkanku walaupun itu tidak mudah.

Tapi, sebagian besar diriku merasa marah. Selama ini apa yang ada di otaknya? Bahwa aku ingin menembak Will, salah satu sahabatku? Seharusnya ia memercayaiku sejak awal. Seharusnya ia tahu aku tak akan melakukannya jika waktu itu aku mampu melihat kemungkinan lain.

“Aku beruntung sekali karena kau akhirnya melihat bukti bahwa aku ini bukan pembunuh berdarah dingin. Selain kata-kataku. Maksudku, kenapa juga kau harus percaya pada kata-kataku?” Aku memaksakan diri tertawa, mencoba bersikap acuh tak acuh. Ia membuka mulutnya, tapi aku terus bicara, tak mampu menghentikan diriku. “Sebaiknya kau memaafkanku secepatnya karena tak banyak waktu—”

Suaraku parau, dan aku tak bisa mengendalikan diri lagi. Aku mulai menangis. Aku bersandar ke dinding, lalu merasakan diriku meluncur ke bawah karena kakiku lemas.

Pandanganku terlalu kabur untuk melihat Christina, tapi aku merasakannya saat ia memeluk tubuhku dengan sangat erat sehingga rasanya sakit. Aroma Chirstina seperti minyak kelapa dan ia terasa kuar, tepat seperti dirinya pada masa inisiasi Dauntless, saat ia bergantung di atas jurang dengan jari-jarinya. Saat itu—yang tidak terlalu lama—ia membuatku merasa lemah, tapi sekarang kekuatannya membuatku merasa aku bisa kuat juga.

Kami berdua berlutut di lantai batu. Aku memeluknya dengan erat seperti ia memelukku.

“Sudah,” katanya. “Itu yang ingin kukatakan. Aku sudah memaafkanmu.”
***

Semua Dauntless terdiam saat aku berjalan memasuki kafetaria pada malam harinya. Aku tidak menyalahkan mereka. Sebagai salah satu Divergent, aku punya kekuatan untuk membiarkan Jeanine membunuh salah satu dari mereka. Mungkin sebagian besar mereka ingin aku mengorbankan diriku. Atau, mungkin mereka takut aku tak akan melakukan itu.

Jika ini di faksi Abnegation, tak ada Divergent yang duduk di sini saat ini.

Sesaat aku tak tahu ke mana atau bagaimana caranya ke sana. Tapi kemudian, Zeke melambaikan tangan memanggilku ke mejanya. Ia tampak muram. Aku menuntun kakiku ke sana. Tapi sebelum sampai, Lynn menghampiriku.



No comments:

Post a Comment