Penulis: Suzanne
Collins
Aku mengangkat alis. Aku tak tahu kebencian Tori terhadap
Jeanine diketahui banyak orang—atau mungkin bukan itu. Tobias pasti tahu
sesuatu tentang Tori yang tidak diketahui orang lain, karena sekarang ia dan
Tori adalah pemimpin.
“Aku yakin itu bisa diatur,” jawab Evelyn. “Aku tak peduli
siapa yang membunuh Jeanine. Aku cuma ingin ia mati.”
Tobias melirikku. Aku berharap bisa memberi tahu Tobias
mengapa aku merasa ragu ... menjelaskan kepadanya mengapa aku, dari semua
orang, ragu untuk membantai Erudite. Tapi, aku tak tahu cara menjelaskannya,
bahkan jika aku punya waktu untuk itu. Tobias memandang Evelyn.
“Kalau begitu kita sepakat,” katanya.
Ia mengulurkan tangan dan Evelyn menjabatnya.
“Kita akan rapat dalam waktu satu minggu, kata Evelyn. “Di
daerah yang netral. Sebagian besar Abnegation telah berbaik hati mengizinkan
kami tinggal di sektor mereka di kota untuk menyusun rencara sementara mereka
membersihkan akubat serangan waktu itu.”
“Sebagian besar dari mereka,” ulang Tobias.
Ekspresi Evelyn menjadi datar. “Kurasa ayahmu masih dipatuhi
oleh sebagian besar dari mereka, dan ia menyarankan mereka untuk menghindari
kami saat berkunjung beberapa hari lalu.” Evelyn tersenyum masam. “Dan mereka
setuju, persis seperti ketika ia mendesak mereka membuangku.”
“Mereka membuangmu?” tanya Tobias. “Kukira kau pergi.”
“Tidak. Para Abnegation ingin mengampuni dan berdamai,
seperti yang kau duga. Tapi, ayahmu memiliki pengaruh besar terhadap mereka,
seperti biasanya. Aku memutuskan untuk pergi daripada menghadapi penghinaan
dengan dibuang.”
Tobias tampak kaget.
Edward, yang mencondongkan tubuh ke luar dari gerbong
sebentar, berseru, “Sudah saatnya!”
“Sampai bertemu dalam satu minggu,” kata Evelyn.
Saat kereta turun hingga sejajar jalan, Edward melompat.
Beberapa detik kemudian, Evelyn mengikuti. Aku dan Tobias tetap di kereta,
mendengar desisannya di rel, tanpa bicara.
“Kenapa kau membawaku kalau memang berniat untuk bersekutu?”
tanyaku datar.
“Kau tidak menghentikanku.”
“Jadi aku harus apa, melambai-lambaikan tanganku di
udara?”Aku membersut ke arahnya. “Aku tak suka.”
“Ini harus dilakukan.”
“Kurasa tidak,” sahutku. “Pasti ada jalan lain—”
“Jalan lain apa?” tanya Tobias sambil melipat lengannya.
“Kau cuma tak menyukai ibuku. Sejak pertama kali bertemu, kau tak menyukainya.”
“Jelas saja aku tak suka ia! Ia menelantarkanmu!”
“Mereka membuangnya.
Dan, kalau aku memutuskan untuk memaafkannya, sebaiknya kau juga melakukan itu!
Akulah yang ditinggalkan, bukan kau.”
“Ini lebih dari itu. Aku tak percaya padanya. Kurasa ia
mencoba memaafkanmu.”
“Yah, ini bukan keputusanmu.”
“Jadi kenapa kau membawaku, ya?” tanyaku lagi sambil meniru
sikapnya menyilangkan lengan. “Oh, ya—supaya aku bisa membaca situasinya
untukmu. Nah, aku membacanya, dan hanya karena kau tak suka keputusanku bukan
berarti—”
“Aku lupa prasangka bisa mengeruhkan penilaianmu. Kalau
ingat, aku tak akan membawamu.”
“Prasangkaku. Bagaimana
dengan prasangkamu? Bagaimana dengan
menganggap semua orang yang membenci ayahmu seperti dirimu adalah sekutu?”
“Ini bukan tentang ayahku!”
“Ini tentang ayahmu! Ia tahu banyak, Tobias. Dan kita
seharusnya mencari tahu apa itu.”
“Masalah ini lagi? Kupikir kita sudah menyelesaikan ini.
Ayahku ini pembohong, Tris.”
“Oh, ya?” Aku mengangkat alis. “Ibumu juga sama. Kau pikir
faksi Abnegation benar-benar bisa membuang seseorang? Karena aku tidak
percaya.”
“Jangan bicara begitu tentang ibuku.”
Aku melihat cahaya di depan. Dari The Pire.
“Oke.” Aku berjalan ke tepi pintu gerbong. Aku tak akan
melakukannya.”
Aku melompat dan berlari beberapa langkah untuk menjaga
keseimbangan. Tobias melompat setelahku, tapi aku tak membiarkannya
menyusulku—aku berjalan memasuki gedung, menuruni tangga, lalu kembali ke The
Pit dan mencari tempat untuk tidur.[]
26
Sesuatu mengguncang dan membangunkanku.
“Tris! Bangun!”
Teriakan. Aku tidak bertanya. Aku mengayunkan kakiku ke tepi
tempat tidur dan membiarkan sebuah tangan menarikku ke pintu. Aku bertelanjang
kaki, dan lantai di sini tidak mulus. Jari dan tumitku tergores. Aku
menyipitkan mata ke depan untuk melihat siapa yang menarikku. Christina. Ia
nyaris menarik lengan kiriku hingga lepas.
“Ada apa?” tanyaku. “Apa yang terjadi?”
“Diamlah dan lari!”
Kami lari ke The Pit. Raungan sungai mengiringi langkahku
menaiki jalan. Terakhir kali Christina menarikku dari tempat tidur adalah saat
melihat tubuh Al diangkat dari jurang. Aku menggertakkan gigi dan berusaha
menyingkirkan pikiran itu. Ini tak mungkin terjadi lagi. Tak mungkin.
Aku terengah. Christina berlari lebih cepat dariku. Kami
berlari melintasi lantai kaca The Pire. Christina menghantamkan telapak
tangannya ke tombol lift dan masuk sebelum pintu lift terbuka sepenuhnya,
sambil menyeretku. Ia menusuk tombol TUTUP, kemudian tombol ke lantai atas.
“Simulasi,” katanya. “Ada simulasi. Tidak semua, cuma ...
cuma beberapa.”
Ia meletakkan tangannya di lutut dan menarik napas
dalam-dalam.
“Salah satunya mengatakan sesuatu tentang Divergent,”
lanjutnya.
“Bilang itu?” tanyaku. “Saat di bawah pengaruh simulasi?”
Christina mengangguk. “Marlene. Tapi tak terdengar seperti
dirinya. Terlalu ... monoton.”
Pintu lift terbuka dan aku mengikutinya menyusuri koridor
menuju pintu bertanda KE ATAP.
“Christina,” kataku, “kenapa kita ke atap?”
Ia tidak menjawab. Tangga menuju atap baunya seperti cat
lama. Dinding-dinding semen itu dihiasi grafiti Dauntless dari cat hitam.
Simbol Dauntless. Inisial pasangan dengan tanda tambah: RG + NT, BR + FH.
Pasangan yang saat ini mungkin sudah tua, atau putus. Aku meraba dadaku untuk
merasakan detak jantung. Terlalu cepat. Ajaib aku masih bisa bernapas dan
sebagainya.
Udara malam terasa dingin, menyebabkan bulu roma di lenganku
berdiri. Sekarang, mataku sudah terbiasa dengan kegelapan, dan di seberang atap
aku melihat tiga sosok berdiri di birai, menghadapku. Salah satunya Marlene.
Lalu Hector. Aku tak kenal yang satu lagi—seorang Dauntless muda, sekitar
delapan tahun, dengan garis hijau di rambutnya.
Mereka masih berdiri di birai, walaupun angin bertiup
kencang dan menyebabkan rambut mereka berkibar di dahi, ke mata, ke mulut
mereka. Pakaian mereka berkelepak tertiup angin, tapi mereka berdiri tapa
tergoyahkan.
“Turunlah dari birai sekarang,” Christina membujuk. “Jangan
bertindak bodoh. Ayo, sekarang ....”
“Mereka tak bisa mendengarmu,” bisikku sambil berjalan
mendekati mereka. “Atau melihatmu.”
“Kita harus menerjang mereka sekaligus. Aku urus Hec, kau—”
“Mereka bisa terdorong jatuh dari atap kalau kita melakukan
itu. Berdirilah di samping anak perempuan itu. Jaga-jaga.”
Anak itu terlalu muda
untuk ini, pikirku. Tapi, aku tak
tega mengatakannya karena itu berarti Marlene cukup tua.
Aku menatap Marlene, yang matanya kosong seperti batu hias,
seperti bola kaca. Aku merasa seakan-akan ada batu dikerongkonganku yang
kemudian jatuh ke perutku, menarikku ke bawah. Tak mungkin menyingkirkannya
dari birai.
Akhirnya, Marlene membuka mulut dan bicara.
“Aku punya pesan untuk Divergent.” Suaranya terdengar datar.
Simulasi ini memanfaatkan pita suaranya, tapi tanpa fluktasi emosi manusia yang
alami.
No comments:
Post a Comment