Insurgent (Divergent #2) (52)

Penulis: Suzanne Collins

Aku mengangkat alis. Aku tak tahu kebencian Tori terhadap Jeanine diketahui banyak orang—atau mungkin bukan itu. Tobias pasti tahu sesuatu tentang Tori yang tidak diketahui orang lain, karena sekarang ia dan Tori adalah pemimpin.

“Aku yakin itu bisa diatur,” jawab Evelyn. “Aku tak peduli siapa yang membunuh Jeanine. Aku cuma ingin ia mati.”

Tobias melirikku. Aku berharap bisa memberi tahu Tobias mengapa aku merasa ragu ... menjelaskan kepadanya mengapa aku, dari semua orang, ragu untuk membantai Erudite. Tapi, aku tak tahu cara menjelaskannya, bahkan jika aku punya waktu untuk itu. Tobias memandang Evelyn.

“Kalau begitu kita sepakat,” katanya.

Ia mengulurkan tangan dan Evelyn menjabatnya.

“Kita akan rapat dalam waktu satu minggu, kata Evelyn. “Di daerah yang netral. Sebagian besar Abnegation telah berbaik hati mengizinkan kami tinggal di sektor mereka di kota untuk menyusun rencara sementara mereka membersihkan akubat serangan waktu itu.”

“Sebagian besar dari mereka,” ulang Tobias.

Ekspresi Evelyn menjadi datar. “Kurasa ayahmu masih dipatuhi oleh sebagian besar dari mereka, dan ia menyarankan mereka untuk menghindari kami saat berkunjung beberapa hari lalu.” Evelyn tersenyum masam. “Dan mereka setuju, persis seperti ketika ia mendesak mereka membuangku.”

“Mereka membuangmu?” tanya Tobias. “Kukira kau pergi.”

“Tidak. Para Abnegation ingin mengampuni dan berdamai, seperti yang kau duga. Tapi, ayahmu memiliki pengaruh besar terhadap mereka, seperti biasanya. Aku memutuskan untuk pergi daripada menghadapi penghinaan dengan dibuang.”

Tobias tampak kaget.

Edward, yang mencondongkan tubuh ke luar dari gerbong sebentar, berseru, “Sudah saatnya!”

“Sampai bertemu dalam satu minggu,” kata Evelyn.

Saat kereta turun hingga sejajar jalan, Edward melompat. Beberapa detik kemudian, Evelyn mengikuti. Aku dan Tobias tetap di kereta, mendengar desisannya di rel, tanpa bicara.

“Kenapa kau membawaku kalau memang berniat untuk bersekutu?” tanyaku datar.

“Kau tidak menghentikanku.”

“Jadi aku harus apa, melambai-lambaikan tanganku di udara?”Aku membersut ke arahnya. “Aku tak suka.”

“Ini harus dilakukan.”

“Kurasa tidak,” sahutku. “Pasti ada jalan lain—”

“Jalan lain apa?” tanya Tobias sambil melipat lengannya. “Kau cuma tak menyukai ibuku. Sejak pertama kali bertemu, kau tak menyukainya.”

“Jelas saja aku tak suka ia! Ia menelantarkanmu!”

“Mereka membuangnya. Dan, kalau aku memutuskan untuk memaafkannya, sebaiknya kau juga melakukan itu! Akulah yang ditinggalkan, bukan kau.”

“Ini lebih dari itu. Aku tak percaya padanya. Kurasa ia mencoba memaafkanmu.”

“Yah, ini bukan keputusanmu.”

“Jadi kenapa kau membawaku, ya?” tanyaku lagi sambil meniru sikapnya menyilangkan lengan. “Oh, ya—supaya aku bisa membaca situasinya untukmu. Nah, aku membacanya, dan hanya karena kau tak suka keputusanku bukan berarti—”

“Aku lupa prasangka bisa mengeruhkan penilaianmu. Kalau ingat, aku tak akan membawamu.”

Prasangkaku. Bagaimana dengan prasangkamu? Bagaimana dengan menganggap semua orang yang membenci ayahmu seperti dirimu adalah sekutu?”

“Ini bukan tentang ayahku!”

“Ini tentang ayahmu! Ia tahu banyak, Tobias. Dan kita seharusnya mencari tahu apa itu.”

“Masalah ini lagi? Kupikir kita sudah menyelesaikan ini. Ayahku ini pembohong, Tris.”

“Oh, ya?” Aku mengangkat alis. “Ibumu juga sama. Kau pikir faksi Abnegation benar-benar bisa membuang seseorang? Karena aku tidak percaya.”

“Jangan bicara begitu tentang ibuku.”

Aku melihat cahaya di depan. Dari The Pire.

“Oke.” Aku berjalan ke tepi pintu gerbong. Aku tak akan melakukannya.”

Aku melompat dan berlari beberapa langkah untuk menjaga keseimbangan. Tobias melompat setelahku, tapi aku tak membiarkannya menyusulku—aku berjalan memasuki gedung, menuruni tangga, lalu kembali ke The Pit dan mencari tempat untuk tidur.[]

26
Sesuatu mengguncang dan membangunkanku.

“Tris! Bangun!”

Teriakan. Aku tidak bertanya. Aku mengayunkan kakiku ke tepi tempat tidur dan membiarkan sebuah tangan menarikku ke pintu. Aku bertelanjang kaki, dan lantai di sini tidak mulus. Jari dan tumitku tergores. Aku menyipitkan mata ke depan untuk melihat siapa yang menarikku. Christina. Ia nyaris menarik lengan kiriku hingga lepas.

“Ada apa?” tanyaku. “Apa yang terjadi?”

“Diamlah dan lari!”

Kami lari ke The Pit. Raungan sungai mengiringi langkahku menaiki jalan. Terakhir kali Christina menarikku dari tempat tidur adalah saat melihat tubuh Al diangkat dari jurang. Aku menggertakkan gigi dan berusaha menyingkirkan pikiran itu. Ini tak mungkin terjadi lagi. Tak mungkin.

Aku terengah. Christina berlari lebih cepat dariku. Kami berlari melintasi lantai kaca The Pire. Christina menghantamkan telapak tangannya ke tombol lift dan masuk sebelum pintu lift terbuka sepenuhnya, sambil menyeretku. Ia menusuk tombol TUTUP, kemudian tombol ke lantai atas.

“Simulasi,” katanya. “Ada simulasi. Tidak semua, cuma ... cuma beberapa.”

Ia meletakkan tangannya di lutut dan menarik napas dalam-dalam.

“Salah satunya mengatakan sesuatu tentang Divergent,” lanjutnya.

“Bilang itu?” tanyaku. “Saat di bawah pengaruh simulasi?”

Christina mengangguk. “Marlene. Tapi tak terdengar seperti dirinya. Terlalu ... monoton.”

Pintu lift terbuka dan aku mengikutinya menyusuri koridor menuju pintu bertanda KE ATAP.

“Christina,” kataku, “kenapa kita ke atap?”

Ia tidak menjawab. Tangga menuju atap baunya seperti cat lama. Dinding-dinding semen itu dihiasi grafiti Dauntless dari cat hitam. Simbol Dauntless. Inisial pasangan dengan tanda tambah: RG + NT, BR + FH. Pasangan yang saat ini mungkin sudah tua, atau putus. Aku meraba dadaku untuk merasakan detak jantung. Terlalu cepat. Ajaib aku masih bisa bernapas dan sebagainya.

Udara malam terasa dingin, menyebabkan bulu roma di lenganku berdiri. Sekarang, mataku sudah terbiasa dengan kegelapan, dan di seberang atap aku melihat tiga sosok berdiri di birai, menghadapku. Salah satunya Marlene. Lalu Hector. Aku tak kenal yang satu lagi—seorang Dauntless muda, sekitar delapan tahun, dengan garis hijau di rambutnya.

Mereka masih berdiri di birai, walaupun angin bertiup kencang dan menyebabkan rambut mereka berkibar di dahi, ke mata, ke mulut mereka. Pakaian mereka berkelepak tertiup angin, tapi mereka berdiri tapa tergoyahkan.

“Turunlah dari birai sekarang,” Christina membujuk. “Jangan bertindak bodoh. Ayo, sekarang ....”

“Mereka tak bisa mendengarmu,” bisikku sambil berjalan mendekati mereka. “Atau melihatmu.”

“Kita harus menerjang mereka sekaligus. Aku urus Hec, kau—”

“Mereka bisa terdorong jatuh dari atap kalau kita melakukan itu. Berdirilah di samping anak perempuan itu. Jaga-jaga.”

Anak itu terlalu muda untuk ini, pikirku. Tapi, aku tak tega mengatakannya karena itu berarti Marlene cukup tua.

Aku menatap Marlene, yang matanya kosong seperti batu hias, seperti bola kaca. Aku merasa seakan-akan ada batu dikerongkonganku yang kemudian jatuh ke perutku, menarikku ke bawah. Tak mungkin menyingkirkannya dari birai.

Akhirnya, Marlene membuka mulut dan bicara.

“Aku punya pesan untuk Divergent.” Suaranya terdengar datar. Simulasi ini memanfaatkan pita suaranya, tapi tanpa fluktasi emosi manusia yang alami.



No comments:

Post a Comment