Penulis: Suzanne
Collins
Aku bangkit, melambaikan perpisahan kepada semua orang di
meja yang memperhatikan—hanya Zeke, karena Christina dan Hector menatap
piringnya, sedangan Uriah dan Marlene sedang bercakap-cakap pelan. Aku dan
Tobias keluar dari kafetaria.
“Kita ke mana?”
“Kereta,” jawab Tobias. “Aku ada rapat, dan aku ingin kau
ikut untuk membantuku membaca situasi.”
Kami menyusuri jalan yang memagari pagar The Pit, menuju
tangga yang mengantarkan kami ke The Pire.
“Kenapa kau perlu aku
untu—”
“Karena kau lebih baik dibandungkan aku.”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Kami menaiki tangga dan
melintasi lantai kaca. Saat berjalan keluar, kami melintasi ruangan pengap
tempatku menghadapi ruang ketakutanku. Dilihat dari jarum suntik di lantai, tampaknya
baru-baru ini ada yang ke sini.
“Kau memasuki ruang ketakutanmu hari ini?” tanyaku.
“Kenapa kau berkata begitu?” Mata gelapnya menghindari
mataku. Tobias mendorong pintu depat dingga terbuka dann aku dikelilingi udara
musim panas. Tak ada angin.
“Buku tanganmu luka dan seseorang menggunakan ruangan itu.”
“Itu yang kumaksud. Kau lebih perspeptif dibandingkan
kebanyakan orang.” Ia mengecek jam tangannya. “Mereka menyuruhku naik kereta
yang berangkat pukul 8.05. Ayo.”
Aku merasakan secercah cahaya. Mungkin kali ini kami tak
akan bertengkar. Mungkin akhirnya hubungan kami membaik.
Kami berjalan menuju rel. Terakhir kalinya kami melakukan
ini, Tobias ingin menunjukkan kepadaku bahwa lampu-lampu menyala di kompleks
Erudite, ingin mengatakan kepadaku bahwa Erudite berencana menyerang faksi
Abnegation. Sekarang, aku merasa kami akan bertemu para factionless.
“Cukup perseptif untuk tahu kau menghindari pertanyaan itu,”
kataku.
Tobias mendesah. “Ya, aku memasuki ruang ketakutanku. Aku
ingin melihat apakah sudah berubah.”
“Ternyata belum. Ya?
Tobias menyibakkan rambut dari wajahnya dan menghindari
tatapanku. Aku tak menyadari rambutnya begitu tebal—sulit mengetahuinya saat
rambutnya dicukur pendek, seperti faksi Abnegation, tapi serakarang panjangnya
lima senti dan hampir menggantung ke dahinya. Rambut itu membuatnya tampak
tidak berbahaya, lebih seperti orang yang kukenal dekat.
“Ya,” jawabnya. “Tapi jumlahnya masih sama.”
Aku mendengar peluit kereta berbunyi di sebelah kiriku, tapi
lampu yang terpasang di gerbong pertamanya tidak menyala. Kereta itu hanya
meluncur di rel seperti sesuatu yang tersembunyi dan merayap.
“Gerbong kelima!” teriaknya.
Kami berlari. Aku menemukan gerbong kelima dan meraih
pegangan di sisinya dengan tangan kiri, lalu menarik sekuat mungkin. Aku
berusaha mengayunkan kakiku sekuat mungkin. Aku berusaha mengayunkan kakiku ke
dalam, tapi gagal. Kakiku tergantung di dekat roda kereta—aku memekik dan
lututku tergores lantai saat aku menarik tubuhku ke dalam.
Tobias masuk sesudahku, lalu berjongkok di sampingku. Aku
memeluk lututku dan menggertakkan gigi.
“Sini, biar kulihat,” katanya. Ia menaikkan kaki celanaku ke
atas lutut. Jari-jarinya meninggalkan goresan dingin tak kasatmata di kulitku.
Aku berpikir untuk mencengkeram kemejanya, lalu menarik dan menciumnya. Aku
berpikir untuk emmeluknya erat. Tapi, aku tak bisa karena di antara kami ada
jurang yang timbul akibat semua rahasia kami.
Lututku merah karena darah. “Tidak dalam. Sembuhnya cepat,”
Tobias menenangkan.
Aku mengangguk. Rasa sakitnya sudah hilang. Tobias
menggulung jinsku agar tidak merosot. Aku berbaring dan menatap langit-langit.
“Jadi, ia masih ada di ruang ketakutanmu?” tanyaku.
Seakan ada orang yang menyalakan korek di balik matanya,
Tobias menjawab, “Ya. Tapi tidak seperti dulu.”
Tobias pernah memberitahuku bahwa ruang ketakutannya tidak
berubah sejak pertama kali masuk ke sana, pada masa inisiasinya. Jadi, jika
sekarang ada yang berubah, walaupun kecil, itu luar biasa.
“Tapi sekarang ada kau,” Tobias mengerutkan kening memandang
tangannya. “Dan kali ini aku harus memandangimu mati dan bukannya menembak
wanita itu seperti yang biasanya kulakukan. Aku tak bisa menghentikannya.”
Tangannya gemetar. Aku berusaha memikirkan kata-kata yang
menenangkan. Aku tak akan mati—tapi
aku tak tahu itu. Kami hidup di dunia yang berbahaya, dan aku tidak terlalu
mencintai kehidupan sehingga mau melakukan apa pun agar selamat. Aku tak bisa
menenangkan Tobias.
Tobias memandang jam tangannya. “Mereka akan tiba kapan
pun.”
Aku bangkit, dan melihat Evelyn serta Edward berdiri di
samping rel. Mereka berlari sebelum kereta lewat, lalu melompat masuk tanpa
kesulitan seperti Tobias. Mereka pasti sudah berlatih.
Edward meringis ke arahku. Hari ini ia mengenakan penutup
mata dengan sulaman “X” besar berwarna biru.
“Halo,” sapa Evelyn. Ia hanya memandang Tobias saat
mengucapkan itu, seolah-olah aku tidak ada.
“Tempat pertemuan yang bagus,” sahut Tobias. Sekarang sudah
hampir gelap, jadi aku hanya bisa melihat bayang-bayang gedung di latar
belakang langit biru gelap serta sejumlah cahaya di dekat danau yang pastilah
merupakan markas Erudite.
Kereta berbelok di tikungan yang tidak biasa dilewatinya—ke
kiri, menjauhi cahaya dari markas Erudite menuju bagian kota yang terlantar.
Dari suasana gerbong yang semakin sepi, aku tahu kereta melambat.
“Tampaknya ini yang paling aman,” kata Evelyn. “Jadi kau
ingin bertemu.”
“Ya. Aku ingin membahas persekutuan.”
“Persekutuan,” ulang Edward. “Siapa yang memberimu wewenang
untuk itu?”
“Tobias ini pemimpin Dauntless,” kataku. “Ia punya
wewenang.”
Edward mengangkat alisnya, tampak terkesan. Mata Evelyn
akhirnya memandangku, tapi hanya sedetik, lalu ia tersenyu, ke arah Tobias
lagi.
“Menarik, katanya. “Apakah gadis ini juga pemimpin Dauntless?”
“Bukan, jawab Tobias. “Ia di sini untuk membantuku
memutuskan apakah sebaiknya memercayaimu atau tidak.”
Evelyn mengerucutkan bibirnya. Sebagian dari diriku ingin
membusungkan dada dan berkata, “Ha!” Tapi, aku berpuas diri dengan senyum
simpul.
“Tentu saja kami akan menyetujui persekutuan itu ... dengan
beberapa syarat,” kata Evelyn. “Posisi terjamin—dan setara—dalam bentuk
pemerintahan apa pun setelah faksi Erudite dihancurkan, dan kendali penuh
terhadap data-data Erudite setelah penyerangan itu. Jelas—”
“Apa yang akan kau lakukan dengan data Erudite itu?” aku
menyela.
“Tentu saja kami akan menghancurkannya. Satu-satunya cara
untuk mencabut kekuasaan Erudite adalah dengan merebut pengetahuan mereka.”
Firasat pertamaku adalah menyebutnya bodoh. Tapi sesuatu
menahanku. Tanpa teknologi simulasi, tanpa data tentang semua faksi yang mereka
miliki, jika mereka tidak memusatkan perhatian pada perkembangan teknologi,
serangan terhadap faksi Abnegation tak akan terjadi. Orangtuaku tentu masih
hidup.
Bahkan, jika kami berhasil membunuh Jeanine, apakah Erudite
bisa dipercaya untuk tidak menyerang dan mengendalikan kami lagi? Aku tak
yakin.
“Lalu, apa imbalan buat kami, dengan syarat-syarat seperti
itu?” tanya Tobias.
“Sumber daya manusia kami yang sangat dibutuhkan untuk
merebut markas Erudite serta posisi yang setara dalam pemerintahan, bersama
kami.”
“Aku yakin Tori juga akan meminta hak untuk menyingkirkan
Jeanine Matthews dari dunia,” kata Tobias pelan.
No comments:
Post a Comment