Insurgent (Divergent #2) (50)

Penulis: Suzanne Collins

“Pasti bisa,” aku menatap Zeke. “Ia bisa memakai kursi roda, dan seseorang bisa mendorongnya menaiki jalan di The Pit, lalu ada lift di dalam gedung di atas sana.” Aku menunjuk ke atas kepala kami. “Ia tak perlu bisa berjalan untuk meluncur dari tali luncur atau menembakkan senjata.”

“Ia pasti tak akan meau aku mendorongnya,” suara Zeke agak parau. “Ia tak akan mau aku menggendongnya, atau membawanya.”

“Ia harus menerima itu. Apakah kau ingin ia keluar dari Dauntless hanya karena alasan bodoh seperti tak mampu berjalan?”

Zeke terdiam sejenak. Matanya beralih dari wajahku dan ia menyipitkan mata, seolah sedang menimbang-nimbang dan menilaiku.

Lalu ia berbalik, membungkuk, dan merangkulku. Sudah lama tak ada yang memelukku sehingga tubuhnya tegang. Lalu, aku mengendurkan tubuhku dan membiarkan tindakannya itu menghantarkan kehangatan ke seluruh badanku, yang dingin karena bajuku lembap.

“Aku akan menembak barang-barang,” ujar Zeke saat menyudahi pelukannya. “Ikut?”

Aku mengangkat bahu dan mengejarnya menyeberangi lantai The Pit, Bud memberikan pistol paintball, dan aku mengisi punyaku. Berat, bentuk, dan bahannya sangat berbeda dengan revolver sehingga aku tak takut memegangnya.

“Kami sudah mengurus yang di The Pit dan di bawah tanah,” Bud menjelaskan. “Tapi kalian bisa menangani The Pire.”

“The Pire?”

Bud menunjuk ke gedung kaca di atas kami. Pemandangan itu menusukku seperti jarum. Terakhir kali aku berdiri di sini dan menatap ke langit-langit ini adalah saat akan menghancurkan simulasi. Bersama ayahku.

Zeke sudah berjalan naik ke sana. Aku memaksa diriku mengikuti. Satu langkah demi satu langkah. Sulit untuk berjalan karena sulit untuk bernapas, tapi entah bagaimana aku berhasil. Saat tiba di tangga, tekanan di dadaku hampir hilang.

Begitu kami tiba di The Pire, Zeke mengangkat senjatanya dan membidik salah satu kamera di dekat langit-langit. Ia menembak, tapi cat hijaunya hanya menodai salah satu jendela, gagal menghantam lensa kamera.

“Ooh,” aku berkomentar sambil meringis . “Aduh.”

“h, ya? Aku ingin melihatmu langsung menembaknya dengan sempurna.”

“Sungguh?” Aku mengangkat senjataku, menopangnya dengan bahu kiri dan bukan bahu kanan. Senjata itu terasa asing di tangan kiriku, tapi aku belum bisa menahan beratnya dengan tangankananku. Melalui pembidiknya aku menyasar kamera itu, lalu menyipitkan mata untuk mengintip melalui lensanya. Suatu suara berbisik di kepalaku. Tarik napas. Bidik. Buang napas. Tembak. Perlu beberapa detik sebelum aku sadar itu suara Tobias, karena ialah yang mengajariku menembak. Aku meremas pelatuk dan paintball itu menghantam kamera, menyemprotkan cat biru di lensanya. “Nah. Sudah. Dengan tangan yang salah pula.”

Zeke menggumamkan sesuatu yang kedengarannya tidak menyenangkan.

“Hei!” seru suatu suara riang. Marlene melongokkan kepalanya di atas lantai kaca. Dahinya ternoda cat, membuat alisnya jadi ungu. Ia tersenyum nakal, lalu membidik Zeke dan menghantam kakinya, kemudian membidikku. Paintball itu mengenai lenganku, rasanya begitu menyengat.

Marlene tertawa, lalu merunduk di bawah kaca. Aku dan Zeke saling pandang, lalu berlari mengejar Marlene yang tertawa sambil berlari turun dan berzigzag di antara kerumunan anak-anak. Aku menembaknya, tapi hanya mengenai dinding. Marlene menembak anak laki-laki di dekat rel—Hector, adik Lynn. Ia tampak kaget, pada awalnya, tapi segera membalas dan mengenai orang di samping Marlene.

Dalam sekejap, suara letupan membahana karena semua orang di The Pit saling menembak, yang muda maupun yang tua. Sesaat kami melupakan kamera. Aku berlari menuruni jalan itu, dikelilingi tawa dan tembakan. Kami berkumpul dan membentuk tim-tim, lalu saling serang.

Saat perang-perangan itu selesai, bajuku sudah sangat berwarna-warni dan nyaris tidak hitam. Aku memutuskan menyimpan kaus itu untuk mengingatkanku mengapa aku memilih Dauntless: bukan karena mereka sempurna, tapi karena mereka hidup. Karena mereka bebas.[]

25
Seseorang telah menggerebek dapur-dapur Dauntless dan memanaskan makanan kalengan yang ada di sana sehingga kami bisa menikmati makanan hangat pada malam itu. Aku duduk di kursi yang biasa kugunakan bersama Christina, Al, dan Will dulu. Sejak duduk di sana, aku merasakan gumpalan di kerongkonganku. Mengapa yang tersisa cuma setengahnya?

Aku merasa bertanggung jawab atas itu. Pengampunanku dapat menyelamatkan Al, tapi aku tidak memberikannya. Pikiran jernihku bisa saja membuat Will tidak mati, tapi aku tak adapat berpikir jernih.

Sebelum aku tenggelam terlalu jauh dalam perasaan bersalah, Uriah menjatuhkan nampannya di sampingku. Nampannya itu berisi semur daging dan kue cokelat. Aku menatap tumpukan kue itu.

“Ada kue?” tanyaku sambil memandang piringku sendiri, yang isinya lebih wajar dibandingkan punya Uriah.

“Ya, ada yang baru mengeluarkannya. Ia menemukan kotak adonan kue di belakang, lalu memanggangnya,” jalas Uriah. “Kau boleh mencicipi punyaku.”

Mencicipi? Kau mau menghabiskan gunung kue itu sendirian?”

“Tentu.” Ia tampak heran. “Kenapa?”

“Lupakan saja.”

Christina duduk di seberang meja, sejauh mungkin dariku. Zeke meletakkan nampanya di samping Christina. Lynn, Hector, dan Marlene segera bergabung. Aku melihat kulasan gerakan di bawah meja dan melihat tangan Marlene memegang tangan Uriah di lutut pemuda itu. Jari-jari mereka bertaut. Mereka memang berusaha tampil normal, tapi mereka saling curi pandang.

Di kiri Marlene, Lynn tampak seoerti baru mencicipi sesuatu yang asam. Ia menyendok makanan besar-besar ke mulutnya.

“Memangnya ada kebakaran?” Uriah menggoda Lynn. “Kau bakal muntah kalau makan cepat-cepat begitu.”

Lynn memandangi Uriah dengan tatapan marah. “Aku tetap bakal muntah karena kalian berdua curi-curi pandang begitu sepanjang waktu.”

Telingan Uriah memerah. “Kau ini bicara apa?”

“Aku bukan orang tolol, begitu juga dengan yang lain. Jadi, kenapa tidak sekalian saja kau cium ia?”

Uriah tampak terkejut. Namun, Marlene memelototi Lynn, mencondongkan tubuhnya, lalu mencium bibir Uriah, jari-jarinya bergerak di leher pemuda itu, di balik kerah kemejanya. Aku melihat kacang polong berjatuhan dari garpuku, yang sedang menuju mulutku.

Lynn mencengkeram nampannya, lalu bergegas meninggalkan meja.

“Apa-apaan, tuh?” tanya Zeke.

“Jangan tanya aku,” sahut Hector. “Ia itu selalu marah tentang sesuatu. Aku sudah tak lagi repot-repot mencari tahu.”

Wajah Uriah dan Marlene masih berdekatan. Dan mereka masih tersenyum.

Aku memaksa diriku menatap piring. Rasanya aneh melihat dua orang yang kau kenal secara terpisah kemudian pacaran, walaupun aku pernah melihatnya terjadi. Aku mendengar decitan saat Christina menggaruk piringnya dengan garpu secara malas-malasan.

“Four!” Zeke berseru memanggil. Ia tampak legi. “Sini! Masih ada tempat.”

Tobias menyentuh bahuku yang sehat. Beberapa buku jarinya robek, dan darahnya tampak segar. “Maaf, aku tak bisa tinggal.”

Ia menunduk lalu berkata, “Boleh kupinjam kau sebentar?”



No comments:

Post a Comment