Insurgent (Divergent #2) (49)

Penulis: Suzanne Collins

“Tunggu,” pinta Eric. “Aku punya permintaan.”

“Kami tak akan mengabulkan permintaas seorang kriminal,” jawab Tori. Ia berdiri dengan satu kaki, sejak beberapa menit terakhir. Tori terdengar lelah—ia mungkin ingin ini lekas selesai sehingga bisa duduk kembali. Baginya eksekusi ini hanya sesuatu yang tidak menyenangkan.

“Aku ini pemimpin Dautless,” sahut Eric. “Aku cuma ingin Four yang menembakkan pelurunya.”

Kenapa?” tanya Tobias.

“Supaya kau hidup dengan rasa bersalah,” jawab Eric. “Menyadari bahwa dirimu merebut kekuasaanku, lalu menembak kepalaku.”

Kurasa aku mengerti. Eric ingin melihat orang gentar—selalu begitu, sejak memasang kamera di ruang eksekusiku saat aku nyaris tenggelam dan mungkin bahkan lama sebelum itu. Eric yakin jika Tobias harus membunuhnya, ia akan menyaksikan kegentaran itu sebelum mati.

Gila.

“Tak akan ada rasa bersalah,” jawab Tobias.

“Kalau begitu, tak masalah kan kalau kau yang melakukannya,” Eric tersenyum lagi.

Tobias memungut peluru.

“Beri tahu aku,” kata Eric pelan, “karena aku selalu penasaran. Yang selalu muncul di setiap ruang ketakutanmu itu ayahmu?”

Tobias memasukkan peluru tanpa mendongak.

“Kau tak suka mendengar pertanyaan itu?” tanya Eric. “Kenapa? Takut para Dauntless akan berubah pikiran terhadapmu? Karena menyadari bahkan walaupun hanya punya empat ketakutan, kau masih seorang pengecut?”

Eric duduk tegak di kursi dan meletakkan tangannya di pegangan.

Tobias mengacungkan pistolnya setinggi bahu kiri.

“Eric,” katanya, “beranikan dirimu.”

Tobias meremas pelatuk.

Aku menutup mata.[]

24

Warna darah itu aneh. Lebih gelap daripada yang kau kira.

Aku menunduk memandangi tangan Marlene, yang memeluk lenganku. Kuku-kukunya pendek dan bergerigi—ia menggigitinya. Ia mendorongku maju, dan sepertinya aku berjalan karena dapat merasakan diriku bergerak, tapi dalam pikiranku aku berdiri di depan Eric dan ia masih hidup.

Eric mati seperti Will. Tersungkur seperti Will.

Aku pikir gumpalan yang terasa di kerongkonganku akan hilang begitu Eric mati, tapi ternyata tidak. Aku harus menarik napas kuat-kuat agar mendapat cukup udara. Untungnya orang-orang di sekitarku begitu ribut sehingga tak ada yang mendengar. Kami bergegas ke pintu. Harrison berjalan di depan, sambil menggendong Tori di punggung seperti anak kecil. Tori tertawa, lengannya merangkul leher Harrison.

Tobias menyentuh punggungku. Aku tahu karena aku melihatnya menghampiri dari belakang dan melakukan itu, bukan karena aku merasakannya. Aku tak merasakan apa pun.

Pintu-pintu terbuka dari arah luar. Kami langsung berhenti sebelum menginjak-injak Jack Kang dan sekelompok Candor yang mengikutinya.

“Apa  yang kalian lakukan?” tanya Jack Kang. “Aku diberi tahu bahwa Eric tak ada di selnya.”

“Eric itu berada di wilayah hukum kami,” Tori menjelaskan. “Kami mengadili dan mengeksekusinya. Seharusnya kau berterima kasih kepada kami.”

“Kenapa ....” Wajah Jack memerah. Warnanya lebih gelap dibandingkan saat wajah seseorang merona, walaupun keduanya disebabkan oleh darah. “Kenapa aku harus berterima kasih kepada kalian?”

“Karena kau juga ingin Eric dieksekusi, kan? Karena ia membunuh salah satu anakmu?” Tori memiringkan kepala dan menatap dengan mata lebar, tampak naif. “Yah, kami mengurusnya untukmu. Sekarang, permisi, kami mau pergi.”

“Ap—Pergi?” Jack tergagap.

Kalau kami pergi, ia tak akan sanggup memenuhi dua dari tiga tuntutan Max. Itu membuatnya ketakutan, dan terpampang jelas di wajahnya.

“Aku tak bisa membiarkan kalian,” Jack menghalangi.

“Kau tak bisa menghalangi kami melakukan apa pun,” kata Tobias. “Kalau kalian tidak minggir, kami akan terpaksa menerjang kalian dan bukannya melewati kalian.”

“Bukannya kalian di sini untuk mencari sekutu?” Jack memberengut. “Kalau kalian melakukan ini, kami akan memihak faksi Erudite. Pasti. Dan, kalian tak akan bisa mendapatkan dukungan dari kami lagi. Kalian—”

“Kami tak membutuhkanmu sebagai sekutu,” potong Tori. “Kami ini Dauntless.”

Setiap orang berteriak, dan entah bagaimana teriakan mereka merobek kabut di benakku. Semua orang langsung mendesak maju. Para Candor di koridor memekik dan langsung menyingkir saat kami tumpah ruah memenuhi koridor seperti pipa yang meledak, air Dauntless menyebar dan mengisi ruang-ruang kosong.

Cengkeraman Marlene di lenganku lepas. Aku berlari menuruni tangga, menempel erat pada Dauntless di depanku dan mengabaikan sikut-sikut dan semua teriakan di sekitarku. Aku merasa menjadi peserta inisiasi lagi, berlari menyerbu tangga menuju The Hub setelah Upacara Pemilihan. Kakiku terbakar, tapi tak masalah.

Kami tiba di lobi. Sekelompok Candor dan Erudite menanti di sana, termasuk perempuan Divergent berambut pirang yang waktu itu dijambak dan diseret ke lift, anak perempuan yang kubantu kabur, serta Cara. Mereka memandang sungai Dauntless melewati mereka dengan air muka putus asa.

Cara melihatku dan menarik lenganku, menahanku. “Kalian mau ke mana?”

“Markas Dauntless.” Aku berusaha menarik lenganku, tapi ia tak mau melepaskannya. Aku tak memandang wajahnya. Saat ini aku tak sanggup menatapnya.

“ergilah ke markas Amity,” kataku. “Mereka menjanjikan keselamatan bagi siapa pun yang menginginkannya. Kalian tak aman di sini.”

Cara melepaskanku, nyaris seperti mendorongku.

Di luar, tanah terasa licin di bawah sepatuku, dan buntalan pakaian memukul punggungku saat aku mulai berlari pelan. Air hujan mengenai kepala dan punggungku. Kakiku mencipratkan air dari genangan, menyebabkan kaki celanaku basah.

Aku menghirup aroma trotoar basah, dan berpura-pura hanya itulah yang ada.
***

Aku berdiri di pagar yang menghadap jurang. Air menampar dinding di bawahku, tapi tidak cukup tinggi untuk menciprati sepatuku.

Sekitar seratus meter dariku, Bud membagi-bagikan pistol paintball. Seseorang membagikan pelurunya. Sebentar lagi sudut-sudut tersembunyo di markas Dauntless akan ditutupi cat warna-warni, menghalangi lensa kamera pengawas.

“Hei, Tris,” panggil Zeke yang bergabung denganku di pagar. Matanya merah dan bengkak, tapi bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.

“Hei. Kau berhasil.”

“Ya. Kami menunggu sampai Shauna stabil baru membawanya ke sini.” Ia menggosok sebelah matanya dengan menggunakan ibu jari. “Aku tak ingin memindahkannya, tapi ... markas Candor tidak aman lagi. Pastinya.”

“Bagaimana keadaan Shauna?”

“Entahlah. Ia bakal selamat, tapi perawat pikir ia mungkin lumbuh dari pinggang ke bawah. Itu tak masalah buatku, tapi ...” Zeke menangkat sebelah bahunya. “Bagaimana ia bisa jadi Dauntless kalau tak bisa jalan?”

Aku menatap ke seberang The Pit. Di sana sejumlah anak-anak Dauntless kejar-kejaran menyusuri jalan itu sambil menembakkan paintball ke dinding. Salah satu dari mereka berhenti dan menembaki batu dengan warna kuning.

Aku memikirkan kata-kata Tobias saat kami menginap bersama factionless, tentang para Dauntless tua yang meninggalkan faksi karena secara fisik mereka tak mampu lagi tinggal di sini. Aku memikirkan lagu Candor, yang menyebut kami sebagai faksi paling kejam.

“Bisa,” kataku.

“Tris. Shauna tak akan bisa ke mana-mana.”



No comments:

Post a Comment