Penulis: Suzanne
Collins
23
Tak sampai sepuluh detik setelah pemilihan para pemimpin
baru kami, terdengar deringan—satu panjang dan dua pendek. Aku bergerak menuju
suara itu, dengan telinga kanan mengarah ke tembok, dan menemukan pengeras
suara tertanam di langit-langit. Di seberang ruangan ada satu lagi.
Lalu, suara Jack Kang berkumandang di sekeliling kami.
“Perhatian kepada semua yang ada di markas Candor. Beberapa
jam yang lalu, aku menemui wakil Jeanine Matthews. Ia mengingatkanku bahwa
kita, faksi Candor, berada dalam posisi yang lemah, membutuhkan faksi Erudite
untuk hidup, dan mengatakan jika ingin faksiku merdeka, aku harus memenuhi
sejumlah tuntutan.”
Aku mendongak memandangi pengeras suata itu. Tercenung.
Seharusnya aku tidak terkejut menghadap keterusterangan pemimpin Candor ini,
tapi aku tak menduga ini diumumkan secara luas.
“Untuk memenuhi tuntutan tersebut, aku meminta semua orang
pergi ke Tempat Berkumpul untuk melaporkan apakah kalian terkena implan atau
tidak,” katanya. “Pemimpin Erudiite juga memerintahkan agar semua Divergent
diserahkan kepada faksi Erudite. Aku tak tahu untuk apa.”
Ia terdengar lesu. Kalah. Yah, ia memang kalah,
pikirku. Karena ia terlalu lemah untuk
membalas.
Salah satu hal yang diketahui para Dauntless tapi tidak
diketahui para Candor adalah untuk berjuan walaupaun tampaknya sia-sia.
Terkadang, aku merasa seperti mengumpulkan pelajaran dari
setiap faksi, dan menyimpannya dalam benakku seperti buku panduan untuk
menjelajahi dunia. Selalu ada yang bisa dipelajari, selalu ada sesuatu yang
penting untuk dipahami.
Pengumuman Jack Kang diakhiri dengan tiga deringan seperti
tadi. Para Dauntless di ruangan langsung bergerak, melemparkan barang-barang
mereka ke dalam tas. Beberapa pemuda Dauntless menyingkirkan seprai dari pintu
dan meneriakkan sesuatu tentang Eric. Siku seseorang menekanku ke dinding, dan
aku hanya berdiri dan memandang keadaan yang semakin kacau.
Di sisi lain, salah satu hal yang diketahui para Candor tapi
tidak diketahui para Dauntless adalah bagaimana agar tidak terpengaruh.
***
Para Dauntless berdiri dalam setengah lingkaran mengelilingi
kursi interogasi, tempat Eric duduk. Ia tampak mati dan tidak hidup. Eric
merosot di kursi, keringat berkilauan di dahunya yang pucat. Ia memandang
Tobias dengan kepala dimiringkan sehingga bulu matanya menyatu dengan alis. Aku
berusaha menatapnya, tapi senyumannya—yang sangat lebar saat bibirnya
merekah—terlalu mengerikan untuk dipandang.
“Kau mau aku mengatakan apa kejahatanmu?” tanya Tori. “Atau
kau mau menyebutkannya sendiri?”
Hujan tercurah ke sisi gedung itu dan airnya mengalir di
dinding. Kami berdiri di ruang interogasi di lantai teratas Merciless Mart.
Badai sore terdengar lebih keras di sini. Setiap gemuruh guntur dan kilasan
kilat membuat bulu kudukku meremang, seolah-olah listrik menari-nari di atas
kulitku.
Aku suka aroma trotoar yang basah. Di sini baunya lemah.
Namun setelah ini selesai, seluruh Dauntless akan berlari menuruni tangga dan
meninggalkan Merciless Mart. Trotoar basah akan menjadi satu-satunya aroma yang
kucium.
Kami membawa tas kami. Tasku berupa buntalan yang dibuat
dari seprai dan sejumlah tali. Isinya pakaianku dan sepasang sepatu ganti. Aku
mengenakan jaket yang kucuri dari Dauntless pembelot—aku ingin Eric melihatnya
saat memandangku.
Eric memandang orang-orang selama beberapa saat, lalu
menatapku. Ia menautkan jari-jarinya dan meletakkannya—dengan hati-hati—di
perut. “Aku mau ia yang menyebutkannya. Karena ia yang menusukku, pastilah ia
tahu apa saja kesalahanku.”
Aku tak tahu permainan apa yang Eric mainkan, atau apa
gunanya menakut-nakuti, terutama sekarang, sebelum eksekusinya. Eric tampak
arogan, tapi aku melihat jari-jarinya gemetar saat ia menggerakkannya. Bahkan,
seorang Eric pun pastilah takut terhadap kematian.
“Jangan libatkan ia,” ujar Tobias.
“Kenapa? Karena kau berhubungan dengannya?” Eric tersenyum
licik. “Oh, tunggu. Aku lupa. Orang Kaku kan tidak melakukan yang seperti itu. Mereka cuma saling mengikat tali sepatu
dan memotong rambut.”
Ekspresi Tobias tidak berubah. Kurasa aku mengerti: Eric
sama sekali tidak peduli denganku. Tapi, ia tahu benar bagaimana menyakiti
Tobias, dengan telak. Dan, salah satu cara menyakiti Tobias dengan sangat telak
adalah dengan menghinaku.
Inilah yang paling ingin kuhindari: karena kebahagiaan dan
kehancuran Tobias. Karena itulah, aku tak bisa membiarkannya memnelaku
sekarang.
“Aku ingin ia mengucapkannya,” ulang Eric.
Aku berkata, sedatar mungkin.
“Kau bersekongkol dengan faksi Erudite. Kau bertanggung
jawab terhadap kematian ratusan Abnegation.” Sambil melanjutkan, aku tak bisa
lagi menjaga agar suaraku tetap datar. Aku mulai memuntahkan kata-kata itu
seperti racun. “Kau mengkhianati faksi Dauntless. Kau menembak kepala seorang
anak kecil. Kau itu mainan konyol Jeanine Matthews.”
Senyum Eric memudar.
“Apakah aku pantas mati?” tanyanya.
Tobias membuka mulut untuk menyela. Tapi, aku menjawab
sebelum ia melakukan itu.
“Ya.”
“Cukup adil.” Mata hitam Eric kosong, seperti jurang, bagai
malam tak berbintang. “Tapi, apakah kau punya hak untuk memutuskan itu,
Beatrice Prior? Seperti saat memutuskan nasib anak laki-laki itu—siapa namanya?
Will?”
Aku tak menjawab. Aku mendengar ayahku bertanya, “Apa yang
membuatmu berpikir kau memiliki hak untuk menembak seseorang?” waktu kami
bertempur untuk mencapai ruang kendali di markas Dauntless. Ayahku bilang ada
cara yang benar untuk melakukan sesuatu di kerongkonganku, seperti segumpal
lilin, begitu besar sehingga aku sulit menelan, susah bernapas.
“Kau telah melakukan semua kejahatan dengan hukuman
eksekusi,” kata Tobias. “Kami
memiliki hak untuk mengeksekusimu, berdasarkan hukum Dauntless.”
Tobias berjongkok dekat tiga pistol di lantai di dekat kaki
Eric. Ia mengeluarkan pelurunya satu demi satu. Peluru-peluru itu berdenting
saat jatuh ke lantai, lalu bergulir, dan berhenti di ujung sepatu Tobias. Ia
mengambil pistol yang tengah dan memasukkan peluru ke lubang pertama.
Lalu, ia menggerakkan ketiga pistol di lantai, berputar dan
berputar, hingga mataku tak bisa lagi mengikuti pistol yang tengah tadi. Aku
tak tahu pistol mana yang berisi peluru. Tobias memungut pistol-pistol itu dan
memberikan satu ke Tori dan satu lagi ke Harrison.
Aku berusaha memikirkan simulasi penyerangan dan apa yang
terjadi pada faksi Abnegation. Orang-orang tak bersalah berbaju kelabu terbujur
mati di jalanan. Jumlah Abnegation yang tersisa tak cukup banyak untuk mengurus
mayat-mayat itu, jadi mungkin sebagian besarnya masih ada di sana. Dan itu tak
akan terjadi tanpa Eric.
Aku memikirkan si Anak Candor, yang ditempak tanpa sedikit
pun keraguan. Betapa kaku tubuhnya saat menghantam lantai di sampingku.
Mungkin bukan kami memutuskan apakah Eric hidup atau mati.
Mungkin ia sendiri yang memutuskannya, saat melakukan semua hal mengerikan itu.
Tapi, aku masih sulit bernapas.
Aku memandang Eric tanpa rasa dendam, tanpa rasa benci, dan
tanpa rasa takut. Anting di wajahnya berkilau, dan segumpal rambut kotor
menjuntai ke matanya.
No comments:
Post a Comment