Insurgent (Divergent #2) (48)

Penulis: Suzanne Collins

23

Tak sampai sepuluh detik setelah pemilihan para pemimpin baru kami, terdengar deringan—satu panjang dan dua pendek. Aku bergerak menuju suara itu, dengan telinga kanan mengarah ke tembok, dan menemukan pengeras suara tertanam di langit-langit. Di seberang ruangan ada satu lagi.

Lalu, suara Jack Kang berkumandang di sekeliling kami.

“Perhatian kepada semua yang ada di markas Candor. Beberapa jam yang lalu, aku menemui wakil Jeanine Matthews. Ia mengingatkanku bahwa kita, faksi Candor, berada dalam posisi yang lemah, membutuhkan faksi Erudite untuk hidup, dan mengatakan jika ingin faksiku merdeka, aku harus memenuhi sejumlah tuntutan.”

Aku mendongak memandangi pengeras suata itu. Tercenung. Seharusnya aku tidak terkejut menghadap keterusterangan pemimpin Candor ini, tapi aku tak menduga ini diumumkan secara luas.

“Untuk memenuhi tuntutan tersebut, aku meminta semua orang pergi ke Tempat Berkumpul untuk melaporkan apakah kalian terkena implan atau tidak,” katanya. “Pemimpin Erudiite juga memerintahkan agar semua Divergent diserahkan kepada faksi Erudite. Aku tak tahu untuk apa.”

Ia terdengar lesu. Kalah. Yah, ia memang kalah, pikirku. Karena ia terlalu lemah untuk membalas.

Salah satu hal yang diketahui para Dauntless tapi tidak diketahui para Candor adalah untuk berjuan walaupaun tampaknya sia-sia.

Terkadang, aku merasa seperti mengumpulkan pelajaran dari setiap faksi, dan menyimpannya dalam benakku seperti buku panduan untuk menjelajahi dunia. Selalu ada yang bisa dipelajari, selalu ada sesuatu yang penting untuk dipahami.

Pengumuman Jack Kang diakhiri dengan tiga deringan seperti tadi. Para Dauntless di ruangan langsung bergerak, melemparkan barang-barang mereka ke dalam tas. Beberapa pemuda Dauntless menyingkirkan seprai dari pintu dan meneriakkan sesuatu tentang Eric. Siku seseorang menekanku ke dinding, dan aku hanya berdiri dan memandang keadaan yang semakin kacau.

Di sisi lain, salah satu hal yang diketahui para Candor tapi tidak diketahui para Dauntless adalah bagaimana agar tidak terpengaruh.
***

Para Dauntless berdiri dalam setengah lingkaran mengelilingi kursi interogasi, tempat Eric duduk. Ia tampak mati dan tidak hidup. Eric merosot di kursi, keringat berkilauan di dahunya yang pucat. Ia memandang Tobias dengan kepala dimiringkan sehingga bulu matanya menyatu dengan alis. Aku berusaha menatapnya, tapi senyumannya—yang sangat lebar saat bibirnya merekah—terlalu mengerikan untuk dipandang.

“Kau mau aku mengatakan apa kejahatanmu?” tanya Tori. “Atau kau mau menyebutkannya sendiri?”

Hujan tercurah ke sisi gedung itu dan airnya mengalir di dinding. Kami berdiri di ruang interogasi di lantai teratas Merciless Mart. Badai sore terdengar lebih keras di sini. Setiap gemuruh guntur dan kilasan kilat membuat bulu kudukku meremang, seolah-olah listrik menari-nari di atas kulitku.

Aku suka aroma trotoar yang basah. Di sini baunya lemah. Namun setelah ini selesai, seluruh Dauntless akan berlari menuruni tangga dan meninggalkan Merciless Mart. Trotoar basah akan menjadi satu-satunya aroma yang kucium.

Kami membawa tas kami. Tasku berupa buntalan yang dibuat dari seprai dan sejumlah tali. Isinya pakaianku dan sepasang sepatu ganti. Aku mengenakan jaket yang kucuri dari Dauntless pembelot—aku ingin Eric melihatnya saat memandangku.

Eric memandang orang-orang selama beberapa saat, lalu menatapku. Ia menautkan jari-jarinya dan meletakkannya—dengan hati-hati—di perut. “Aku mau ia yang menyebutkannya. Karena ia yang menusukku, pastilah ia tahu apa saja kesalahanku.”

Aku tak tahu permainan apa yang Eric mainkan, atau apa gunanya menakut-nakuti, terutama sekarang, sebelum eksekusinya. Eric tampak arogan, tapi aku melihat jari-jarinya gemetar saat ia menggerakkannya. Bahkan, seorang Eric pun pastilah takut terhadap kematian.

“Jangan libatkan ia,” ujar Tobias.

“Kenapa? Karena kau berhubungan dengannya?” Eric tersenyum licik. “Oh, tunggu. Aku lupa. Orang Kaku kan tidak melakukan yang seperti itu. Mereka cuma saling mengikat tali sepatu dan memotong rambut.”

Ekspresi Tobias tidak berubah. Kurasa aku mengerti: Eric sama sekali tidak peduli denganku. Tapi, ia tahu benar bagaimana menyakiti Tobias, dengan telak. Dan, salah satu cara menyakiti Tobias dengan sangat telak adalah dengan menghinaku.

Inilah yang paling ingin kuhindari: karena kebahagiaan dan kehancuran Tobias. Karena itulah, aku tak bisa membiarkannya memnelaku sekarang.

“Aku ingin ia mengucapkannya,” ulang Eric.

Aku berkata, sedatar mungkin.

“Kau bersekongkol dengan faksi Erudite. Kau bertanggung jawab terhadap kematian ratusan Abnegation.” Sambil melanjutkan, aku tak bisa lagi menjaga agar suaraku tetap datar. Aku mulai memuntahkan kata-kata itu seperti racun. “Kau mengkhianati faksi Dauntless. Kau menembak kepala seorang anak kecil. Kau itu mainan konyol Jeanine Matthews.”

Senyum Eric memudar.

“Apakah aku pantas mati?” tanyanya.

Tobias membuka mulut untuk menyela. Tapi, aku menjawab sebelum ia melakukan itu.

“Ya.”

“Cukup adil.” Mata hitam Eric kosong, seperti jurang, bagai malam tak berbintang. “Tapi, apakah kau punya hak untuk memutuskan itu, Beatrice Prior? Seperti saat memutuskan nasib anak laki-laki itu—siapa namanya? Will?”

Aku tak menjawab. Aku mendengar ayahku bertanya, “Apa yang membuatmu berpikir kau memiliki hak untuk menembak seseorang?” waktu kami bertempur untuk mencapai ruang kendali di markas Dauntless. Ayahku bilang ada cara yang benar untuk melakukan sesuatu di kerongkonganku, seperti segumpal lilin, begitu besar sehingga aku sulit menelan, susah bernapas.

“Kau telah melakukan semua kejahatan dengan hukuman eksekusi,” kata Tobias. “Kami memiliki hak untuk mengeksekusimu, berdasarkan hukum Dauntless.”

Tobias berjongkok dekat tiga pistol di lantai di dekat kaki Eric. Ia mengeluarkan pelurunya satu demi satu. Peluru-peluru itu berdenting saat jatuh ke lantai, lalu bergulir, dan berhenti di ujung sepatu Tobias. Ia mengambil pistol yang tengah dan memasukkan peluru ke lubang pertama.

Lalu, ia menggerakkan ketiga pistol di lantai, berputar dan berputar, hingga mataku tak bisa lagi mengikuti pistol yang tengah tadi. Aku tak tahu pistol mana yang berisi peluru. Tobias memungut pistol-pistol itu dan memberikan satu ke Tori dan satu lagi ke Harrison.

Aku berusaha memikirkan simulasi penyerangan dan apa yang terjadi pada faksi Abnegation. Orang-orang tak bersalah berbaju kelabu terbujur mati di jalanan. Jumlah Abnegation yang tersisa tak cukup banyak untuk mengurus mayat-mayat itu, jadi mungkin sebagian besarnya masih ada di sana. Dan itu tak akan terjadi tanpa Eric.

Aku memikirkan si Anak Candor, yang ditempak tanpa sedikit pun keraguan. Betapa kaku tubuhnya saat menghantam lantai di sampingku.

Mungkin bukan kami memutuskan apakah Eric hidup atau mati. Mungkin ia sendiri yang memutuskannya, saat melakukan semua hal mengerikan itu.

Tapi, aku masih sulit bernapas.

Aku memandang Eric tanpa rasa dendam, tanpa rasa benci, dan tanpa rasa takut. Anting di wajahnya berkilau, dan segumpal rambut kotor menjuntai ke matanya.



No comments:

Post a Comment