Insurgent (Divergent #2) (47)

Penulis: Suzanne Collins

“Misi utamaku adalah Jeanine Matthews.” Ia memelototi tangannya. “Bagaimana ia menghabiskan waktu. Dan, yang paling penting, di mana ia menghabiskan waktunya itu.”

“Jadi, bukan di kantornya?”

Mulanya Tori tak menjawab.

“Kurasa aku bisa memercayaimu, Divergent.” Ia memandangku dari sudut matanya. “Jeanine punya laboratorium pribadi di lantai atas. Dengan keamanan yang gila-gilaan. Aku sedang mencoba ke sana saat mereka memergokiku.”

“Kau sedang mencoba ke sana,” kataku. Matanya menghindari mataku. “Bukan untuk memata-matai, kalau begitu.”

“Aku pikir akan lebih ... bermanfaat kalau Jeanine Matthews tidak hidup lebih lama lagi.”

Aku melihat semacam rasa haus darah pada ekspresi wajahnya, ekspresi yang sama dengan yang kulihat waktu ia menceritakan tentang saudara laki-lakinya di kamar belakang salon tato dulu. Kalau ini terjadi sebelum simulasi penyerangan, aku mungkin akan menyebutnya sebagai rasa haus akan keadilan, atau bahkan balas dendam. Namun sekarang, aku paham itu rasa haus darah. Dan walaupun takut, aku memahaminya.

Yang seharusnya justru membuatku semakin takut.

Tori berkata, “Aku akan berusaha mengumumkan pertemuan itu.”
***

Para Dauntless berkumpul di ruang kosong di antara deretan ranjang tingkat dan pintu, yang ditutup rapat menggunakan seprai yang digulung dengan ketat, kunci terbaik yang dapat dibuat oleh para Dauntless. Aku yakin Jack Kang akan menyetujui tuntutan Jeanine. Kami tak aman lagi di sini.

“Apa syaratnya?” tanya Tori. Ia duduk di kursi di antara beberapa ranjang, kakinya yang terluka terjulur di depannya. Ia bertanya kepada Tobias, tapi Tobias sepertinya tidak memperhatikan. Ia bersandar ke salah satu ranjang dengan tangan dilipat sambil memandangi lantai.

Aku berdeham. “Ada tiga. Mengembalikan Eric ke faksi Erudite. Melaporkan nama-nama orang yang tidak tertembak jarum. Dan, mengirimkan para Divergent ke markas Erudite.”

Aku memandang Marlene. Ia balas tersenyum ke arahku dengan agak sedih. Ia mungkin mencemaskan Shauna yang masih bersama dokter Erudite. Lynn, Hector, orangtua mereka, dan Zeke ada di sana.

“Kalau Jack Kang bikin kesepakatan dengan Erudite, kita tak bisa tinggal di sini,” kata Tori. “Jadi, kita harus ke mana?”

Aku mengingat darah di kemeja Shauna, dan merindukan kebun-kebun Amity, bunyi angin di antara dedaunan, dan rasa batang pohon di tanganku. Aku tak pernah mengira akan merindukan tempat itu. Kupikir aku tak bisa merasa begitu.

Aku menutup mata sekejap. Saat membukanya lagi, aku menghadapi kenyataan, dan Amity hanyalah mimpi.

“Pulang,” kata Tobias akhirnya sambil mengangkat kepala. Semua orang mendengar. “Kita harus merebut kembali milik kita. Kita bisa menghancurkan kamera pengawas di markas Dauntless sehingga para Erudite tak bisa melihat kita. Kita harus pulang.”

Seseorang menyepakatinya dengan berteriak, dan yang lain mengikuti. Beginilah hal-hal di Dauntless diputuskan: dengan anggukan dan teriakan. Pada saat-saat seperti ini, kami seperti bukan individu-individu lagi. Kami semua adalah bagian dari pikiran yang sama.

“Tapi sebelum melakukan itu,” sela Bud, yang pernah bekerja bersama Tori di salon tato dan sekarang berdiri sambil memegangi sandaran kursi Tori, “kita harus memutuskan apa yang akan kita lakukan terhadap Eric. Membiarkannya di sini bersama Erudite, atau mengeksekusinya.”

“Eric itu seorang Dauntless,” ujar Lauren sambil memutar cincin di bibirnya dengan ujung jari. “Itu artinya kitalah yang memutuskan apa yang akan terjadi pada Eric. Bukan para Candor.”

Kali ini tubuhku secara otomatis mengeluarkan teriakan, bergabung dengan yang lain untuk menyatakan kesepakatan.

“Menurut hukum Dauntless, hanya pemimpin Dauntless yang dapat melakukan eksekusi. Kelima pemimpin kita yang lalu adalah Dauntless pembelot,” ujar Tori. “Jadi, kurasa sudah saatnya memilih yang baru. Hukum menyatakan kita perlu lebih dari satu, dan jumlahnya harus ganjil. Kalau kalian punya usul, kalian harus meneriakkannya sekarang, lalu kita akan memungut suara jika perlu.”

“Kau!” seru seseorang.

“Oke,” kata Tori. “Ada yang lain?”

Marlene mencorongkan tangannya di depan mulut dan berseru, “Tris!”

Jantungku berdegup. Namun anehnya, tak seorang pun yang menggumamkan penolakan dan tak ada yang tertawa. Sebaliknya, beberapa orang mengangguk, seperti yang mereka lakukan saat nama Tori disebut. Aku memandang orang-orang dan melihat Christina. Ia berdiri dengan tangan dilipat, dan tampaknya tidak bereaksi sama sekali terhadap pencalonanku.

Aku bertanya-tanya bagaimana mereka memandangku. Pastilah mereka melihat seseorang yang tak kulihat. Seseorang yang mampu dan kuat. Seseorang yang tak mungkin aku. Seseorang yang mungkin aku.

Tori menanggapi Marlene dengan anggukan, lalu memandang orang-orang menanti calon yang lain.

“Harrison,” seseorang mengusulkan. Aku tak tahu siapa Harrison hingga ada yang menepuk seorang pria paruh baya dengan ekor kuda pirang sepanjang bahu. Harrison meringis. Aku mengenalinya. Ia Dauntless yang memanggilku “Nak” ketika Zeke dan Tori datang dari markas Erudite.

Sesaat para Dauntless hening.

“Aku akan mencalonkan Four,” Tori mengumumkan.

Walaupun ada sedikit gumaman marah di belakang ruangan, tak ada yang menolak. Tak seorang pun yang memanggil Tobias pengecut, tidak setelah ia menghajar Marcus di kafetaria. Aku bertanya-tanya bagaimana reaksi mereka jika tahu tindakan itu diperhitungkan dengan baik.

Sekarang, Tobias bisa mencapai tujuannya. Kecuali, kalau aku menghalangi.

“Kita hanya perlu tiga pemimpin,” ujar Tori. “Kita harus melakukan pemungutan suara.”

Mereka tak akan pernah mencalonkanku kalau aku tak menghentikan simulasi penyerangan itu. Dan, mungkin mereka tak akan mempertimbangkannya jika aku tak pernah menikam Eric di dekat lift itu, atau memata-matai dari bawah jembatan. Semakin sembrono tindakanku, semakin populer aku di mata para Dauntless.

Tobias memandangku. Aku tak bisa populer di mata Dauntless karena Tobias benar—aku bukan Dauntless. Aku ini Divergent. Aku adalah apa pun yang kupilih. Dan, aku tak bisa memilih menjadi ini. Aku harus tetap terpisah dari mereka.

“Tidak,” kataku. Aku berdeham, lalu mengatakannya dengan lebih lantang. “Tidak, kalian tak perlu melakukan pemungutan suara. Aku menolak pencalonanku.”

Tori mengangkat alis memandangku. “Kau yakin, Tris?”

“Ya,” aku menjawab. “Aku tak menginginkannya. Aku yakin.”

Lalu, tanpa bantahan dan tanpa upacara, Tobias dipilih menjadi pemimpin Dauntless, sedangkan aku tidak.[]



No comments:

Post a Comment