Penulis: Suzanne
Collins
Aku melihat gedung kaca itu. Lalu, aku mendengar lebih
banyak langkah kaki, lebih banyak tembakan. Aku berlari zigzag agar para
Dauntless pembelot lebih sulit mengenaiku.
Aku sudah dekat dengan gedung kaca. Tinggal beberapa meter
lagi. Aku mengatupkan gigi dan berlari lebih kencang. Kakiku kebas. Aku nyaris
tak merasakan tanah di bawahku. Tapi sebelum necapai pintu, aku melihat gerakan
di gang di sebelah kananku. Aku banting arah dan mengikutinya.
Tiga sosok berlari menyusuri gang. Satu pirang. Satu tinggi.
Dan satu lagi Peter.
“Peter!” teriakku. Ia mengangkat pistol dan di belakangku,
Tobias mengacungkan pistolnya. Kami berdiri hanya beberapa meter satu sama
lain, saling diam. Di belakng Peter, si Wanita Pirang—mungkin Jeanine—dan si
Dauntless pembelot yang tinggi berbelok. Walaupun tak punya senjata ataupun
rencana, aku ingin mengejar mereka. Aku mungkin akan melakukan itu seandainya
Tobias tidak mencengkeram bahuku dan menahanku di tempat.
“Dasar pengkhianat,” aku mencaci Peter. “Aku tahu itu. Aku tahu itu.”
Jeritan merobek udara. Begitu sedih. Suara perempuan.
“Kedengarannya teman-temanmu membutuhkanmu,” ejek Peter
sambil tersenyum singkat—atau menyeringai, aku tak tahu. Ia tetap mengacungkan
pistolnya. “Jadi kau punya pilihan. Kau bisa membiarkan kami pergi dan menolong
teman-temanmu itu, atau kau bisa mati karena mencoba mengikuti kami.”
Aku nyaris menjerit. Kami berdua tahu apa yang akan
kulakukan.
“Kuharap kau mati,” aku menyumpahinya.
Aku mundur menuju Tobias, yang kemudian ikut mundur
bersamaku. Saat tiba di ujung gang, kami berbalik dan lari.[]
22
Shauna terbaring di tanah dengan wajah menghadap ke bawah
dan darah menggenangi atasannya. Lynn berjongkok di sampingnya. Hanya menatap.
Tanpa melakukan apa-apa.
“Ini salahku,” gumam Lynn. “Seharusnya aku tak menembaknya.
Seharusnya aku tidak ....”
Aku menatap genangan darah itu. Peluru menghantam punggung
Shauna. Aku tak tahu apakah ia masih bernapas atau tidak. Tobias meraba leher
Shauna dengan dua jari, lalu mengangguk.
“Kita harus pergi dari sini,” katanya. “Lynn. Lihat aku. Aku
akan membawa Shauna, dan itu akan membuatnya kesakitan, tapi ini satu-satunya
yang bisa kita lakukan.”
Lynn mengangguk. Tobias berjongkok di samping Shauna dan
meletakkan tangannya di bawah lengan Shauna. Ia mengangkatnya dan Shauna
mengerang. Aku buru-buru maju untuk membantu Tobias menaikkan tubuh Shauna yang
lemas ke bahunya. Leherku tegang dan aku batuk untuk meredakan tekanannya.
Tobias berdiri sambil mendengus karena berat, lalu kami
berjalan kembali ke Merciless Mart—Lynn di depan, dengan pistolnya, dan aku di
belakang. Aku berjalan mundur untuk menjaga bagian belakang kami, tapi tak
melihat siapa pun. Aku pikir para Dauntless pembelot sudah mundur. Tapi, aku
harus memastikannya.
“Hei!” teriak seseorang. Uriah berlari kecil menghampiri
kami. “Zeke harus membantu mereka menyelamatkan Jack ... ya ampun.” Ia
berhenti. “Ya ampun. Shauna?”
“Ini bukan saatnya,” bentak Tobias tajam. “Larilah ke
Merciless Mart dan panggil dokter.”
Tapi, Uriah hanya menatap.
“Uriah! Pergi, sekarang!”
Bentakan itu begitu nyaring dan tak ada sesuatu pun di jalan yang bisa
melembutkan suaranya. Akhirnya, Uriah berbalik dan berlari kencang menuju
Merciless Mart.
Jaraknya hanya satu kilometer, tapi dengan dengusan Tobias,
napas Lynn yang tersendat-sendat, serta kesadaran bahwa Shauna bakal kehabisan
darah dan mati, rasanya kami tak sampai-sampai. Aku memandang otot-otot di
punggung Tobias meregang dan mengerut seiring tarikan napasnya yang kuat.
Telingaku pun tak mendengar langkah kami. Aku hanya mendengar detak jantungku.
Saat akhirnya kami mencapai pintu, aku merasa bakal muntah, atau pingsan, atau
menjerit sekuat tenaga.
Uriah, seorang pria Erudite dengan rambut yang disisir untuk
menutupi bagian botak di kepalanya, dan Cara sudah menunggu kami tepat di balik
pintu. Mereka sudah menyiapkan seprai untuk membaringkan Shauna. Tobias
menurunkan Shauna ke sana, dan si Dokter langsung bekerja, menggunting kemeja
itu dari punggung Shauna. Aku berpaling. Aku tak mau melihat luka tembakan.
Tobias berdiri di depanku, wajahnya merah karena kecapaian.
Aku ingin Tobias memelukku lagi, seperti yang dilakukannya setelah serangan
terakhir, tapi ia tak melakukan itu dan aku tahu lebih baik tidak bertindak
duluan.
“Aku tak akan berpura-pura tak tahu apa yang terjadi
denganmu,” katanya. “Tapi, kalau kau mengadu nyawa lagi tanpa berpikir
panjang—”
“Aku tidak mengadu nyawa tanpa pikir panjang. Aku berusaha berkorban, seperti yang orangtuaku
lakukan, seperti—”
“Kau bukan orangtuamu.
Kau ini gadis enam belas tahun—”
Aku mengatupkan gigi. “Berani-beraninya
kau—”
“—yang tak mengerti bahwa nilai pengorbanan itu terletak
pada keharusannya, bukan pada
menyia-nyiakan hidup! Kalau kau melakukan itu lagi, kita bubar.”
Aku tak menyangka Tobias akan berkata begitu.
“Itu ultimatum?” Aku berusaha memelankan suaraku agar yang
lain tak mendengar.
Tobias menggeleng. “Tidak, aku hanya mengatakan kenyataan.”
Bibirnya membentuk satu garis. “Kalau sekali lagi kau menerumuskan dirimu ke dalam
bahaya tanpa alasan yang jelas, kau bakal jadi sekadar Dauntless pecandu
adrenalin yang ketagihan tantangan, dan aku tak akan membantumu.” Ia
mengucapkan itu dengan nada pahit. “Aku mencintai Tris si Divergent, orang yang
memutuskan sesuatu bukan karena loyalitas terhadap faksi, orang yang tidak
sesuai dengan ciri khas salah satu faksi. Tapi, Tris yang berusaha sekuat
tenaga untuk menghancurkan dirinya sendiri ... aku tak bisa mencintainya.”
Aku ingin menjerit. Bukan karena marah, tapi karena aku takut
Tobias benar. Tanganku gemetar dan aku mencengkeram bagian bawah kemejaku untuk
menghentikannya.
Tobias menyentuhkan dahinya ke dahiku dan menutup mata. “Aku
yakin kau masih ada di dalam sana,” katanya di dekat bibirku. “Kembalilah.”
Tobias mengecupku pelan dan aku terlalu kaget untuk
menghentikannya.
Lalu, ia kembali ke sisi Shauna dan aku berdiri di atas
salah satuu timbangan Candor di lobi. Bingung.
***
“Lama tak bertemu.”
Aku duduk lemas di tempat tidur di seberang Tori. Ia duduk
dengan tegak, kakinya diganjal setumpuk bantal.
“Ya, memang,” kataku. “Bagaimana perasaanmu?”
“Seperti ditembak.” Senyuman merekah di bibirnya. “Kudengar
kau akrab dengan perasaan seperti itu.”
“Yah. Asyik, kan?” Yang bisa kupikirkan hanyalah peluru di
punggung Shauna. Setidaknya lukaku dan Tori bisa sembuh.
“Apakah kau mendengar sesuatu yang menarik di pertemuan
Jack?” tanyanya.
“Beberapa hal. Kau tahu harus bagaimana supaya rapat
Dauntless bisa diadakan?”
“Aku bisa mewujudkannya. Salah satu keuntungan menjadi seniman
tato Dauntless adalah ... kami kenal hampir semua orang.”
“Benar,” sahutku. “Kau juga dikenal sebagai mantan
mata-mata.”
Tori meringis. “Aku hampir lupa itu.”
“Apakah kau
menemukan sesuatu yang menarik? Sebagai mata-mata maksudku.”
No comments:
Post a Comment