Insurgent (Divergent #2) (46)

Penulis: Suzanne Collins

Aku melihat gedung kaca itu. Lalu, aku mendengar lebih banyak langkah kaki, lebih banyak tembakan. Aku berlari zigzag agar para Dauntless pembelot lebih sulit mengenaiku.

Aku sudah dekat dengan gedung kaca. Tinggal beberapa meter lagi. Aku mengatupkan gigi dan berlari lebih kencang. Kakiku kebas. Aku nyaris tak merasakan tanah di bawahku. Tapi sebelum necapai pintu, aku melihat gerakan di gang di sebelah kananku. Aku banting arah dan mengikutinya.

Tiga sosok berlari menyusuri gang. Satu pirang. Satu tinggi. Dan satu lagi Peter.

“Peter!” teriakku. Ia mengangkat pistol dan di belakangku, Tobias mengacungkan pistolnya. Kami berdiri hanya beberapa meter satu sama lain, saling diam. Di belakng Peter, si Wanita Pirang—mungkin Jeanine—dan si Dauntless pembelot yang tinggi berbelok. Walaupun tak punya senjata ataupun rencana, aku ingin mengejar mereka. Aku mungkin akan melakukan itu seandainya Tobias tidak mencengkeram bahuku dan menahanku di tempat.

“Dasar pengkhianat,” aku mencaci Peter. “Aku tahu itu. Aku tahu itu.”

Jeritan merobek udara. Begitu sedih. Suara perempuan.

“Kedengarannya teman-temanmu membutuhkanmu,” ejek Peter sambil tersenyum singkat—atau menyeringai, aku tak tahu. Ia tetap mengacungkan pistolnya. “Jadi kau punya pilihan. Kau bisa membiarkan kami pergi dan menolong teman-temanmu itu, atau kau bisa mati karena mencoba mengikuti kami.”

Aku nyaris menjerit. Kami berdua tahu apa yang akan kulakukan.

“Kuharap kau mati,” aku menyumpahinya.

Aku mundur menuju Tobias, yang kemudian ikut mundur bersamaku. Saat tiba di ujung gang, kami berbalik dan lari.[]

22

Shauna terbaring di tanah dengan wajah menghadap ke bawah dan darah menggenangi atasannya. Lynn berjongkok di sampingnya. Hanya menatap. Tanpa melakukan apa-apa.

“Ini salahku,” gumam Lynn. “Seharusnya aku tak menembaknya. Seharusnya aku tidak ....”

Aku menatap genangan darah itu. Peluru menghantam punggung Shauna. Aku tak tahu apakah ia masih bernapas atau tidak. Tobias meraba leher Shauna dengan dua jari, lalu mengangguk.

“Kita harus pergi dari sini,” katanya. “Lynn. Lihat aku. Aku akan membawa Shauna, dan itu akan membuatnya kesakitan, tapi ini satu-satunya yang bisa kita lakukan.”

Lynn mengangguk. Tobias berjongkok di samping Shauna dan meletakkan tangannya di bawah lengan Shauna. Ia mengangkatnya dan Shauna mengerang. Aku buru-buru maju untuk membantu Tobias menaikkan tubuh Shauna yang lemas ke bahunya. Leherku tegang dan aku batuk untuk meredakan tekanannya.

Tobias berdiri sambil mendengus karena berat, lalu kami berjalan kembali ke Merciless Mart—Lynn di depan, dengan pistolnya, dan aku di belakang. Aku berjalan mundur untuk menjaga bagian belakang kami, tapi tak melihat siapa pun. Aku pikir para Dauntless pembelot sudah mundur. Tapi, aku harus memastikannya.

“Hei!” teriak seseorang. Uriah berlari kecil menghampiri kami. “Zeke harus membantu mereka menyelamatkan Jack ... ya ampun.” Ia berhenti. “Ya ampun. Shauna?”

“Ini bukan saatnya,” bentak Tobias tajam. “Larilah ke Merciless Mart dan panggil dokter.”

Tapi, Uriah hanya menatap.

“Uriah! Pergi, sekarang!” Bentakan itu begitu nyaring dan tak ada sesuatu pun di jalan yang bisa melembutkan suaranya. Akhirnya, Uriah berbalik dan berlari kencang menuju Merciless Mart.

Jaraknya hanya satu kilometer, tapi dengan dengusan Tobias, napas Lynn yang tersendat-sendat, serta kesadaran bahwa Shauna bakal kehabisan darah dan mati, rasanya kami tak sampai-sampai. Aku memandang otot-otot di punggung Tobias meregang dan mengerut seiring tarikan napasnya yang kuat. Telingaku pun tak mendengar langkah kami. Aku hanya mendengar detak jantungku. Saat akhirnya kami mencapai pintu, aku merasa bakal muntah, atau pingsan, atau menjerit sekuat tenaga.

Uriah, seorang pria Erudite dengan rambut yang disisir untuk menutupi bagian botak di kepalanya, dan Cara sudah menunggu kami tepat di balik pintu. Mereka sudah menyiapkan seprai untuk membaringkan Shauna. Tobias menurunkan Shauna ke sana, dan si Dokter langsung bekerja, menggunting kemeja itu dari punggung Shauna. Aku berpaling. Aku tak mau melihat luka tembakan.

Tobias berdiri di depanku, wajahnya merah karena kecapaian. Aku ingin Tobias memelukku lagi, seperti yang dilakukannya setelah serangan terakhir, tapi ia tak melakukan itu dan aku tahu lebih baik tidak bertindak duluan.

“Aku tak akan berpura-pura tak tahu apa yang terjadi denganmu,” katanya. “Tapi, kalau kau mengadu nyawa lagi tanpa berpikir panjang—”

“Aku tidak mengadu nyawa tanpa pikir panjang. Aku berusaha berkorban, seperti yang orangtuaku lakukan, seperti—”

“Kau bukan orangtuamu. Kau ini gadis enam belas tahun—”

Aku mengatupkan gigi. “Berani-beraninya kau—”

“—yang tak mengerti bahwa nilai pengorbanan itu terletak pada keharusannya, bukan pada menyia-nyiakan hidup! Kalau kau melakukan itu lagi, kita bubar.”

Aku tak menyangka Tobias akan berkata begitu.

“Itu ultimatum?” Aku berusaha memelankan suaraku agar yang lain tak mendengar.

Tobias menggeleng. “Tidak, aku hanya mengatakan kenyataan.” Bibirnya membentuk satu garis. “Kalau sekali lagi kau menerumuskan dirimu ke dalam bahaya tanpa alasan yang jelas, kau bakal jadi sekadar Dauntless pecandu adrenalin yang ketagihan tantangan, dan aku tak akan membantumu.” Ia mengucapkan itu dengan nada pahit. “Aku mencintai Tris si Divergent, orang yang memutuskan sesuatu bukan karena loyalitas terhadap faksi, orang yang tidak sesuai dengan ciri khas salah satu faksi. Tapi, Tris yang berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan dirinya sendiri ... aku tak bisa mencintainya.”

Aku ingin menjerit. Bukan karena marah, tapi karena aku takut Tobias benar. Tanganku gemetar dan aku mencengkeram bagian bawah kemejaku untuk menghentikannya.

Tobias menyentuhkan dahinya ke dahiku dan menutup mata. “Aku yakin kau masih ada di dalam sana,” katanya di dekat bibirku. “Kembalilah.”

Tobias mengecupku pelan dan aku terlalu kaget untuk menghentikannya.

Lalu, ia kembali ke sisi Shauna dan aku berdiri di atas salah satuu timbangan Candor di lobi. Bingung.
***

“Lama tak bertemu.”

Aku duduk lemas di tempat tidur di seberang Tori. Ia duduk dengan tegak, kakinya diganjal setumpuk bantal.

“Ya, memang,” kataku. “Bagaimana perasaanmu?”

“Seperti ditembak.” Senyuman merekah di bibirnya. “Kudengar kau akrab dengan perasaan seperti itu.”

“Yah. Asyik, kan?” Yang bisa kupikirkan hanyalah peluru di punggung Shauna. Setidaknya lukaku dan Tori bisa sembuh.

“Apakah kau mendengar sesuatu yang menarik di pertemuan Jack?” tanyanya.

“Beberapa hal. Kau tahu harus bagaimana supaya rapat Dauntless bisa diadakan?”

“Aku bisa mewujudkannya. Salah satu keuntungan menjadi seniman tato Dauntless adalah ... kami kenal hampir semua orang.”

“Benar,” sahutku. “Kau juga dikenal sebagai mantan mata-mata.”

Tori meringis. “Aku hampir lupa itu.”

“Apakah kau menemukan sesuatu yang menarik? Sebagai mata-mata maksudku.”



No comments:

Post a Comment