Penulis: Suzanne
Collins
Sekelompok Dauntless berjalan di antara meja kami dan meja
sebelah. Dibandingkan Tobias, mereka lebih tua, tapi hanya sedikit. Rambut
salah satu gadis itu lima warna, dan lengannya ditutupi banyak tato sehingga
aku tak bisa melihat kulitnya. Salah seorang pemuda mencondongkan tubuh ke arah
Tobias, yang memunggungi mereka, dan berbisik, “Pengecut,” sambil lewat.
Yang lainnya juga melakukan itu, mendesiskan “pengecut” ke
telinga Tobias, lalu terus berjalan. Tobias berhenti dengan tangan memegang
pisau berisi mentega yang akan dioleskan di atas seiris roti sambil menatap
meja.
Dengan tegang, aku menunggu Tobias meledak.
“Dasar idiot,” Lauren mencibir. “Para Candor itu juga,
karena membuatmu menumpahkan kisah hidupmu kepada semua orang mereka juga
idiot.”
Tobias tidak menjawab. Ia meletakkan pisau dan roti itu,
lalu menjauh dari meja. Matanya memandang ke atas dan menatap sesuatu di
seberang ruangan.
“Ini harus dihentikan,” katanya pelan. Lalu, ia berjalan
menuju apa pun yang tadi dilihatnya sebelum aku sadar. Ini tidak bagus.
Tobias menyelinap di antara meja-meja dan orang-orang
seolah-olah tubuhnya cair dan bukannya padat. Aku terhuyung-huyung mengikutinya
sambil menggumamkan permintaan maaf seraya mendorong orang-orang ke samping.
Kemudian, aku melihat siapa yang Tobias hampiri. Marcus. Ia
duduk bersama beberapa anggota Candor dewasa.
Tobias mencapai tempat Marcus, lalu mencengkeram tengkuknya
dan memaksanya berdiri. Mulut Marcus membuka untuk mengucapkan sesuatu, dan itu
tindakan yang keliru karena Tobias menonjok giginya dengan keras. Seseorang
berteriak, tapi tak ada yang bergegas membantu Marcus. Lagi pula, kami berada
di ruangan penuh Dauntless.
Tobias mendorong Marcus ke tengah ruangan, ke tempat kosong
di antara meja-meja dengan simbol Candor. Marcus terjungkal ke salah satu
timbangan, dengan tangan menutupi wajahnya sehingga aku tak bisa melihat luka
yang Tobias buat.
Tobias mendorong Marcus ke lantai dan menekan leher ayahnya
itu dengan tumit sepatu. Marcus memukul kaki Tobias, darah mengalir dari
bibirnya. Namun, walaupun mungkin dulu tubuhnya kuat, saat ini ia tak mungkin
masih sekuat anaknya. Tobias membuka gespernya, lalu melepaskan ikat pinggang.
Ia mengangkat kakinya dari leher Marcus dan menarik ujung
ikat pinggangnya.
“Ini untuk kebaikanmu,” katanya.
Aku ingat itulah yang selalu Marcus, dan juga bayangannya,
katakan pada Tobias di ruang ketakutannya.
Lalu, ikat pinggang itu melayang di udara dan menghantam
lengan Marcus. Wajah Marcus memerah. Ia menutupi kepalanya saat cambukan
berikutnya datang, kali ini mengenai punggungnya. Semua orang di sekelilingku
tertawa. Asalnya dari meja para Dauntless. Namun, aku tidak tertawa. Aku tak
mungkin menertawakan ini.
Akhirnya, aku sadar. Aku berlari ke depan dan meraih bahu
Tobias.
“Hentikan!” kataku. “Tobias, hentikan sekarang juga!"
Aku mengira akan melihat tatapan liar di matanya. Namun,
saat Tobias memandangku, aku tak melihat tatapan seperti itu. Wajahnya tidak
merah dan napasnya mantap. Ini bukan tindakan yang dilakukan karena marah.
Ini tindakan yang dilakukan dengan penuh perhitungan.
Tobias menurunkan ikat pinggang dan merogoh sakunya. Ia
mengeluarkan rantai perak yang digantungi cincin. Marcus yang terbaring
menyamping terkesiap. Tobias menjatuhkan cincin itu ke lantai di samping wajah
ayahnya. Cincin itu terbuat dari logam kusam yang sudah pudar, cincin kawin
faksi Abnegation.
“Ibuku,” ujar Tobias, “kirim salam.”
Tobias berlalu. Perlu beberapas saat hingga aku bisa
bernapas kembali. Lalu, aku meninggalkan Marcus yang meringkuk di lantai dan
mengejar Tobias. Aku baru bisa menyusulnya setelah sampai di koridor.
“Tadi itu apa?”
aku mendesak.
Tobias menekan tombol TURUN lift tanpa memandangku.
“Yang tadi itu perlu,” jawabnya.
“Perlu untuk apa?” tanyaku.
“Apa? Sekarang, kau kasihan kepadanya?” kata Tobias sambil
membersut memandangku. “Apakah kau tahu berapa kali ia melakukan itu padaku? Menurutmu
bagaimana aku belajar melakukannya?”
Aku merasa rapuh, seolah akan hancur. Yang tadi itu memang
terasa seperti sudah dilatih, seakan-akan Tobias sudah sering membayangkan
melakukan itu dan menghafalkan kata-katanya di depan cermin. Ia benar-benar
menghayatinya. Dan, kali ini ia hanya memainkan peranan itu.
“Tidak,” sahutku pelan. “Tidak, aku tidak kasihan kepadanya.
Sama sekali tidak.”
“Jadi apa, Tris?” Suaranya kasar. Mungkin itu yang
menghancurkanku. “Kau tidak peduli dengan apa yang kulakukan atau kukatakan
selama minggu terakhir ini, jadi kenapa sekarang sikapmu berbeda?”
Aku nyaris takut kepadanya. Aku tak tahu apa yang harus
kukatakan atau lakukan terhadap bagian dirinya yang tak terduga ini. Dan bagian
itu ada di sini, menggelegak di balik tindakannya, seperti bagian kejam dalam
diriku. Ada peperangan di dalam diri kami. Terkadang, peperangan itu membuat
kami tetap hidup. Terkadang, peperangan itu mengancam untuk menghancurkan kami.
“Entahlah,” kataku.
Lift berbunyi saat tiba. Tobias naik dan menekan tombol
TUTUP sehingga pintu lift menutup di antara kami. Aku menatap logam yang
digosok itu dan berusaha memikirkan kejadian sepuluh menit terakhir
tadi. “Ini harus dihentikan,” kata Tobias tadi. “Ini” adalah
olok-olok, akibat dari interogasi waktu itu, ketika Tobias mengaku bahwa ia
bergabung dengan faksi Dauntless untuk melarikan diri dari ayahnya. Lalu, ia
menghajar Marcus—di depan umum, di tempat yang bisa dilihat semua Dauntless.
Untuk apa? Untuk menyelamatkan harga dirinya? Tak mungkin.
Tindakannya tadi terlalu disengaja.
***
Saat kembali ke kafetaria, aku melihat seorang pria Candor
menuntun Marcus ke kamar mandi. Marcus berjalan dengan pelan, tapi tidak
membungkuk, yang membuatku berpikir Tobias tidak menyebabkan luka parah. Aku
memandang pintu tertutup di belakangnya.
Aku sama sekali belum lupa dengan apa yang kudengar di
kompleks Amity, mengenai informasi yang ayahku lindungi dengan nyawanya. Yang
seharusnya dilindungi ayahku, aku mengingatkan diriku. Mungkin memercayai
Marcus bukan tindakan yang bijaksana. Dan, aku sudah berjanji pada diri sendiri
untuk tidak bertanya tentang informasi itu lagi kepadanya.
Aku keluyuran di luar kamar mandi itu hingga pria Candor
tadi keluar, lalu segera masuk sebelum pintu tertutup. Marcus duduk di lantai
di samping wastafel sambil menekankan setumpuk tisu ke mulutnya. Tampaknya ia
tidak senang melihatku.
“Apa? Mau menertawaiku?” tanyanya. “Keluar.”
“Tidak,” aku menjawab.
Sebenarnya mengapa aku di sini?
Marcus memandangku sambil menanti. “Jadi?”
“Kupikir kau bisa memanfaatkan peringatan,” kataku. “Apa pun
yang ingin kau ambil dari Jeanine, kau tak akan bisa melakukannya sendiri, dan
kau tak akan bisa melakukannya hanya dengan bantuan para Abnegation.”
“Kupikir kita sudah pernah melewati ini.” Suaranya teredam
tisu. “Gagasan bahwa kau bisa membantu—”
“Aku tak tahu apa yang menyebabkanmu menyangka aku ini tak
berguna, tapi begitulah kenyataannya,” bentakku. “Dan aku tak tertarik
mendengar alasanmu. Yang ingin kukatakan adalah kalau kau sudah berhenti
berpikir begitu dan mulai putus asa karena terlalu bodoh untuk memikirkannya
sendiri, kau tahu harus mendatangi siapa.
Aku meninggalkan kamar mandi tepat pada saat pria Candor
tadi masuk sambil membawa kompres es.[]
No comments:
Post a Comment