Insurgent (Divergent #2) (43)

Penulis: Suzanne Collins

Sekelompok Dauntless berjalan di antara meja kami dan meja sebelah. Dibandingkan Tobias, mereka lebih tua, tapi hanya sedikit. Rambut salah satu gadis itu lima warna, dan lengannya ditutupi banyak tato sehingga aku tak bisa melihat kulitnya. Salah seorang pemuda mencondongkan tubuh ke arah Tobias, yang memunggungi mereka, dan berbisik, “Pengecut,” sambil lewat.

Yang lainnya juga melakukan itu, mendesiskan “pengecut” ke telinga Tobias, lalu terus berjalan. Tobias berhenti dengan tangan memegang pisau berisi mentega yang akan dioleskan di atas seiris roti sambil menatap meja.

Dengan tegang, aku menunggu Tobias meledak.

“Dasar idiot,” Lauren mencibir. “Para Candor itu juga, karena membuatmu menumpahkan kisah hidupmu kepada semua orang mereka juga idiot.”

Tobias tidak menjawab. Ia meletakkan pisau dan roti itu, lalu menjauh dari meja. Matanya memandang ke atas dan menatap sesuatu di seberang ruangan.

“Ini harus dihentikan,” katanya pelan. Lalu, ia berjalan menuju apa pun yang tadi dilihatnya sebelum aku sadar. Ini tidak bagus.

Tobias menyelinap di antara meja-meja dan orang-orang seolah-olah tubuhnya cair dan bukannya padat. Aku terhuyung-huyung mengikutinya sambil menggumamkan permintaan maaf seraya mendorong orang-orang ke samping.

Kemudian, aku melihat siapa yang Tobias hampiri. Marcus. Ia duduk bersama beberapa anggota Candor dewasa.

Tobias mencapai tempat Marcus, lalu mencengkeram tengkuknya dan memaksanya berdiri. Mulut Marcus membuka untuk mengucapkan sesuatu, dan itu tindakan yang keliru karena Tobias menonjok giginya dengan keras. Seseorang berteriak, tapi tak ada yang bergegas membantu Marcus. Lagi pula, kami berada di ruangan penuh Dauntless.

Tobias mendorong Marcus ke tengah ruangan, ke tempat kosong di antara meja-meja dengan simbol Candor. Marcus terjungkal ke salah satu timbangan, dengan tangan menutupi wajahnya sehingga aku tak bisa melihat luka yang Tobias buat.

Tobias mendorong Marcus ke lantai dan menekan leher ayahnya itu dengan tumit sepatu. Marcus memukul kaki Tobias, darah mengalir dari bibirnya. Namun, walaupun mungkin dulu tubuhnya kuat, saat ini ia tak mungkin masih sekuat anaknya. Tobias membuka gespernya, lalu melepaskan ikat pinggang.

Ia mengangkat kakinya dari leher Marcus dan menarik ujung ikat pinggangnya.

“Ini untuk kebaikanmu,” katanya.

Aku ingat itulah yang selalu Marcus, dan juga bayangannya, katakan pada Tobias di ruang ketakutannya.

Lalu, ikat pinggang itu melayang di udara dan menghantam lengan Marcus. Wajah Marcus memerah. Ia menutupi kepalanya saat cambukan berikutnya datang, kali ini mengenai punggungnya. Semua orang di sekelilingku tertawa. Asalnya dari meja para Dauntless. Namun, aku tidak tertawa. Aku tak mungkin menertawakan ini.

Akhirnya, aku sadar. Aku berlari ke depan dan meraih bahu Tobias.

“Hentikan!” kataku. “Tobias, hentikan sekarang juga!"

Aku mengira akan melihat tatapan liar di matanya. Namun, saat Tobias memandangku, aku tak melihat tatapan seperti itu. Wajahnya tidak merah dan napasnya mantap. Ini bukan tindakan yang dilakukan karena marah.

Ini tindakan yang dilakukan dengan penuh perhitungan.

Tobias menurunkan ikat pinggang dan merogoh sakunya. Ia mengeluarkan rantai perak yang digantungi cincin. Marcus yang terbaring menyamping terkesiap. Tobias menjatuhkan cincin itu ke lantai di samping wajah ayahnya. Cincin itu terbuat dari logam kusam yang sudah pudar, cincin kawin faksi Abnegation.

“Ibuku,” ujar Tobias, “kirim salam.”

Tobias berlalu. Perlu beberapas saat hingga aku bisa bernapas kembali. Lalu, aku meninggalkan Marcus yang meringkuk di lantai dan mengejar Tobias. Aku baru bisa menyusulnya setelah sampai di koridor.

Tadi itu apa?” aku mendesak.

Tobias menekan tombol TURUN lift tanpa memandangku.

“Yang tadi itu perlu,” jawabnya.

“Perlu untuk apa?” tanyaku.

“Apa? Sekarang, kau kasihan kepadanya?” kata Tobias sambil membersut memandangku. “Apakah kau tahu berapa kali ia melakukan itu padaku? Menurutmu bagaimana aku belajar melakukannya?”

Aku merasa rapuh, seolah akan hancur. Yang tadi itu memang terasa seperti sudah dilatih, seakan-akan Tobias sudah sering membayangkan melakukan itu dan menghafalkan kata-katanya di depan cermin. Ia benar-benar menghayatinya. Dan, kali ini ia hanya memainkan peranan itu.

“Tidak,” sahutku pelan. “Tidak, aku tidak kasihan kepadanya. Sama sekali tidak.”

“Jadi apa, Tris?” Suaranya kasar. Mungkin itu yang menghancurkanku. “Kau tidak peduli dengan apa yang kulakukan atau kukatakan selama minggu terakhir ini, jadi kenapa sekarang sikapmu berbeda?”

Aku nyaris takut kepadanya. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan atau lakukan terhadap bagian dirinya yang tak terduga ini. Dan bagian itu ada di sini, menggelegak di balik tindakannya, seperti bagian kejam dalam diriku. Ada peperangan di dalam diri kami. Terkadang, peperangan itu membuat kami tetap hidup. Terkadang, peperangan itu mengancam untuk menghancurkan kami.

“Entahlah,” kataku.

Lift berbunyi saat tiba. Tobias naik dan menekan tombol TUTUP sehingga pintu lift menutup di antara kami. Aku menatap logam yang digosok itu dan berusaha memikirkan kejadian sepuluh menit terakhir

tadi. “Ini harus dihentikan,” kata Tobias tadi. “Ini” adalah olok-olok, akibat dari interogasi waktu itu, ketika Tobias mengaku bahwa ia bergabung dengan faksi Dauntless untuk melarikan diri dari ayahnya. Lalu, ia menghajar Marcus—di depan umum, di tempat yang bisa dilihat semua Dauntless.

Untuk apa? Untuk menyelamatkan harga dirinya? Tak mungkin. Tindakannya tadi terlalu disengaja.
***

Saat kembali ke kafetaria, aku melihat seorang pria Candor menuntun Marcus ke kamar mandi. Marcus berjalan dengan pelan, tapi tidak membungkuk, yang membuatku berpikir Tobias tidak menyebabkan luka parah. Aku memandang pintu tertutup di belakangnya.

Aku sama sekali belum lupa dengan apa yang kudengar di kompleks Amity, mengenai informasi yang ayahku lindungi dengan nyawanya. Yang seharusnya dilindungi ayahku, aku mengingatkan diriku. Mungkin memercayai Marcus bukan tindakan yang bijaksana. Dan, aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak bertanya tentang informasi itu lagi kepadanya.

Aku keluyuran di luar kamar mandi itu hingga pria Candor tadi keluar, lalu segera masuk sebelum pintu tertutup. Marcus duduk di lantai di samping wastafel sambil menekankan setumpuk tisu ke mulutnya. Tampaknya ia tidak senang melihatku.

“Apa? Mau menertawaiku?” tanyanya. “Keluar.”

“Tidak,” aku menjawab.

Sebenarnya mengapa aku di sini?

Marcus memandangku sambil menanti. “Jadi?”

“Kupikir kau bisa memanfaatkan peringatan,” kataku. “Apa pun yang ingin kau ambil dari Jeanine, kau tak akan bisa melakukannya sendiri, dan kau tak akan bisa melakukannya hanya dengan bantuan para Abnegation.”

“Kupikir kita sudah pernah melewati ini.” Suaranya teredam tisu. “Gagasan bahwa kau bisa membantu—”

“Aku tak tahu apa yang menyebabkanmu menyangka aku ini tak berguna, tapi begitulah kenyataannya,” bentakku. “Dan aku tak tertarik mendengar alasanmu. Yang ingin kukatakan adalah kalau kau sudah berhenti berpikir begitu dan mulai putus asa karena terlalu bodoh untuk memikirkannya sendiri, kau tahu harus mendatangi siapa.

Aku meninggalkan kamar mandi tepat pada saat pria Candor tadi masuk sambil membawa kompres es.[]



No comments:

Post a Comment