Insurgent (Divergent #2) (42)

Penulis: Suzanne Collins

“Tentu saja tidak,” jawab Cara. Suaranya bergetar, sedikir. Kemudiain, ia mengulanginya lagi, kali ini dengan pelan. “Tentu saja tidak.”

Ia berdeham. “Hanya saja kau harus berada di sekitarnya, dan aku ingin membantumu menhadapinya dengan lebih mudah. Kau tak perlu memaafkannya. Sebenarnya, aku tak mengerti kenapa kau berteman dengannya. Menurutku ia itu orangnya aneh.”


Aku tegang saat menunggu Christina menyepakati itu. Tapi aku kaget—dan lega—saat ia tidak melakukannya.

Cara melanjutnya. “Kau tak perlu memaafkannya. Kau hanya perlu mencoba memahami bahwa ia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena panik. Dengan begitu, kau bisa memandangnya tanpa ingin meninju hidungnya yang luar biasa panjang.”

Tanganku langsung meraba hidungku. Christina terkekeh, yang rasanya seperti tonjokan di perutku. Aku kembali ke pintu Tempat Berkumpul.

Walaupun kata-kata Cara keterlaluan—dan komentarnya tentang hidungku itu benar-benar tidak sopan—aku bersyukur ia berkata begitu.

***

Tobias muncul dari balik pintu yang tersembunyi di balik kain putih panjang. Ia menyibakkan kain itu dengan kesal sebelum berjalan ke arah kami dan duduk di sampingku di meja di Tempat Berkumpul.

“Kang akan menemui wakil Jeanine Matthews pukul tujuh pagi,” katanya.

“Wakil?” tanya Zeke. “Jeanine sendiri tidak datang?”

“Dan, berdiri di tempat terbuka sehingga segerombolan orang marah yang bersenjata bisa membidiknya?” Uriah meringis sedikit. “Aku mau melihatnya mencoba itu. Sungguh, aku ingin.”

“Apakah Kang yang Cerdas membawa setidaknya seorang pengawal Dauntless?” tanya Lynn.

“Ya,” jawab Tobias. “Sejumlah anggota mengajukan diri. Bud bilang akan membuka telinganya dan melaporkan.”

Aku mengerutkan kening ke arah Tobias. Bagaimana caranya mengetahui informasi ini? Dan, mengapa ia tiba-tiba bertingkah seperti seorang pemimpin Dauntless, padahal selama dua tahun ini ia selalu menghindarinya dengan segala macam cara?

“Jadi, kurasa pertanyaan betulannya adalah,” kata Zeke sambil melipat tangan di atas meja, “kalau kau itu seorang Erudite, menurutmu apa yang akan terjadi pada pertemuan ini?”

Mereka semua memandangku. Dengan penuh harap.

“Apa?” tanyaku.

“Kau kan Divergent,” sahut Zeke.

“Tobias juga.”

“Ya, tapi Erudite bukan salah satu hasil tes kecakapannya.”

“Bagaimana kau tahu aku mendapatkan hasil Erudite?”

Zeke mengangkat bahu. “Karena kemungkinan itu besar sekali. Betul, kan?”

Uriah dan Lynn mengangguk. Bibir Tobias berkedut, seolah akan tersenyum, tapi jika memang iya, ia menahannya. Aku merasa seakan-akan ada batu yang dijatuhkan ke perutku.

“Terakhir kali kulihat, kalian semua punya otak,” kataku. “Kalian juga bisa berpikir seperti Erudite.”

“Tapi, kami tak punya otak Divergent yang istimewa!” bantah Marlene. Ia menyentuh kulit kepalaku dengan ujung-ujung jarinya, lalu meremas pelan. “Ayolah. Lakukan sihirmu.”

“Tak ada yang namanya sihir Divergent, Mar,” tukas Lynn.

“Lagi pula, kalau itu memang ada, kita seharusnya tidak bertanya padanya,” timpal Shauna. Itu kalimat pertama yang diucapkannya sejak kami semua duduk. Ia bahkan tidak memandangku saat mengatakan itu. Ia hanya merengut ke arah adiknya.

“Shauna—” ucap Zeke.

“Jangan panggil-panggil ‘Shauna’ seperti itu!” katanya sambil membersut ke arah Zeke. “Apakah kau tidak berpikir bahwa seseorang yang mendapatkan banyak faksi dari tes kecakapannya mungkin punya masalah loyalitas? Jika Erudite adalah hasil dari tes kecakapannya, bagaimana kita bisa yakin ia tidak bekerja untuk Erudite?”

“Janan konyol,” ujar Tobias, suaranya rendah.

“Aku bukan bersikap konyol.” Shauna menampar meja. “Aku tahu aku ini Dauntless karena semua yang kulakukan di tes kecakapan itu menunjukkan aku memang begitu. Aku loyal terhadap faksiku karena it—karena aku tak mungkin berada di tempat lain. Tapi Tris? Dan kau?” Ia menggeleng. “Aku tak tahu kalian setia kepada siapa. Dan, aku tak akan berpura-pura tak ada masalah.”

Shauna bangkit. Saat Zeke meraihnya, Shauna menepis tangan pemuda itu dan berjalan menuju salah satu pintu. Aku memandanginya hingga pintu tertutup dan kain hitam yang tergantung di depan pintu itu diam.

Aku merasa terluka. Rasanya ingin berteriak. Tapi, Shauna tak ada di sini untuk kuteriaki.

“Ini bukan sihir,” kataku dengan berapi-api. “Kalian hanya perlu bertanya pada diri kalian sendiri reaksi seperti apa yang masuk akan pada situasi ini.”

Aku disambut dengan tatapan kosong.

“Sungguh,” kataku. “Kalau aku berada dalam situasi ini, menatap sekelompok penjaga Dauntless dan Jack Kang, aku tak mungkin melakukan kekerasan, kan?”

“Yah, kau mungkin melakukan itu kalau kau sendiri membawa pengawal Dauntless. Yang diperlukan hanyalah satu tembakan—dor, Jack Kang mati, dan Erudite di atas angin,” jawab Zeke.

“Siapa pun yang mereka kirim untuk bicara dengan Jack Kang pastilah bukan orang Erudite biasa. Ia pasti seseorang yang penting,” kataku. “Menembak Jack Kang itu tindakan yang bodoh dan mereka berisiko kehilangan orang yang dikirm sebagai wakil Jeanine.”

“Tuh, kan? Karena inilah kami membutuhkanmu untuk menganalisis situasi ini,” ujar Zeke. “Jika terserah padaku, aku akan membunuhnya. Risikonya sepadan.”

Aku mencubit batang hidungku. Aku sakit kepala. “Baiklah.”

Aku berusaha menempatkan diriku di posisi Jeanine Matthews. Aku tahu ia tak akan bernegosiasi dengan Jack Kang. Mengapa ia perlu melakukan itu? Jack Kang tak punya sesuatu untuk ditawarkan kepadanya. Jeanine akan memanfaatkan situasi ini demi kepentingannya.

“Menurutku,” kataku, “Jeanine Matthews akan memanipulasi Jack Kang. Lalu, Jack Kang akan melakukan apa pun untuk melindungi faksinya, bahkan jika itu berarti mengorbankan para Divergent.” Aku berhenti sejenak, mengingat bagaimana Jack Kang menunjukkan pengaruh faksinya di hadapan kami pada pertemuan waktu itu. “Atau mengorbankan para Dauntless. Jadi, kita harus mendengar apa yang mereka katakana pada pertemuan itu.”

Uriah dan Zeke saling pandang. Lynn tersenyum, tapi tidak seperti biasanya. Senyuman itu tidak mencapai matanya, yang tampak semakin keemasan dan dingin.

“Jadi, ayo kita menguping,” katanya.[]

20

Aku melihat jam tanganku. Pukul tujuh malam. Dua belas jam lagi, kami bisa mendengar apa yang akan Jeanine katakan kepada Jack Kang. Aku sudah memandang jam tanganku setidaknya selusin kali pada jam terakhir ini, seolah olah dengan begitu waktu akan berjalan lebih cepat. Aku merasa harus melakukan seuatu—apa saja asalkan bukan duduk di kafetaria bersama Lynn, Tobias, den Lauren, sambil makan malam dan diam-diam memandang Christina yang duduk bersama keluarga Candornya di salah satu meja.

“Aku penasaran apakah kita bisa kembali seperti dulu setelah semua ini berakhir,”renung Lauren. Selama lima menit terakhir ini, ia dan Tobias membahas metode pelatihan peserta inisiasi Dauntless. Mungkin itu satu-satunya kesamaan di antara mereka.

“Kalau masih ada faksi yang tersisa setelah semua ini selesai,” sahut Lynn sambil menumpuk kentang tumbuknya ke atas roti.

“Jangan bilang kau bakal makan roti lapis kentang tumbuk itu,” kataku kepadanya.

“Kalau iya, lalu kenapa?”



No comments:

Post a Comment