Insurgent (Divergent #2) (40)

Penulis: Suzanne Collins

“Kita bawa ke mana … ia?” tanya salah satu dari mereka.

“Panggil Helena,” kata Zeke. “Perawat Dauntless.”

Mereka mengangguk, lalu membawa Tori ke lift. Aku dan Zeke bertatapan.

“Apa yang terjadi?” tanyaku.

“Dauntless pembelot memergoki kami yang sedang mengumpulkan informasi dari mereka,” ia menjelaskan. “Tori berusaha kabur, tapi mereka menembaknya saat ia lari. Aku membantunya ke sini.”

“Cerita yang bagus,” kata si Dauntless pirang. “Apakah kau mau menceritakannya lagi dibawah pengaruh serum kejujuran?”

Zeke mengangkat bahu. “Boleh.” Ia menyodorkan kedua pergelangan tangannya dengan sikap dramatis. “Tahan aku kalau kau memang tak percaya.”

Zeke memandang sesuatu di balik bahuku, lalu mulai berjalan. Aku berbalik dan melihat Uriah berlari kecil dari lift. Ia tersenyum lebar.

“Gosipnya kau ini pembelot busuk,” sapa Uriah.

“Yah, terserah deh,” sahut Zeke.

Mereka tertawa, saling berjabat tangan dan menepuk punggung, yang menurutku tampak menyedihkan.

***

“Aku tak percaya kau tak memberi tahu kami,” kata Lynn sambil menggeleng. Ia duduk di seberangku di meja, lengannya disilangkan dan salah satu kakinya ditekuk ke atas.

“Wah, jangan marah, dong,” kata Zeke. “Aku bahkan tak boleh member tahu Shauna dan Uriah. Lagi pula, tak mungkin seseorang bisa jadi mata-mata kalau ia mengatakannya kepada semua orang.”

Kami duduk di markas Candor di dalam ruangan yang disebut Tempat Berkumpul. Para Dauntless mengucapkan nama itu sambil mengolok-olok kapan pun mereka bisa. Ruangan ini besar dan terbuka, dengan kain hitam-dan-putih tergantung di setiap dinding dan podium-podium bulat di tengah ruangan. Meja bundar besar mengelilingi podium-podium itu. Kata Lynn mereka mengadakan debat bulanan di sini, untuk hiburan, dan juga kebaktian satu kali dalam seminggu. Namun, ruangan ini selalu penuh walaupun tak ada kegiatan yang dijadwalkan.

Satu jam yang lalu, faksi Candor membersihkan nama Zeke, dnegan interogasi singkat di lantai delapan belas. Interogasinya tidak muram seperti interogasiku dan Tobias, sebagian karena tak ada rekaman video mencurigakan yang melibatkan Zeke, dan sebagian karena Zeke itu lucu, bahkan di bawah pengaruh serum kejujuran. Mungkin terutama karena itu. Yang jelas, kami datang ke Tempat Berkumpul ini “untuk perayaan ‘Hei, dasar pembelot busuk!’” seperti yang disebut Uriah.

“Tapi, kami mencemoohmu sejak serangan simulasi itu,” sahut Lynn. “Dan sekarang, aku merasa seperti orang berengsek.”

Zeke merangkul Shauna. “Kau memang orang berengsek, Lynn. Itu bagian dari daya tarikmu.”

Lynn melemparkan gelas plastic kea rah Zeke yang langsung ia tangkis. Air berhamburan di atas meja, mengenai matanya.

“Jadi, seperti yang kukatakan,” ujar Zeke sambil menggosok mata, “kebanyakan yang kulakukan adalah membantu Erudite pemberontak agar bisa keluar dengan aman. Karena itulah, ada banyak Erudite pemberontak di sini. Sebagian kecil mereka ada di markas Amity. Tapi, Tori … aku tak tahu apa yang ia lakukan. Ia selalu menyelinap selama berjam-jam. Dan saat ada di dekatku, ia seperti bakal meledak. Tak heran ia membocorkan rahasia kami.”

“Kok kau bisa jadi mata-mata?” tanya Lynn. “Kau kan tak seistimewa itu.”

“Aku jadi mata-mata terutama karena posisiku setelah penyerangan simulasi. Terjebak di antara para Dauntless pengkhianat. Aku memutuskan melakoninya,” katanya. “Tapi aku tak tahu tentang Tori.”

“Tori itu pindahan dari faksi Erudite,” kataku.

Karena yakin Tori tak ingin semua orang tahu, aku tidak mengatakan bahwa mungkin Tori tampak seperti bakal meledak di markas Erudite karena mereka membunuh saudara laki-lakinya yang Divergent.

Ia pernah berkata sedang menunggu kesempatan untuk membalas dendam.

“Oh,” komentar Zeke. “Kok kau bisa tahu?”

“Mana Four?” tanya Uriah sambil mengecek jam tangannya. “Apa kita mulai saja tanpanya?”

“Tak bisa,” sahut Zeke. “Ia sedang mencari Info.”

Uriah mengangguk seolah-olah memahaminya. Lalu, ia berhenti dan bertanya, “Info apa?”

“Tentu saja info tentang pertemuan perdamaian Kang dengan Jeanine,” sahut Zeke.

Di seberang ruangan aku melihat Christina duduk semeja dengan saudara perempuannya. Mereka berdua sedang membaca sesuatu.

Tubuhku tegang. Cara, kakak perempuan Will, berjalan melintasi ruangan ke arah meja Christina. Aku menunduk.

“Ada apa?” tanya Uriah sambil menoleh. Aku ingin menonjoknya.

“Hentikan,” kataku. “Nanti ketahuan.” Aku memajukan tubuh sambil melipat lengan di atas meja. “Kakak Will di sana.”

Yeah, aku bicara dengannya tentang keluar dari markas Erudite waktu masih di sana,” kata Zeke. “Ia bilang pernah melihat wanita Abnegation dibunuh saat menjalankan misi untuk Jeanine dan tak sanggup lagi menghadapinya.”

“Kita yakin ia bukan mata-mata Erudite?” tanya Lynn.

“Lynn, ia menyelamatkan setengah faksi kita dari benda ini,” jelas Marlene sambil menepuk perban di lengannya, tempat yang ditembak Dauntless pembelot. “Yah, setengah dari setengah faksi kita.”

“Ah, siapa yang peduli kalau ia itu pengkhianat?” kata Zeke. “Kita tidak merencanakan sesuatu yang bisa ia sampaikan kepada mereka. Lagi pula, kalaupun kita memang merencanakan sesuatu, kita jelas-jelas tak akan mengajaknya bergabung.”

“Ada banyak informasi yang bisa dikumpulkannya di sini,” komentar Lynn. “Misalnya berapa banyak jumlah kita, atau berapa banyak dari kita yang tidak terhubung dengan simulasi.”

“Kau tak melihatnya saat Cara mengatakan kepadaku kenapa ia pergi,” ujar Zeke. “Aku percaya padanya.”

Cara dan Christina bangkit, lalu berjalan keluar ruangan.

“Aku segera kembali,” kataku. “Harus ke kamar mandi.”

Aku menunggu sampai Cara dan Christina melewati pintu, lalu setengah berjalan dan setengah berlari kecil ke arah itu. Aku membuka salah satu pintu dengan perlahan, agar tidak menimbulkan suara, lalu menutupnya pelan-pelan. Aku berada di koridor remang-remang yang baunya seperti sampah—ini pasti tempat pembuangan sampah Candor.

Suara dua perempuan terdengar dari ujung koridor dan aku merayap ke sana agar bisa mendengar dengan lebih baik.

“… tak bisa menghadapinya di sini,” isak salah satu dari mereka. Christina. “Aku tak bisa berhenti membayangkan … apa yang dilakukannya …. Aku tak mengerti kenapa ia sanggup melakukan itu!”

Isakan Christina membuatku seakan terbelah.

Cara menunggu sebentar sebelum menjawab.

“Aku mengerti,” katanya.

“Apa?” tanya Christina sambil cegukan.

“Kau harus mengerti iini. Kami dilatih untuk melihat segalanya dengan akal sehat,” lanjut Cara. “Jadi, jangan berpikir aku ini tak berperasaan. Tapi, gadis itu mungkin takut setengah mati, tak mampu menilai situasi denan cerdas, itu pun kalau ia bisa melakukannya.”

Mataku langsung membuka. Dasar—aku meloontarkan serentetan makian di benakku sebelum mendengarkan lagi.

“Dan, simulasi itu membuatnya tak bisa berbicara kepada Will. Jadi, saat Will mengancam jiwanya, ia bereaksi seperti layaknya seorang Dauntless yang sudah dilatih: Menembak untuk membunuh.”

“Jadi maksudmu apa?” tanya Christina dengan pahit. “Kita harus melakukannya karena itu tindakan paling masuk akal?”



No comments:

Post a Comment