Penulis: Suzanne
Collins
“Kita bawa ke mana … ia?” tanya salah satu dari mereka.
“Panggil Helena,” kata Zeke. “Perawat Dauntless.”
Mereka mengangguk, lalu membawa Tori ke lift. Aku dan Zeke
bertatapan.
“Apa yang terjadi?” tanyaku.
“Dauntless pembelot memergoki kami yang sedang mengumpulkan
informasi dari mereka,” ia menjelaskan. “Tori berusaha kabur, tapi mereka
menembaknya saat ia lari. Aku membantunya ke sini.”
“Cerita yang bagus,” kata si Dauntless pirang. “Apakah kau
mau menceritakannya lagi dibawah pengaruh serum kejujuran?”
Zeke mengangkat bahu. “Boleh.” Ia menyodorkan kedua
pergelangan tangannya dengan sikap dramatis. “Tahan aku kalau kau memang tak
percaya.”
Zeke memandang sesuatu di balik bahuku, lalu mulai berjalan.
Aku berbalik dan melihat Uriah berlari kecil dari lift. Ia tersenyum lebar.
“Gosipnya kau ini pembelot busuk,” sapa Uriah.
“Yah, terserah deh,” sahut Zeke.
Mereka tertawa, saling berjabat tangan dan menepuk punggung,
yang menurutku tampak menyedihkan.
***
“Aku tak percaya kau tak memberi tahu kami,” kata Lynn
sambil menggeleng. Ia duduk di seberangku di meja, lengannya disilangkan dan
salah satu kakinya ditekuk ke atas.
“Wah, jangan marah, dong,” kata Zeke. “Aku bahkan tak boleh
member tahu Shauna dan Uriah. Lagi pula, tak mungkin seseorang bisa jadi
mata-mata kalau ia mengatakannya kepada semua orang.”
Kami duduk di markas Candor di dalam ruangan yang disebut
Tempat Berkumpul. Para Dauntless mengucapkan nama itu sambil mengolok-olok
kapan pun mereka bisa. Ruangan ini besar dan terbuka, dengan kain
hitam-dan-putih tergantung di setiap dinding dan podium-podium bulat di tengah
ruangan. Meja bundar besar mengelilingi podium-podium itu. Kata Lynn mereka
mengadakan debat bulanan di sini, untuk hiburan, dan juga kebaktian satu kali
dalam seminggu. Namun, ruangan ini selalu penuh walaupun tak ada kegiatan yang
dijadwalkan.
Satu jam yang lalu, faksi Candor membersihkan nama Zeke,
dnegan interogasi singkat di lantai delapan belas. Interogasinya tidak muram
seperti interogasiku dan Tobias, sebagian karena tak ada rekaman video
mencurigakan yang melibatkan Zeke, dan sebagian karena Zeke itu lucu, bahkan di
bawah pengaruh serum kejujuran. Mungkin terutama karena itu. Yang jelas, kami
datang ke Tempat Berkumpul ini “untuk perayaan ‘Hei, dasar pembelot busuk!’”
seperti yang disebut Uriah.
“Tapi, kami mencemoohmu sejak serangan simulasi itu,” sahut
Lynn. “Dan sekarang, aku merasa seperti orang berengsek.”
Zeke merangkul Shauna. “Kau memang orang berengsek, Lynn. Itu bagian dari daya tarikmu.”
Lynn melemparkan gelas plastic kea rah Zeke yang langsung ia
tangkis. Air berhamburan di atas meja, mengenai matanya.
“Jadi, seperti yang kukatakan,” ujar Zeke sambil menggosok
mata, “kebanyakan yang kulakukan adalah membantu Erudite pemberontak agar bisa
keluar dengan aman. Karena itulah, ada banyak Erudite pemberontak di sini.
Sebagian kecil mereka ada di markas Amity. Tapi, Tori … aku tak tahu apa yang
ia lakukan. Ia selalu menyelinap selama berjam-jam. Dan saat ada di dekatku, ia
seperti bakal meledak. Tak heran ia membocorkan rahasia kami.”
“Kok kau bisa jadi
mata-mata?” tanya Lynn. “Kau kan tak seistimewa itu.”
“Aku jadi mata-mata terutama karena posisiku setelah
penyerangan simulasi. Terjebak di antara para Dauntless pengkhianat. Aku
memutuskan melakoninya,” katanya. “Tapi aku tak tahu tentang Tori.”
“Tori itu pindahan dari faksi Erudite,” kataku.
Karena yakin Tori tak ingin semua orang tahu, aku tidak
mengatakan bahwa mungkin Tori tampak seperti bakal meledak di markas Erudite
karena mereka membunuh saudara laki-lakinya yang Divergent.
Ia pernah berkata sedang menunggu kesempatan untuk membalas
dendam.
“Oh,” komentar Zeke. “Kok kau bisa tahu?”
“Mana Four?” tanya Uriah sambil mengecek jam tangannya. “Apa
kita mulai saja tanpanya?”
“Tak bisa,” sahut Zeke. “Ia sedang mencari Info.”
Uriah mengangguk seolah-olah memahaminya. Lalu, ia berhenti
dan bertanya, “Info apa?”
“Tentu saja info tentang pertemuan perdamaian Kang dengan
Jeanine,” sahut Zeke.
Di seberang ruangan aku melihat Christina duduk semeja
dengan saudara perempuannya. Mereka berdua sedang membaca sesuatu.
Tubuhku tegang. Cara, kakak perempuan Will, berjalan
melintasi ruangan ke arah meja Christina. Aku menunduk.
“Ada apa?” tanya Uriah sambil menoleh. Aku ingin
menonjoknya.
“Hentikan,” kataku. “Nanti ketahuan.” Aku memajukan tubuh
sambil melipat lengan di atas meja. “Kakak Will di sana.”
“Yeah, aku bicara
dengannya tentang keluar dari markas Erudite waktu masih di sana,” kata Zeke.
“Ia bilang pernah melihat wanita Abnegation dibunuh saat menjalankan misi untuk
Jeanine dan tak sanggup lagi menghadapinya.”
“Kita yakin ia bukan mata-mata Erudite?” tanya Lynn.
“Lynn, ia menyelamatkan setengah faksi kita dari benda ini,” jelas Marlene sambil menepuk
perban di lengannya, tempat yang ditembak Dauntless pembelot. “Yah, setengah
dari setengah faksi kita.”
“Ah, siapa yang peduli kalau ia itu pengkhianat?” kata Zeke.
“Kita tidak merencanakan sesuatu yang bisa ia sampaikan kepada mereka. Lagi
pula, kalaupun kita memang merencanakan sesuatu, kita jelas-jelas tak akan
mengajaknya bergabung.”
“Ada banyak informasi yang bisa dikumpulkannya di sini,”
komentar Lynn. “Misalnya berapa banyak jumlah kita, atau berapa banyak dari
kita yang tidak terhubung dengan simulasi.”
“Kau tak melihatnya saat Cara mengatakan kepadaku kenapa ia
pergi,” ujar Zeke. “Aku percaya padanya.”
Cara dan Christina bangkit, lalu berjalan keluar ruangan.
“Aku segera kembali,” kataku. “Harus ke kamar mandi.”
Aku menunggu sampai Cara dan Christina melewati pintu, lalu setengah
berjalan dan setengah berlari kecil ke arah itu. Aku membuka salah satu pintu
dengan perlahan, agar tidak menimbulkan suara, lalu menutupnya pelan-pelan. Aku
berada di koridor remang-remang yang baunya seperti sampah—ini pasti tempat
pembuangan sampah Candor.
Suara dua perempuan terdengar dari ujung koridor dan aku
merayap ke sana agar bisa mendengar dengan lebih baik.
“… tak bisa menghadapinya di sini,” isak salah satu dari
mereka. Christina. “Aku tak bisa berhenti membayangkan … apa yang dilakukannya
…. Aku tak mengerti kenapa ia sanggup melakukan itu!”
Isakan Christina membuatku seakan terbelah.
Cara menunggu sebentar sebelum menjawab.
“Aku mengerti,” katanya.
“Apa?” tanya Christina sambil cegukan.
“Kau harus mengerti iini. Kami dilatih untuk melihat
segalanya dengan akal sehat,” lanjut Cara. “Jadi, jangan berpikir aku ini tak
berperasaan. Tapi, gadis itu mungkin takut setengah mati, tak mampu menilai
situasi denan cerdas, itu pun kalau ia bisa melakukannya.”
Mataku langsung membuka. Dasar—aku
meloontarkan serentetan makian di benakku sebelum mendengarkan lagi.
“Dan, simulasi itu membuatnya tak bisa berbicara kepada
Will. Jadi, saat Will mengancam jiwanya, ia bereaksi seperti layaknya seorang
Dauntless yang sudah dilatih: Menembak untuk membunuh.”
“Jadi maksudmu apa?” tanya Christina dengan pahit. “Kita
harus melakukannya karena itu tindakan paling masuk akal?”
No comments:
Post a Comment