Penulis: Suzanne
Collins
“Penyerbuan mereka tidak damai,”
aku membantah. Aku bisa melihat ujung bibir Tobias dari tempatku berdiri, dan
ia tersenyum. Aku menarik napas dalam dan mulai lagi. “Hanya karena mereka
tidak menembak kepala kalian semua bukan berarti niat mereka datang terhormat.
Menurut kalian, mengapa mereka datang kemari? Cuma untuk berlari di koridor,
membuat kalian pingsan, lalu pergi?”
“Aku menduga mereka ke sini untuk orang-orang sepertimu,”
jawab Jack. “Dan, walaupun aku mengkhawatirkan keselamatanmu, aku rasa kita tak
bisa menyerang mereka hanya karena mereka ingin membunuh sebagian dari kami.”
“Membunuh kalian itu bukan hal paling buruk yang bisa mereka
lakukan terhadap kalian,” bantahku. “Melainkan mengendalikan kalian.”
Bibir Jack melengkung karena geli. Geli. “Oh? Bagaimana mereka melakukan itu?”
“Mereka menembak kalian dengan jarum,” Tobias menimpali.
“Jarum yang berisi pemancar simulasi. Simulasi yang mengendalikan kalian.
Begitulah caranya.”
“Kami tahu bagaimana cara kerja simulasi,” tukas Jack.
“Pemancar itu bukan implan permanen. Kalau mereka memang berniat untuk
mengendalikan kita, mereka pasti akan langsung melakukannya.”
“Tapi—” aku membantah.
Jack Kang menyelaku. “Aku mengerti kau stress berat, Tris,”
ujarnya pelan. “dan aku tahu kau sudah banyak berjasa bagi faksimu dan juga
faksi Abnegation. Tapi menurutku, pengalaman traumatismu itu bisa memengaruhi
kemampuanmu untuk menilai secara objektif. Aku tak bisa melakukan penyerangan
hanya berdasarkan spekulasi seorang gadis kecil.”
Aku berdiri diam bagai patung, tak mampu memercayai
ketololannya. Wajahku panas. Gadis kecil,
begitulah ia memanggilku. Seorang gadis kecil yang begitu stress hingga nyaris
paranoid. Itu bukan aku. Namun, saat ini seperti itulah diriiku di mata para
Candor.
“Bukan kau yang
memutuskan untuk kami, Kang,” ujar Tobias.
Di sekelilingku, para Dauntless meneriakkan persetujuan
mereka. Seseorang berseru, “Kau bukan pemimpin faksi kami!”
Jack menunggu hingga teriakan mereka reda lalu berkata, “Itu
memang benar. Kalau mau, kalian boleh menyerbu kompleks Erudite. Tanpa dukungan
kami tentunya. Kalau boleh aku ingatkan, kalian sangat kalah jumlah dan tidak
siap.”
Jack Kang benar. Kami tak bisa menyeran para Dauntless
pembelot dan Erudite tanpa bantuan faksi Candor. Jika kami melakukan itu, yang
ada hanyalah pertumpahan darah. Jack Kang-lah yang berkuasa. Dan sekarang, kami
semua mengetahuinya.
“Sudah kuduga,” katanya dengan puas. “Baiklah. Aku akan
menghubungi Jeanine Matthews. Kita lihat saja apakah kita bisa menegosiasikan
perdamaian. Ada yang keberatan?”
Kami tak bisa
menyerang tanpa faksi Candor, pikirku, kecuali
jika para factionless ada di pihak
kami.[]
19
Sore itu aku dan sekelompok Candor dan Dauntless
membersihkan pecahan kaca jendela di
lobi. Aku memusatkan pikiranku pada sapu, memandangi debu yang terkumpul di
antara pecahan-pecahan kaca. Otot-ototku hafal gerakannya. Namun, saat
memandang ke bawah, aku bukannya menatap marmer hitam, melainkan ubin putih
polos dan bagian bawah dinding berwarna kelabu muda. Aku melihat helaian rambut
pirang yang dipotong ibuku serta cermin yang tersimpan di balik panel kayunya.
Tubuhku langsung lemas dan aku bersandar ke gagang sapu.
Bahuku disentuh seseorang dan aku tersentak menjauhinya.
Ternyata hanya gadis Candor—masih anak-anak. Ia mendongak memandangku, matanya
melebar.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya. Suaranya tinggi dan tidak
jelas.
“Ya,” jawabku. Terlalu kasar. Aku buru-buru melembutkan
suaraku. “Cuma lelah. Terima kasih.”
“Menurutku kau bohong,” katanya.
Aku melihat perban menyembul dari ujung lengan bajunya,
mungkin penutup bekas luka tusukan jarum. Bayangan gadis kecil ini berada di
bawah pengaruh simulasi membuatku mual. Aku bahkan tak mampu memandangnya. Aku
berpaling.
Lalu, aku melihat mereka. Seorang Dauntless pembelot pria
menopang wanita yang kakinya berdara di luar sana. Aku melihat garis uban di
rambut wanita itu, ujung hidung bengkok si Pria, dan ban lengan biru penanda
Dauntless pembelot yang berada di bawah bahu mereka. Aku mengenali mereka. Tori
dan Zeke.
Tori berusaha berjalan, tapi salah satu kakinya diseret, tak
berguna. Area basah dan gelap menutupi sebagian besar pahanya.
Para candor berhenti menyapu dan menatap mereka. Prajurit
Dauntless yang berdiri di dekat lift buru-buru menghampiri pintu masuk dengan
senjata diacungkan. Teman-temanku yang sedang menyapu menyingkir mundur, tapi
aku tetap di tempatku. Panas menjalari tubuhku saat Zeke dan Tori mendekat.
“Mereka bersenjata?” tanya seseorang.
Tori dan Zeke tiba di tempat yang dulunya pintu. Zeke
mengangkat sebelah tangannya saat melihat deretan Dauntless yang mengacungkan
senjata. Tangannya yang lain tetap menopang pinggang Tori.
“Ia perlu diobati,” kata Zeke. “Sekarang juga.”
“Kenapa kami harus mengobati pembelot?” tanya seorang pria
Dauntless dari balik senjatanya. Ia berambut pirang tipis dan di bibirnya ada
dua tindikan. Di lengan bawahnya ada area berwarna biru.
Tori mengerang dan aku menyelinap di antara dua orang
Dauntless untuk meraihnya. Ia meletakkan tangannya yang lengket karena darah di
tanganku. Zeke menurunkan Tori sambil menggerutu.
“Tris,” kata Tori. Ia terdengar linglung.
“Sebaiknya kau mundur, Nak,” ujar si Dauntless.
“Tidak,” aku membantah. “Turunkan senjatamu.”
“Sudah kubilang Divergent itu gila,” gumam salah seorang
Dauntless bersenjata ke wanita di sebelahnya.
“Aku tak peduli kalau kalian membawanya ke atas, lalu
mengikatnya di tempat tidur agar tidak menembaki orang!” gerutu Zeke sambil
cemberut. “Jangan sampai ia mati kehabisan darah di lobi markas Candor!”
Akhirnya, beberapa orang Dauntless maju dan mengangkat Tori.
No comments:
Post a Comment