Insurgent (Divergent #2) (39)

Penulis: Suzanne Collins

“Penyerbuan mereka tidak damai,” aku membantah. Aku bisa melihat ujung bibir Tobias dari tempatku berdiri, dan ia tersenyum. Aku menarik napas dalam dan mulai lagi. “Hanya karena mereka tidak menembak kepala kalian semua bukan berarti niat mereka datang terhormat. Menurut kalian, mengapa mereka datang kemari? Cuma untuk berlari di koridor, membuat kalian pingsan, lalu pergi?”

“Aku menduga mereka ke sini untuk orang-orang sepertimu,” jawab Jack. “Dan, walaupun aku mengkhawatirkan keselamatanmu, aku rasa kita tak bisa menyerang mereka hanya karena mereka ingin membunuh sebagian dari kami.”

“Membunuh kalian itu bukan hal paling buruk yang bisa mereka lakukan terhadap kalian,” bantahku. “Melainkan mengendalikan kalian.”

Bibir Jack melengkung karena geli. Geli. “Oh? Bagaimana mereka melakukan itu?”

“Mereka menembak kalian dengan jarum,” Tobias menimpali. “Jarum yang berisi pemancar simulasi. Simulasi yang mengendalikan kalian. Begitulah caranya.”

“Kami tahu bagaimana cara kerja simulasi,” tukas Jack. “Pemancar itu bukan implan permanen. Kalau mereka memang berniat untuk mengendalikan kita, mereka pasti akan langsung melakukannya.”

“Tapi—” aku membantah.

Jack Kang menyelaku. “Aku mengerti kau stress berat, Tris,” ujarnya pelan. “dan aku tahu kau sudah banyak berjasa bagi faksimu dan juga faksi Abnegation. Tapi menurutku, pengalaman traumatismu itu bisa memengaruhi kemampuanmu untuk menilai secara objektif. Aku tak bisa melakukan penyerangan hanya berdasarkan spekulasi seorang gadis kecil.”

Aku berdiri diam bagai patung, tak mampu memercayai ketololannya. Wajahku panas. Gadis kecil, begitulah ia memanggilku. Seorang gadis kecil yang begitu stress hingga nyaris paranoid. Itu bukan aku. Namun, saat ini seperti itulah diriiku di mata para Candor.

“Bukan kau yang memutuskan untuk kami, Kang,” ujar Tobias.

Di sekelilingku, para Dauntless meneriakkan persetujuan mereka. Seseorang berseru, “Kau bukan pemimpin faksi kami!”

Jack menunggu hingga teriakan mereka reda lalu berkata, “Itu memang benar. Kalau mau, kalian boleh menyerbu kompleks Erudite. Tanpa dukungan kami tentunya. Kalau boleh aku ingatkan, kalian sangat kalah jumlah dan tidak siap.”

Jack Kang benar. Kami tak bisa menyeran para Dauntless pembelot dan Erudite tanpa bantuan faksi Candor. Jika kami melakukan itu, yang ada hanyalah pertumpahan darah. Jack Kang-lah yang berkuasa. Dan sekarang, kami semua mengetahuinya.

“Sudah kuduga,” katanya dengan puas. “Baiklah. Aku akan menghubungi Jeanine Matthews. Kita lihat saja apakah kita bisa menegosiasikan perdamaian. Ada yang keberatan?”

Kami tak bisa menyerang tanpa faksi Candor, pikirku, kecuali jika para factionless ada di pihak kami.[]

19
Sore itu aku dan sekelompok Candor dan Dauntless membersihkan pecahan  kaca jendela di lobi. Aku memusatkan pikiranku pada sapu, memandangi debu yang terkumpul di antara pecahan-pecahan kaca. Otot-ototku hafal gerakannya. Namun, saat memandang ke bawah, aku bukannya menatap marmer hitam, melainkan ubin putih polos dan bagian bawah dinding berwarna kelabu muda. Aku melihat helaian rambut pirang yang dipotong ibuku serta cermin yang tersimpan di balik panel kayunya.

Tubuhku langsung lemas dan aku bersandar ke gagang sapu.

Bahuku disentuh seseorang dan aku tersentak menjauhinya. Ternyata hanya gadis Candor—masih anak-anak. Ia mendongak memandangku, matanya melebar.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya. Suaranya tinggi dan tidak jelas.

“Ya,” jawabku. Terlalu kasar. Aku buru-buru melembutkan suaraku. “Cuma lelah. Terima kasih.”

“Menurutku kau bohong,” katanya.

Aku melihat perban menyembul dari ujung lengan bajunya, mungkin penutup bekas luka tusukan jarum. Bayangan gadis kecil ini berada di bawah pengaruh simulasi membuatku mual. Aku bahkan tak mampu memandangnya. Aku berpaling.

Lalu, aku melihat mereka. Seorang Dauntless pembelot pria menopang wanita yang kakinya berdara di luar sana. Aku melihat garis uban di rambut wanita itu, ujung hidung bengkok si Pria, dan ban lengan biru penanda Dauntless pembelot yang berada di bawah bahu mereka. Aku mengenali mereka. Tori dan Zeke.

Tori berusaha berjalan, tapi salah satu kakinya diseret, tak berguna. Area basah dan gelap menutupi sebagian besar pahanya.

Para candor berhenti menyapu dan menatap mereka. Prajurit Dauntless yang berdiri di dekat lift buru-buru menghampiri pintu masuk dengan senjata diacungkan. Teman-temanku yang sedang menyapu menyingkir mundur, tapi aku tetap di tempatku. Panas menjalari tubuhku saat Zeke dan Tori mendekat.

“Mereka bersenjata?” tanya seseorang.

Tori dan Zeke tiba di tempat yang dulunya pintu. Zeke mengangkat sebelah tangannya saat melihat deretan Dauntless yang mengacungkan senjata. Tangannya yang lain tetap menopang pinggang Tori.

“Ia perlu diobati,” kata Zeke. “Sekarang juga.”

“Kenapa kami harus mengobati pembelot?” tanya seorang pria Dauntless dari balik senjatanya. Ia berambut pirang tipis dan di bibirnya ada dua tindikan. Di lengan bawahnya ada area berwarna biru.

Tori mengerang dan aku menyelinap di antara dua orang Dauntless untuk meraihnya. Ia meletakkan tangannya yang lengket karena darah di tanganku. Zeke menurunkan Tori sambil menggerutu.

“Tris,” kata Tori. Ia terdengar linglung.

“Sebaiknya kau mundur, Nak,” ujar si Dauntless.

“Tidak,” aku membantah. “Turunkan senjatamu.”

“Sudah kubilang Divergent itu gila,” gumam salah seorang Dauntless bersenjata ke wanita di sebelahnya.

“Aku tak peduli kalau kalian membawanya ke atas, lalu mengikatnya di tempat tidur agar tidak menembaki orang!” gerutu Zeke sambil cemberut. “Jangan sampai ia mati kehabisan darah di lobi markas Candor!”

Akhirnya, beberapa orang Dauntless maju dan mengangkat Tori.



No comments:

Post a Comment