Penulis: Suzanne
Collins
Tobias menggeleng dan memandang mataku. Mata Tobias berwarna
biru dan begitu gelap serta kukenal sehingga aku merasa seolah matanya bisa
menelanku bulat-bulat. Sesaat aku berharap itu terjadi, sehingga aku bisa
menginggalkan tempat ini dan semua yang terjadi.
“Kurasa kau sudah memikirkan itu,” kata Tobias, “tapi kau
ingin aku menentang pendapatmu. Aku tak akan melakukannya.”
“Mereka membuat pemancar yang tahan lama,” kataku.
Tobias mengangguk.
“Jadi sekarang, kita semua sudah dipersiapkan untuk beberapa
simulasi,” aku melanjutkan. “Mungkin sebanyak yang Jeanine inginkan.”
Ia mengangguk lagi.
Napasku bergetar saat mengucapkan kalimat berikutnya. “Ini
benar-benar buruk, Tobias.”
***
Di koridor di luar ruangan interogasi, Tobias berhenti dan
bersandar ke dinding.
“Jadi, kau menyerang Eric,” katanya. “Kau di bawah. Kau bisa
saja melarikan diri. Tapi, kau justru menceburkan diri ke antara pasukan
Dauntless bersenjata, sendirian. Dan, aku berani bertaruh kau tak bawa senjata.”
Aku mengatupkan bibirku.
“Benar, kan?” desak Tobias.
“Kenapa kau pikir aku tak bawa senjata?” aku merengut.
“Kau belum bisa menyentuh senjata sejak penyerangan yang
dulu itu,” jelas Tobias. “Aku mengerti kenapa. Itu karena semua yang terjadi
pada Will, tapi—”
“Itu tak ada hubungannya.”
“Oh, ya?” tanya Tobias sambil mengangkat alis.
“Aku melakukan apa yang harus kulakukan.”
“Oke. Tapi, seharusnya saat ini riwayatmu sudah tamat,”
katanya sambil menjauhi dinding dan memandangku. Koridor di markas Candor
lebar, cukup lebar sehingga aku bisa mengambil jarak sejauh mungkin dari
Tobias. “Kau seharusnya tetap di markas Amity. Kau seharusnya menjauhi semua
ini.”
“Tidak, aku seharusnya tidak melakukan itu,” aku membantah.
“Kau pikir kau tahu apa yang terbaik untukku? Kau sama sekali tidak tahu. Aku
bakal gila bersama para Amity itu. Di sini aku akhirnya merasa … waras lagi.”
“Dan, itu aneh mengingat kau bertindak seperti psikopat,”
tukas Tobias. “Tindakan yang kau lakukan kemarin itu bukan tindakan yang berani.
Itu sangat tolol—itu tindakan bunuh diri. Apakah kau tak menghargai nyawamu
sendiri?”
“Tentu saja aku menghargai nyawaku!” bentakku. “Aku berusaha
melakukan sesuatu yang berguna!”
Tobias hanya menatapku selama beberapa saat.
“Kau itu lebih daripada sekadar Dauntless,” katanya pelang.
“Tapi, kalau kau ingin jadi seperti mereka, menjerumuskan diri ke dalam situasi
konyol tanpa alasan yang jelas dan membalas musuh-musuhmu tanpa mengindahkan
norma, silakan saja. Selama ini kupikir kau lebih baik daripada itu, tapi
mungkin aku salah!”
Aku mengepalkan tanganku dan mengatupkan rahang.
“Kau seharusnya tidak mengolok-olok kaum Dauntless,” kataku.
“Mereka menerimamu saat kau tak punya tempat untuk pergi. Memercayaimu dengan
pekerjaan yang bagus. Memberimu teman-temanmu.”
Aku bersandar di dinding sambil menatap lantai. Ubin di
Merciless Mart selalu hitam dan putih. Di sini polanya seperti papan catur.
Kalau aku berkonsentrasi, aku bisa melihat apa yang tidak dipercayai para
Candor—warna abu-abu. Mungkin aku dan Tobias juga tidak memercayainya. Tidak
juga.
Aku merasa sangat berat, lebih daripada yang bisa disokong
tubuhku, begitu berat sehingga aku roboh ke lantai.
“Tris.”
Aku terus menatap.
“Tris.”
Akhirnya, aku memandangnya.
“Aku tak ingin kehilangan dirimu.”
Kami berdiri di sana selama beberapa menit. Aku tak
mengatakan apa yang kupikirkan, yaitu bahwa mungkin Tobias benar. Ada bagian
dari diriku yang ingin lenyap, yang berusaha bergabung dengan orangtuaku dan
Will supaya tak merasa sakit lagi. Sebagian dari diriku ingin melihat apa yang
akan terjadi.
***
“Jadi kau kakaknya?” tanya Lynn. “Kurasa sekarang kita tahu
siapa yang mendapat gen yang bagus.”
Aku tertawa melihat raut wajah Caleb. Mulutnya mengerucut
hingga agak cemberut dan matanya melotot.
“Kau harus pulang kapan?” tanyaku sambil menyikutnya.
Aku menggigit roti lapis yang Caleb ambilkan untukku dari
antrean di kafetaria tadi. Keberadaan Caleb di sini membuatku gugup, dari
sisa-sisa kesedihan akan keluargaku bercampur dengan sisa-sisa kesedihan akan
kehidupan Dauntlessku. Apa yan Caleb pikirkan tentang teman-temanku, faksiku?
Apa yang akan faksiku pikirkan tentang Caleb?
“Secepatnya,” jawabnya. “Aku tak mau membuat siapa pun
cemas.”
“Aku tak tahu Susan sudah ganti nama jadi ‘siapa pun’,” aku
berkomentar sambil mengangkat sebelah alis.
“Ha-ha,” tukas Caleb sambil mencibir ke arahku.
Mengolok-olok antara saudara kandung harusnya terasa biasa,
tapi tiidak bagi kami. Faksi Abnegation melarang tindakan apa pun yang bisa
membuat seseorang merasa tak nyaman, dan itu termasuk mengolok-olok.
Aku bisa merasakan betapa saat ini kami saling bersikap
hati-hati, setelah mengetahui cara lain untuk berhubungan berkat faksi baru
kami dan kematian orangtua kami. Setiap kali memandang Caleb, aku sadar kakakku
ini adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa dan aku merasa sangat inign
menjaganya, setengah mati ingin mempersempit jarak di antara kami.
“Apakah Susan itu Erudite pemberontak yang lain?” tanya Lynn
sambil menikam buncis dengan garpunya. Uriah dan Tobias masih di antrean makan
siang, menunggu di belakang dua lusin Candor yang terlalu sibuk berdebat untuk
mendapatkan makanan.
“Bukan, Susan itu tetangga kami saat masih anak-anak.
Abnegation,” aku menjelaskan.
“Dan kau pacaran dengannya?” Lynn bertanya kepada Caleb.
“Apakah kau tidak merasa itu tindakan yang bodoh? Maksudku, setelah semua ini
selesai, kalian akan berada di faksi yang berbeda dan hidup di tempat yang
sangat berbeda ….”
“Lynn,” tegur Marlene sambil menyentuh pudaknya, “tutup mulut,
oke?”
Di seberang ruangan, sesuatu yang berwarna biru menarik
perhatianku. Cara baru saja masuk. Aku meletakkan roti lapis itu, selera
makanku hilan, dan memandang ke arahnya sambil menunduk. Cara berjalan ke ujung
terjauh kafetaria, tempat para pengungsi dari faksi Erudite duduk di beberapa
meja di sana. Sebagian dari mereka sudah menanggalkan pakaian biru dan
mengenakan pakaian hitam-putih, tapi mereka masih memakai kacamata. Aku
berusaha memusatkan perhatian pada Caleb—tapi Caleb juga memandang para Erudite
itu.
“Aku tak bisa kembali ke faksi Erudite seperti mereka,” kata Caleb. “Setelah semua ini
selesai, aku tak punya faksi.”
Untuk pertama kalinya, aku melihat betapa sedihnya wajah
Caleb saat ia bicara tentang faksi Erudite. Aku tak menyadari betapa sulit
keputusan yang diambilnya untuk meninggalkan mereka.
“Kau bisa duduk bersama mereka,” kataku sambil mengangguk ke
arah para pengungsi dari faksi Erudite itu.
“Aku tak kenal mereka.” Ia mengangkat bahu. “Aku cuma satu
bulan di sana, ingat?”
Uriah menjatuhkan nampannya ke meja sammbil memberengut.
“Aku tak sengaja mendengar seseorang bicara tentang interogasi Eric saat
mengantre tadi. Tampaknya Eric hampir tidak
tahu apa pun soal rencana Jeanine.”
“Apa?” Lynn menghantam garpunya ke meja. “Kok bisa?”
Uriah mengangkat bahu dan duduk.
“Aku sih tak heran,”
ujar Caleb.
Semua orang memandangnya.
No comments:
Post a Comment