Penulis: Suzanne
Collins
“Maaf karena aku lama menjemputmu,” bisiknya ke rambutku.
Aku menghela napas dan menyentuh punggungnya dengan ujung
jariku. Aku bisa berdiri di sini sampai pingsan akibat lelah, tapi aku tak
boleh melakukan itu. Aku tak bisa. Aku menarik diri dan berkata, “Aku perlu
bicara denganmu. Bisakah kita ke tempat yang sepi?”
Tobias mengangguk, dan kami meninggalkan kafetaria. Salah
seorang Dauntless yang kami lewati berteriak, “Oh, lihat! Tobias Eaton!”
Aku hampir melupakan interogasi itu dan bahwa nama itu
sekarang diketahui semua Dauntless.
Dauntless lain berseru, “Aku melihat ayahmu di sini tadi,
Eaton! Apakah kau pergi untuk bersembunyi?”
Tobias menegakkan tubuh dan mematung, seolah ada yang
menodongkan pistol ke dadanya dan bukan mengejeknya.
“Ya, apakah kau mau sembunyi, pengecut?”
Orang-orang di sekeliling kami tertawa. Aku meraih Tobias
dan menariknya ke arah lift sebelum ia sempat bereaksi. Sepertinya ia bakal
menonjok seseorang. Atau lebih parah dari itu.
“Aku ingin memberitahumu—ayahmu datang bersama Caleb,”
kataku. “Ia dan Peter melarikan diri dari markas Amity—”
“Jadi, apa yang kau tunggu tadi?” katanya, tapi tidak dengan
kasar. Entah bagaimana, suara Tobias seakan terpisah darinya, seperti melayang
di antara kami.
“Ini bukan kabar yang bisa disampaikan di kafetaria,” aku
menjawab.
“Benar juga,” katanya.
Kami menunggu lift tanpa berbicara. Tobias menggigiti
bibirnya dan menatap ke kejauhan. Ia terus begitu hingga kami tiba di lantai
delapan belas, yang kosong. Di sana, keheningan menyelubungiku seperti saat
Caleb memelukku, menenangkanku. Aku duduk di salah satu bangku di tepi ruang
interogasi. Tobias menarik kursi Niles dan duduk di hadapanku.
“Bukannya dulu ada dua kursi?” tanyanya sambil memandang
kursi itu dengan heran.
“Ya,” kataku. “Aku, eh … melemparkannya ke luar jendela.”
“Aneh,” ia berkomentar. Tobias duduk. “Jadi, apa yang ingin
kau bicarakan? Atau apakah itu cuma tentang Marcus?”
“Bukan, bukan itu. Kau … tidak apa-apa?” tanyaku waswas.
“Tak ada peluru di kepalaku, kan?” ujar Tobias, sambil
menatap tangannya. “Jadi, aku baik-baik saja. Aku mau bicara tentang hal lain.”
“Aku ingin bicara tentang simulasi,” kataku. “Tapi
pertama-tama, yang lain dulu. Menurut ibumu Jeanine akan menyerang factionless. Jelas ia salah—dan aku tak
tahu kenapa. Faksi Candor kan tidak siap menghadapi pertempuran atau
semacamnya—”
“Coba pikirkan,” kata Tobias. “Pikir dengan baik, seperti
para Erudite.”
Aku memandangnya heran.
“Apa?” tanya Tobias. “Kalau kau tak bisa melakukan itu, kita
tak punya harapan.”
“Baiklah,” kataku. “Mmm … itu pasti karena faksi Dauntless
dan Candor merupakan target yang paling masuk akal. Karena … factionless ada di banyak tempat,
sedangkan kita semua ada di satu tempat.”
“Benar,” sahut Tobias. “Selain itu, saat Jeanine menyerang
faksi Abnegation, ia mendapatkan semua data Abnegation. Ibuku bilang faksi
Abnegation memiliki data jumlah Divergent yang factionless. Ini berarti setelah penyerangan itu barulah Jeanine
tahu bahwa proporsi Divergent yang ada di kalangan factionless lebih tinggi daripada yang ada di faksi Candor. Itu
membuat factionless menjadi sasaran
yang tak masuk akal.”
“Oke. Sekarang, ceritakan lagi tentang serum itu,” kataku.
“Serum itu punya beberapa bagian, kan?”
“Dua,” jawab Tobias sambil mengangguk. “Pemancarnya dan
cairan yang menginduksi simulasi. Pemancar itu menyampaikan informasi dari
computer ke otak, dan sebaliknya. Cairannya mengubah otak agar berada dalam
keadaan tersimulasi.”
Aku mengangguk. “Dan, pemancar itu hanya berfungsi untuk
satu simulasi, kan? Apa yang terjadi setelah itu?”
“Pemancarnya larut,” jawab Tobias. “Sejauh yang kuketahui,
faksi erudite belum sanggup membuat pemancar yang bisa bertahan lebih dari satu
simulasi, walaupun simulasi penyerangan itu adalah simulasi yang jauh lebih
lama dibandingkan simulasi lain yang pernah kulihat.”
Kata-kata “sejauh yang kuketahui” itu melekat di benakku.
Jeanine menghabiskan sebagian hidupnya untuk membuat serum itu. Kalau ia masih
memburu para Divergent, mungkin ia masih terobsesi untuk membuat teknologi yang
lebih canggih lagi.
“Ada apa, tris?” tanya Tobias.
“Kau pernah melihat ini?” tanyaku sambil menunjuk perban
yang menutupi bahuku.
“Tidak dalam jarak dekat,” jawab Tobias. “Sepanjang pagi,
aku dan Zeke mengangkut orang-orang Erudite yang terluka ke lantai empat.”
Aku membuka tepi perbanku dan menunjukkan luka tusukan
itu—yang untungnya sudah tidak berdarah lagi—dan bidang bertinta biru yang
tampaknya tidak memudar. Lalu, aku merogoh saku dan mengeluarkan jarum yang
tadinya tertanam di lenganku.
“Mereka tidak mencoba membunuh kita waktu melakukan serangan
itu. Mereka menembaki kita dengan ini,” kataku.
Tobias menyentuh area kulit berwarna biru di sekeliling luka
tusukan itu. Tadinya aku tak memperhatikan karena Tobias selalu berada di
dekatku, tapi ia tampak berbeda daripada sebelumnya, pada saat inisiasi. Ia
membiarkan bulu di wajahnya tumbuh, dan rambutnya lebih panjang daripada yang
kuingat—cukup tebal untuk menunjukkan warnanya yang cokelat, bukan hitam.
Tobias mengambil jarum itu dan mengetuk ujung cakram logam
itu. “Itu tampaknya kosong. Mungkin sebelumnya benda ini berisi zat biru yang
sekarang ada di lenganmu. Apa yang terjadi setelah kau tertembak?”
“Mereka melemparkan silinder yang mengeluarkan gas ke
ruangan, lalu semua orang pingsan. Begitulah. Semua orang kecuali Uriah, aku
dan Divergent lain.”
Tobias tidak terlihat kaget. Aku menyipitkan mata.
“Kau tahu Uriah itu Divergent?”
Tobias mengangkat bahu. “Tentu saja. Aku juga yang mengurus
simulasinya.”
“Dan kau tak memberitahuku?”
“Informasi penting,” jawab Tobias. “Informasi berbahaya.”
Aku merasa panas akibat marah. Berapa banyak yang ia
rahasiakan dariku? Aku berusaha menahannya. Tentu saja ia tak dapat
memberitahuku bahwa Uriah itu Divergent. Ia menghormati rahasia Uriah. Itu
masuk akal.
Aku berdeham. “Kau menyelamatkan kami,” kataku. “Eric
mencoba memburu kami.”
“Menurutku kita tak perlu lagi mengingat siapa yang
menyelamatkan nyawa siapa.” Ia memandangku beberapa lama.
“Omong-omong,” kataku memecah keheningan. “Setelah kami tahu
semua orang tertidur, Uriah lari ke atas untuk memperingatkan orang-orang yang
ada di atas, sedangkan aku pergi ke lantai dua untuk menyelidiki apa yang
terjadi. Eric mengumpulkan para Divergent di dekat lift, dan ia sedang memilih
siapa yang akan dibawanya pulang. Eric bilang ia hanya diizinkan membawa dua
orang. Aku tak tahu kenapa ia harus membawa Divergent.”
“Aneh,” Tobias berkomentar.
“Punya gagasan?”
“Dugaanku adalah jarum itu menyuntikkan pemancar ke dalam
tubuhmu,” katanya, “dan gas itu adalah versi aerosol dari cairan yang menguba
otak. Tapi kenapa …” kerutan muncul di antara alisnya. “Oh. Ia menidurkan semua
orang untuk mencari yang mana yang Divergent.”
“Apa menurutmu itu satu-satunya alasan Jeanine menembaki
kami dengan pemancar?”
No comments:
Post a Comment