Insurgent (Divergent #2) (35)

Penulis: Suzanne Collins

“Mengerikan,” komentarnya.

“Aku tak memperhatikan,” kataku. Aku meletakkan jarum itu dan meraih tisu untuk mengelap darah dari lenganku. “Bagaimana yang lain?”

“Marlene menceritakan lelucon, seperti biasa.” Senyum Uriah mengembang, menyebabkan lesung pipinya terlihat. “Lynn mengomel. Tunggu, kau mencabut itu dari lenganmu sendiri?” tanyanya sambil menunjuk jarum tadi. “Yaampun, Tris. Kau ini tak punya saraf atau bagaimana?”

“Kupikir aku perlu perban.”

“Kau pikir?” Uriah menggeleng. “Kau juga perlu es untuk wajahmu. Jadi, orang-orang sudah bangun. Di luar sana kacau-balau.”

Aku menyentuh rahangku. Tempat yang tadi terkena pisau Eric terasa lembut—aku harus memasang salep penyembuh agar tidak memar.

“Eric mati?” Aku tak tahu jawaban apa yang kuharapkan, ya atau tidak.

“Tidak. Sebagian anggota Candor memutuskan untuk merawatnya.” Uriah cemberut ke arah wastafel. “Sesuatu tentang memperlakukan tahanan dengan beradap. Sekarang ini Kang sedang menginterogasi Eric, secara pribadi. Tak ingin kita di sana, mengganggu kedamaian atau apalah.”

Aku mendengus.

Yeah. Omong-omong, tak seorang pun yang mengerti,” lanjut Uriah sambil bertengger di tepi wastafel di sebelahku. “Kenapa menyerbu ke sini dan menembakkan benda-benda itu kea rah kita, lalu membuat kita pingsan? Kenapa tidak membunuh kita?”

“Entahlah,” kataku. “Menurutmu, satu-satunya kegunaan dari itu adalah agar mereka bisa tahu siapa yang Divergent dan siapa yang bukan. Tapi, pasti alasannya bukan cuma itu.”

“Aku tak mengerti kenapa mereka dendam kepada kita. Maksudku, saat mereka mencoba mengendalikan pikiran pasukan mereka, okelah, tapi sekarang? Rasanya tak ada gunanya.”

Aku mengerutkan kening sambil menekankan tisu ke bahuku, untuk menghentikan pendarahan. Uriah benar. Jeanine sudah punya pasukan. Jadi, mengapa sekarang membunuh Divergent?

“Jeanine tak berniat untuk membunuh semua orang,” kataku pelan. “Ia tahu itu tindakan yang tak masuk akal. Tanpa setiap faksi, masyarakat tidak berfungsi, karena setiap faksi, masyarakat tidak berfungsi, karena setiap faksi melatih anggotanya untuk melakukan pekerjaan tertentu. Yang ia inginkan adalah kontrol.”

Aku mendongak memandang bayanganku. Rahangku bengkak dan bekas kuku terlihat ada di lenganku. Menjijikkan.

“Jeanine pasti merencanakan simulasi lain,” aku melanjutkan. “Sama seperti sebelumnya, tapi kali ini ia inin memastikan semua orang ada di bawah pengaruh simulasi itu atau mati.”

“Tapi simulasi itu hanya bertahan sebentar,” tukas Uriah. “Simulasi itu tak berguna, kecuali kalau kau berusaha mencapai hal tertentu.”

“Benar.” Aku mendesah. “Entahlah. Aku tak mengerti.” Aku mengambil jarum tadi. “Aku juga tak tahu benda apa ini. Kalau ini suntikan penginduksi-simulasi lain, ini hanya sekali pakai. Jadi, kenapa menembak kita dengan benda ini cuma supaya kita pingsan? Tak masuk akal.”

“Entahlah, Tris. Tapi, saat ini kita memiliki segedung orang panic yang harus diurus. Ayo kita cari perban untukmu.” Uriah berhenti lalu berkata, “Bisa minta tolong?”

“Apa?”

“Jangan katakan kepada siapa pun bahwa aku ini Divergent.” Ia menggigit bibirnya. “Shauna itu temanku, dan aku tak ingin ia tiba-tiba takut padaku.”

“Tentu,” kataku sambil memaksakan diri tersenyum. “Aku akan merahasiakannya.”

***

Sepanjang malam aku terjaga untuk mencabuti jarum dari lengan orang-orang. Setelah beberapa jam, aku tak lagi berusaha melakukannya dengan lemah-lembut. Aku hanya menarik sekuat mungkin.

Ternyata anak Candor yang kepalanya ditembak Eric bernama Bobby. Kondisi Eric stabil. Dari ratusan orang di Merciless Mart, hanya delapan puluh orang yang tidak ditancapi jarum, tujuh puluhnya adalah Dauntless, dan salah satunya adalah Christina. Sepanjang malam aku memikirkan jarum, serum, dan simulasi, berusaha memahami jalan pikiran musuhku.

Pada pagi harinya, tak ada jarum yang harus kulepaskan sehingga aku pergi ke kafetaria sambil menggosok mata. Jack Kang mengumumkan nanti siang ada rapat, jadi mungkin aku bisa tidur setelah makan.

Namun, saat berjalan memasuki kafetaria, aku melihat Caleb.

Kakakku itu berlari ke arahku dan memelukku dengan hati-hati. Aku mendesah lega. Kupikir aku sudah mencapai masa tidak membutuhkan kakakku lagi, tapi kupikir masa itu tak pernah ada. Aku menyandarkan tubuhku sesaat, dan menatap mata Tobias dari balik bahu Caleb.

“Kau baik-baik saja?” tanya Caleb sambil menyudahi pelukannya. “Rahangmu ….”

“Taka pa,” kataku. “Cuma bengkak.”

“Kudengar mereka mendapatkan banyak Divergent dan mulai menembaki mereka. Syukurlah mereka tak menemukanmu.”

“Sebenarnya, mereka menemukanku. Tapi yang mereka bunuh cuma satu,” kataku. Aku mencubit batang hidungku untuk meredakan sebagian tekanan di kepalaku. “Tapi aku taka pa-apa. Kapan kau sampai?”

“Sekitar sepuluh menit yang lalu. Aku datang bersama Marcus,” katanya. “Sebagai satu-satunya pemimpin politik kami yang sah, ia merasa wajib berada di sini—kami tidak mendengar kabar mengenai serangan hingga satu jam yang lalu. Seorang factionless melihat para Dauntless menyerbu gedung, dan perlu waktu hingga kabar itu beredar di antara para factionless.”

“Marcus hidup?” tanyaku. Aku memang tak pernah melihat Marcus mati ketika kami melarikan diri dari kompleks Amity, tapi kukira ia sudah meninggal. Aku tak yakin harus merasa bagaimana. Kecewa, mungkin, karena aku membenci perlakukannya terhadap Tobias? Atau lega, karena pemimpin Abnegation terakhir masih hidup? Apakah munkin aku bisa merasakan keduanya?

“Marcus dan Peter berhasil lolos, lalu berjalan ke kota,” Caleb menjelaskan.

Aku sama sekali tiidak senang mengetahui Peter masih hidup. “Jadi, Peter di mana?”

“Ia ada di tempat yang kau duga,” jawab Caleb.

“Erudite,” kataku. Aku menggeleng. “Dasar—”

Aku bahkan tak bisa menemukan kata-kata yang pas untuknya. Tampaknya aku harus memperkaya kosakataku.

Wajah Caleb berkerut sebentar, lalu ia mengangguk dan menyentuh bahuku. “Kau lapar? Mau kuambilkan sesuatu?”

“Ya, tolong,” kataku. “Aku akan segera kembali, oke? Aku perlu bicara dengan Tobias.”

“Oke.” Caleb meremas lenganku dan berlalu, mungkin ke antrean di kafetaria yang panjangnya berkilo-kilo. Aku dan Tobias berdiri dengan jarak beberapa meter satu sama lain selama beberapa saat.

Ia mendekatiku dengan perlahan.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya.

“Aku bakal muntah kalau harus menjawab itu lagi,” kataku. “Tak ada peluru di kepalaku, kan? Jadi, aku baik-baik saja.”

“Bengkak di rahangmu begitu besar seolah-olah ada gumpalan makanan di pipimu. Selain itu, kau menikam Eric,” katanya sambil mengernyitkan dahi. “Apakah aku tak boleh menanyakan keadaanmu?”

Aku mendesah. Seharusnya aku memberitahunya tentang Marcus, tapi aku tak mau melakukannya di sini, karena ada banyak orang. “Yeah. Aku baik-baik saja.”

Lengan Tobias tersentak seakan-akan ia berpikir untuk menyentuhku, tapi kemudian memutuskan untuk tidak melakukannya. Lalu, ia berpikir ulang dan menyelipkan lengannya di sekelilingku, menarikku ke dekatnya.

Tiba-tiba aku pikir mungkin aku dapat membiarkan orang lain mengambil semua risiko. Mungkin aku akan mulai bersikap egois agar bisa tetap berada di dekat Tobias tanpa menyakitinya. Yang kuinginkan hanyalah menguburkan wajahku di lehernya dan melupakan segalanya.



No comments:

Post a Comment