Insurgent (Divergent #2) (34)

Penulis: Suzanne Collins

Jeritan tertahan keluar dari mulutku saat anak itu tersungkur ke lantai, dan aku menutup mataku kuat-kuat. Setiap otot di tubuhku ingin bergerak kea rah Eric, tapi aku menahan diri. Tunggu, tunggu, tunggu. Aku tak boleh memikirkan anak itu. Tunggu. Aku memaksa diriku membuka mata dan mengerjap untuk menyingkirkan air mata.

Jeritanku menghasilkan satu hal: sekarang Eric berdiri di hadapanku, tersenyum. Aku menarik perhatiannya.

“Kau juga agak muda,” kata Eric. “Jauh dari selesai berkembang.”

Ia melangkah mendekatiku. Ujung jariku bergeser mendekati gagang pisau.

“Sebagian besar Divergent mendapat dua hasil pada saat tes kecakapan. Sebagian lagi hanya memperoleh satu. Tak pernah ada yang dapat tiga, bukan karena kecakapannya, tapi karena untuk mendapatkan hasil itu ia harus menolah memilih sesuatu,” jelas Eric sambil terus mendekat. Aku memiringkan kepala dan menatapnya, memandang seluruh kilau logam di wajahnya, matanya yang kosong.

“Atasanku menduga kau dapat dua, Tris,” katanya. “Menurut mereka kau tidak serumit itu—hanya seseorang dengan kecakapan Abnegation dan Dauntless yang seimbang—yang selalu bersikap tanpa pamrih dengan bodohnya. Atau, mungkin terlalu berani hingga ambang ketololan?

Aku menggenggam gagang pisau dan meremasnya. Eric mendekat.

“Di antara kita saja, ya … aku pikir kau mungkin memang dapat tiga, karena kau ini jenis orang keras kepala yang tak akan mau memilih saat disuruh,” ujarnya. “Apakah kau mau member pencerahan padaku?”

Aku menerjang sambil menarik tanganku dari saku belakang dan menutup mata saat menusukkan bilah pisau itu ke atas menuju tubuh Eric. Aku tak ingin melihat darahnya.

Aku merasakan pisau itu melesak, lalu menariknya. Sekujur tubuhku berdenyut seirama dengan detak jantungku. Tengkukku lengket akibat keringat. Aku membuka mata saat Eric tersungkur ke lantai, lalu—keadaan kacau-balau.

Para Dauntless pembelot tidak memegang senjata mematikan, hanya senjata yang menembakkan benda entah apa yang tadi mereka tembakkan, jadi mereka bergegas mengambil senjata sungguhan. Saat mereka melakukan itu, Uriah melontarkan dirinya ke salah satu Dauntless pembelot dan menghajar rahangnya. Kesadaran lenyap dari mata prajurit itu dan ia roboh, pingsan. Uriah mengambil pistol prajurit itu dan mulai menembaki para Dauntless yang ada di dekat kami.

Aku meraih pistol Eric tapi terlalu panik sehingga sulit melihat. Saat mendongak, aku berani sumpah jumlah Dauntless di ruangan itu sudah berlipat ganda. Bunyi ledakan pistol memekakkan telingaku. Aku tiarap saat semua orang mulai berlari. Jari-jariku menyentuh laras pistol, dan aku bergidik. Tanganku terlalu lemah untuk memegangnya.

Sebuah lengan kokoh merangkul bahuku dan mendorongku ke dinding. Bahu kananku panas. Aku melihat tato simbol Dauntless di belakang leher orang itu. Tobias berbalik, berjongkok untuk melindungiku dari peluru, lalu menembak.

“Suruh orang-orang ke belakangku!” serunya.

Aku mengintip dari balik bahunya, mencengkeram erat atasan Tobias.

Ada lebih banyak Dauntless di sini, Dauntless tanpa ban lengan biru—Dauntless setia. Faksiku. Faksiku datang untuk menyelamatkan kami. Mengapa mereka sadar?

Para Dauntless pembelot kabur dari depan lift. Mereka tidak siap menghadapi serangan, apalagi dari segala sisi. Sebagian dari mereka melawan, tapi sebagian besarnya lari ke tangga. Tobias terus menembak hingga senjatanya kehabisan peluru dan pelatuknya menyebabkan bunyi klik. Pandanganku terlalu kabur akibat air mata dan tanganku terlalu tak berguna untuk menembakkan senjata. Aku menjerit dengan gigi terkatup. Frustrasi. Aku tak bisa membantu. Aku ini tak berguna.

Di lantai, Eric mengerang. Ia masih hidup, untuk saat ini.

Bunyi tembakan perlahan-lahan berhenti. Tanganku basah. Aku melihat warna merah dan tahu tanganku tertutupi darah—darah Eric. Aku menusapkannya ke celanaku dan berusaha menyingkirkan air mata dengan mengerjap. Telingaku berdenging.

“Tris,” panggil Tobias. “Kau bisa menurunkan pisau itu sekarang.”[]

17

Tobias menceritakan ini kepadaku:

Saat para Erudite mencapai tangga lobi, salah satu dari mereka tidak naik ke lantai dua. Ia justru berlari ke salah satu lantai tertinggi gedung itu. Di sana ia mengungsikan sekelompok Dauntless setia—termasuk Tobias—ke tangga darurat yang belum disegel Dauntless pembelot. Para Dauntless setia berkumpul di lobi dan membentuk empat kelompok yang menyerbu tangga secara bersamaan dan mengepung para Dauntless pembelot yang berkumpul di depan lift.

Para Dauntless pembelot tidak siap menghadapi perlawanan seperti itu. Mereka pikir semua orang selain Divergent pingsan, jadi mereka kabur.

Erudite yang melakukan itu adalah Cara. Kakak Will.

***

Sambil mendesah, aku membiarkan jaket meluncur dari lenganku dan memeriksa bahuku. Sebuah cakram logam seukuran kuku jari kelingkingku menempel erat di kulit. Di sekelilingnya ada sebidang garis-garis berwarna biru, seakan-akan ada yang menyuntikkan tinta biru ke pembuluh darah kecil tepat di bawah permukaan kulitku. Sambil menerutkan kening, aku berusaha mengupas cakram logam itu dari lenganku dan merasakan sakit yang menyayat.

Aku mengatupkan gigi dan menyisipkan bilah pisauku ke bawah cakram itu, lalu mencongkel. Aku menjerit tertahan saat rasa sakit menjalar ke sekujur tubuhku, membuat segalanya menghitam selama sesaat. Tapi, aku terus mencongkel, sekuat mungkin, sampai cakram itu terangkat cukup tinggi sehingga aku bisa memegangnya. Di bawah cakram itu ada jarum yang menempel.

Aku tercekik, mencengkeram cakram itu dengan ujung jariku, dan menarik sekali lagi. Kali ini jarumnya lepas. Jarum itu sepanjang jariku yang paling kecil dan berlumuran dengan darahku. Aku mengabaikan darah yang mengalir menuruni lenganku dan memegang cakram serta jarum itu ke arah cahaya di atas wastafel.

Dilihat dari warna biru di lenganku dan jarum itu, pasti mereka menyuntuk kami dengan sesuatu. Tapi apa? Racun? Peledak?

Aku menggeleng. Kalau mereka ingin membunuh kami, sebagian besar dari kami pingsan dan mereka bisa saja menembak kami semua. Apa pun yang mereka suntikkan bukanlah untuk membunuh kami.

Seseorang mengetuk pintu. Aku tak tahu mengapa—lagii pula aku di toilet umum.

“Tris, kau di dalam?” tanya suara teredam Uriah.

Yeah,” aku menyahut.

Uriah tampak lebih baik daripada satu jam lalu—ia sudah membersihkan darah dari mulutnya, dan wajahnya sudah kembali berwarna. Tiba-tiba aku kaget saat menyadari betapa tampannya Uriah—seluruh bagiian tubuhnya proporsional, matanya gelap dan hidup, kulitnya berwarna cokelat-tembaga. Dan mungkin sejak dulu ia sudah setampan itu. Hanya anak laki-laki yang sudah tampan sejak kecil yang memiliki sombong seperti itu.

Tidak seperti Tobias, yang agak malu saat tersnyum, seakan-akan ia kaget karena ada yang mau memandangnya.

Kerongkonganku sakit. Aku meletakkan jarum dan cakram itu di tepi wastafel.

Uriah memandangku, jarum di tanganku, lalu darah yang mengalir dari bahu ke pergelanan tanganku.



No comments:

Post a Comment