Penulis: Suzanne
Collins
Jeritan tertahan keluar dari mulutku saat anak itu
tersungkur ke lantai, dan aku menutup mataku kuat-kuat. Setiap otot di tubuhku
ingin bergerak kea rah Eric, tapi aku menahan diri. Tunggu, tunggu, tunggu. Aku tak boleh memikirkan anak itu. Tunggu. Aku memaksa diriku membuka mata
dan mengerjap untuk menyingkirkan air mata.
Jeritanku menghasilkan satu hal: sekarang Eric berdiri di
hadapanku, tersenyum. Aku menarik perhatiannya.
“Kau juga agak muda,” kata Eric. “Jauh dari selesai
berkembang.”
Ia melangkah mendekatiku. Ujung jariku bergeser mendekati
gagang pisau.
“Sebagian besar Divergent mendapat dua hasil pada saat tes
kecakapan. Sebagian lagi hanya memperoleh satu. Tak pernah ada yang dapat tiga,
bukan karena kecakapannya, tapi karena untuk mendapatkan hasil itu ia harus
menolah memilih sesuatu,” jelas Eric sambil terus mendekat. Aku memiringkan
kepala dan menatapnya, memandang seluruh kilau logam di wajahnya, matanya yang
kosong.
“Atasanku menduga kau dapat dua, Tris,” katanya. “Menurut
mereka kau tidak serumit itu—hanya seseorang dengan kecakapan Abnegation dan
Dauntless yang seimbang—yang selalu bersikap tanpa pamrih dengan bodohnya.
Atau, mungkin terlalu berani hingga ambang ketololan?
Aku menggenggam gagang pisau dan meremasnya. Eric mendekat.
“Di antara kita saja, ya … aku pikir kau mungkin memang dapat tiga, karena kau ini jenis orang
keras kepala yang tak akan mau memilih saat disuruh,” ujarnya. “Apakah kau mau
member pencerahan padaku?”
Aku menerjang sambil menarik tanganku dari saku belakang dan
menutup mata saat menusukkan bilah pisau itu ke atas menuju tubuh Eric. Aku tak
ingin melihat darahnya.
Aku merasakan pisau itu melesak, lalu menariknya. Sekujur
tubuhku berdenyut seirama dengan detak jantungku. Tengkukku lengket akibat
keringat. Aku membuka mata saat Eric tersungkur ke lantai, lalu—keadaan
kacau-balau.
Para Dauntless pembelot tidak memegang senjata mematikan,
hanya senjata yang menembakkan benda entah apa yang tadi mereka tembakkan, jadi
mereka bergegas mengambil senjata sungguhan. Saat mereka melakukan itu, Uriah
melontarkan dirinya ke salah satu Dauntless pembelot dan menghajar rahangnya.
Kesadaran lenyap dari mata prajurit itu dan ia roboh, pingsan. Uriah mengambil
pistol prajurit itu dan mulai menembaki para Dauntless yang ada di dekat kami.
Aku meraih pistol Eric tapi terlalu panik sehingga sulit
melihat. Saat mendongak, aku berani sumpah jumlah Dauntless di ruangan itu
sudah berlipat ganda. Bunyi ledakan pistol memekakkan telingaku. Aku tiarap
saat semua orang mulai berlari. Jari-jariku menyentuh laras pistol, dan aku
bergidik. Tanganku terlalu lemah untuk memegangnya.
Sebuah lengan kokoh merangkul bahuku dan mendorongku ke
dinding. Bahu kananku panas. Aku melihat tato simbol Dauntless di belakang
leher orang itu. Tobias berbalik, berjongkok untuk melindungiku dari peluru,
lalu menembak.
“Suruh orang-orang ke belakangku!” serunya.
Aku mengintip dari balik bahunya, mencengkeram erat atasan
Tobias.
Ada lebih banyak
Dauntless di sini, Dauntless tanpa ban lengan biru—Dauntless setia. Faksiku.
Faksiku datang untuk menyelamatkan kami. Mengapa mereka sadar?
Para Dauntless pembelot kabur dari depan lift. Mereka tidak
siap menghadapi serangan, apalagi dari segala sisi. Sebagian dari mereka
melawan, tapi sebagian besarnya lari ke tangga. Tobias terus menembak hingga
senjatanya kehabisan peluru dan pelatuknya menyebabkan bunyi klik. Pandanganku
terlalu kabur akibat air mata dan tanganku terlalu tak berguna untuk
menembakkan senjata. Aku menjerit dengan gigi terkatup. Frustrasi. Aku tak bisa
membantu. Aku ini tak berguna.
Di lantai, Eric mengerang. Ia masih hidup, untuk saat ini.
Bunyi tembakan perlahan-lahan berhenti. Tanganku basah. Aku
melihat warna merah dan tahu tanganku tertutupi darah—darah Eric. Aku
menusapkannya ke celanaku dan berusaha menyingkirkan air mata dengan mengerjap.
Telingaku berdenging.
“Tris,” panggil Tobias. “Kau bisa menurunkan pisau itu
sekarang.”[]
17
Tobias menceritakan ini kepadaku:
Saat para Erudite mencapai tangga lobi, salah satu dari
mereka tidak naik ke lantai dua. Ia justru berlari ke salah satu lantai
tertinggi gedung itu. Di sana ia mengungsikan sekelompok Dauntless
setia—termasuk Tobias—ke tangga darurat yang belum disegel Dauntless pembelot.
Para Dauntless setia berkumpul di lobi dan membentuk empat kelompok yang
menyerbu tangga secara bersamaan dan mengepung para Dauntless pembelot yang
berkumpul di depan lift.
Para Dauntless pembelot tidak siap menghadapi perlawanan
seperti itu. Mereka pikir semua orang selain Divergent pingsan, jadi mereka
kabur.
Erudite yang melakukan itu adalah Cara. Kakak Will.
***
Sambil mendesah, aku membiarkan jaket meluncur dari lenganku
dan memeriksa bahuku. Sebuah cakram logam seukuran kuku jari kelingkingku
menempel erat di kulit. Di sekelilingnya ada sebidang garis-garis berwarna
biru, seakan-akan ada yang menyuntikkan tinta biru ke pembuluh darah kecil
tepat di bawah permukaan kulitku. Sambil menerutkan kening, aku berusaha
mengupas cakram logam itu dari lenganku dan merasakan sakit yang menyayat.
Aku mengatupkan gigi dan menyisipkan bilah pisauku ke bawah
cakram itu, lalu mencongkel. Aku menjerit tertahan saat rasa sakit menjalar ke
sekujur tubuhku, membuat segalanya menghitam selama sesaat. Tapi, aku terus
mencongkel, sekuat mungkin, sampai cakram itu terangkat cukup tinggi sehingga
aku bisa memegangnya. Di bawah cakram itu ada jarum yang menempel.
Aku tercekik, mencengkeram cakram itu dengan ujung jariku,
dan menarik sekali lagi. Kali ini jarumnya lepas. Jarum itu sepanjang jariku
yang paling kecil dan berlumuran dengan darahku. Aku mengabaikan darah yang
mengalir menuruni lenganku dan memegang cakram serta jarum itu ke arah cahaya
di atas wastafel.
Dilihat dari warna biru di lenganku dan jarum itu, pasti
mereka menyuntuk kami dengan sesuatu. Tapi apa? Racun? Peledak?
Aku menggeleng. Kalau mereka ingin membunuh kami, sebagian
besar dari kami pingsan dan mereka bisa saja menembak kami semua. Apa pun yang
mereka suntikkan bukanlah untuk membunuh kami.
Seseorang mengetuk pintu. Aku tak tahu mengapa—lagii pula
aku di toilet umum.
“Tris, kau di dalam?” tanya suara teredam Uriah.
“Yeah,” aku
menyahut.
Uriah tampak lebih baik daripada satu jam lalu—ia sudah
membersihkan darah dari mulutnya, dan wajahnya sudah kembali berwarna.
Tiba-tiba aku kaget saat menyadari betapa tampannya Uriah—seluruh bagiian
tubuhnya proporsional, matanya gelap dan hidup, kulitnya berwarna
cokelat-tembaga. Dan mungkin sejak dulu ia sudah setampan itu. Hanya anak laki-laki
yang sudah tampan sejak kecil yang memiliki sombong seperti itu.
Tidak seperti Tobias, yang agak malu saat tersnyum,
seakan-akan ia kaget karena ada yang mau memandangnya.
Kerongkonganku sakit. Aku meletakkan jarum dan cakram itu di
tepi wastafel.
Uriah memandangku, jarum di tanganku, lalu darah yang
mengalir dari bahu ke pergelanan tanganku.
No comments:
Post a Comment