Insurgent (Divergent #2) (33)

Penulis: Suzanne Collins

“Aku tak mengerti,” katanya, “kenapa kau bisa cukup bodoh untuk naik ke sini tanpa senjata.”

“Yah, aku cukup pintar untuk melakukan ini,” balasku. Aku menginjak kakinya keras-keras, yang kutembak kurang dari sebulan yang lalu. Eric menjerit, wajahnya berkerut, dan menghantamkan popor pistol itu ke rahangku. Aku mengatupkan gigi untuk menahan erangan. Darah menetes menuruni leherku—ia merobek kulitku.

Walaupun begitu, cengkeramannya di lenganku tak pernah mengendur. Namun, fakta bahwa ia tidak menembak kepalaku mengungkapkan sesuatu: Ia berlum diizinkan untuk membunuhku.

“Aku kaget ternyata kau masih hidup,” ia berkomentar. “Mengingat akulah yang member tahu Jeanine untuk membuat tangki air hanya untukmu.”

Aku berusaha memikirkan tindakan yang bisa cukup menyakitinya agar melepaskanku. Aku baru saja memutuskan untuk menendang selangkangannya dengan keras saat ia bergerak ke belakangku dan mencengkeram kedua lenganku, lalu menekankan tubuhnya ke tubuhku sehingga aku sulit menggerakkan kakiku. Kuku-kukunya menghunjam kulitku dan aku menggertakkan gigi, akibat rasa sakit sekaligus perasaan mual karena dadanya menempel di punggungku.

“Jeanine pikir memperlajari salah satu reaksi Divergent di dunia nyata dan bukannya dalam simulasi akan menyenangkan,” ujar Eric. Ia menekanku ke depan sehingga aku harus berjalan. Napasnya menggelitik rambutku. “Dan aku setuju. Kau lihat, kecerdikan—salah satu kualitas yang kami hargai di faksi Erudite—membutuhkan kreativitas.”

Ia menggerakkan tangannya hingga kapalan di tangannya menyapu lenganku. Aku menggerakkan tubuhku sedikit ke kiri sambil berjalan, berusaha menempatkan salah satu kakiku di antara kakinya yang melangkah maju. Aku senang melihat Eric pincang.

“Terkadang kreativitas tampak sia-sia, tidak logis … kecuali jika dilakukan untuk tujuan yang lebih besar. Dalam kasus ini, mengumpulkan pengetahuan.”

Aku berhenti berjalan, cukup lama untuk mengangkat tumitku, dengan keras, ke antara kakinya. Teriakan bernada tinggi tertahan di lehernya, berhenti sebelum mulai, dan tangannya goyah untuk sesaat. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk menekuk tubuhku sekuat mungkin dan melepaskan diri. Aku tak tahu harus lari ke mana, tapi aku harus berlari, aku harus—

Eric meraih sikuku dan menyentakkanku ke belakang, menekankan ibu jarinya ke luka di bahuku, memutarnya hingga rasa sakit membuat pandanganku menghitam di bagian tepinya dan aku menjerit sekeras tenaga.

“Aku kira sku ingat melihat bahumu tertembak dalam video waktu kau berada di tangki air,” katanya. “Tampaknya aku benar.”

Lututku tertekuk di bawah tubuhku. Eric merenggut kerah leherku dengan asal-asalan, lalu menyeretku ke depan lift. Kain jaketku mencengkeram leherku, mencekikku, dan aku terhuyung-huyung mengikutinya. Tubuhku berdenyut-denyut akibat rasa sakit yang masih terasa.

Saat kami tiba di depan lift, ia memaksaku berlutut di samping wanita Candor yang tadi kulihat. Wanita itu dan empat orang lainnya duduk di antara dua deret lift, dijaga para Dauntless bersenjata.

“Aku mau satu senjata diarahkan kepadanya terus-menerus,” perintah Eric. “Bukan cuma diacungkan ke arahnya. Diarahkan kepadanya.”

Seorang pria Dauntless menekankan laras pistol ke tengkukku. Benda itu membentuk lingkaran dingin di kulitku. Aku memandang Eric. Wajahnya merah, matanya berair.

“Kenapa, Eric?” tanyaku sambil mengangkat alis. “Takut pada gadis kecil?”

“Aku tidak bodoh,” tukasnya sambil mengusap rambut. “Akting gadis kecil itu mungkin pernah berhasil, tapi sampai sekarang tidak. Kau ini anjing penyerang terbaik yang mereka miliki.” Ia membungkuk ke arahku. “Karena itu aku yakin sebentar lagi kau bakal dibereskan.”

Salah satu lift terbuka. Seorang prajurit Divergent mendorong Uriah—bibirnya bernoda dara—ke arah barisan pendek Divergent. Uriah melirik ke arahku, tapi aku tak bisa membaca ekspresinya dengan cukup baik untuk mengetahui apakah ia berhasil atau gagal. Karena Uriah ada di sini, kemungkinan ia gagal. Sekarang, mereka akan menemukan seluruh Divergent di gedung ini, dan sebagian besar dari kami akan mati.

Mungkin aku seharusnya takut. Namun, tawa histeris justru menggelegak di dalam diriku karena aku teringat sesuatu:

Mungkin aku memang tak memegang pistol. Tapi, di saku belakangku ada pisau.[]

16

Aku menggeser tanganku ke belakang, senti demi senti, sehingga prajurit yang menodongkan senjatanya ke arahku tidak menyadarinya. Pintu lift terbuka lagi, membawa lebih banyak Divergent dan Dauntless pembelot. Wanita Candor di sebelah kananku sesegukan. Helaian rambut menempel di bibirnya, yang basah entah akibat ludah atau air mata.

Tanganku meraih tepi saku belakangku. Aku tetap diam, jari-jariku bergetar karena tegang. Aku harus menunggu saat yang tepat, saat Eric dekat.

Aku memutuskan perhatian pada napasku, membayangkan udara mengiri setiap bagian paru-paruku saat menarik napas, lalu saat mengembuskan napas aku mengingat bagaimana seluruh darahku, yang membawa oksigen maupun tidak, bergerak menuju maupun dari jantung yang sama.

Lebih mudah memikirkan biologi daripada Divergent yang duduk berderet di antara lit-lift. Seorang anak laki-laki Candor yang tak lebih daripada sebelas tahun duduk di sebelah kiriku. Ia lebih berani daripada wanita di sebelah kananku. Anak itu menatap prajurit Dauntless di depannya, tanpa berkedip.

Udara masuk, udara keluar. Darah mengalir ke seluruh anggota tubuhku—jantung itu otot yang kuat, otot paling kuat di dalam tubuh dalam hal daya tahannya. Semakin banyak Dauntless yang datang, melaporkan telah menyisir lantai-lantai di Merciless Mart dengan sukses. Ratusan orang pingsan di lantai, ditembak dengan sesuatu yang bukan peluru, tapi aku tak tahu mengapa.

Namun, aku memikirkan jantung. Bukan jantungku lagi, melainkan jantung Eric, dan betapa hampa bunyi dadanya saat jantungnya tak lagi berdetak. Walaupun sangat membenci Eric, aku tidak sungguh-sungguh ingin membunuhnya, setidaknya bukan dengan pisau dan bukan dengan jarak yang begitu dekat sehingga bisa melihat nyawanya pergi. Tapi, aku hanya punya satu kesempatan untuk melakukan sesuatu yang berguna. Jika aku ingin menghantam faksi Erudite dengan telak, aku harus mengambil salah satu pemimpinnya.

Aku melihat tak seorang pun yang membawa anak perempuan Candor yang kuperingatkan tadi ke depan lift sini. Itu artinya ia pasti sudah pergi. Bagus.

Eric mengatupkan tangannya di belakang dan mulai berjalan cepat, mondar-mandir, di depan deretan Divergent.

“Aku diperintahkan membawa dua dari kalian ke markas Erudite untuk diuji,” Eric mengumumkan. “Sisanya akan dieksekusi. Ada beberapa cara untuk menentukan siapa di antara kalian yang tak cukup berguna bagi kami.”

Langkahnya melambat saat mendekatku. Aku mengencangkan jari-jariku, hampir meraih gagang pisau, tapi Eric tidak cukup dekat. Ia terus berjalan dan berhenti di depan anak laki-laki di sebelah kiriku.

“Perkembangan otak berhenti pada usia dua puluh lima,” ujar Eric. “Karena itu kemampuan Divergentmu belum cukup berkembang.”

Eric mengangkat pistol dan menembak.



No comments:

Post a Comment