Insurgent (Divergent #2) (32)

Penulis: Suzanne Collins

Aku mengangkat bahu. “Kita berdoa saja semoga tidak.”

Aku berlari kea rah tangga dan ia mengikutiku. Begitu kakiku menyentuh anak tangga pertama, aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin kulakukan. Pasti ada banyak Divergent di gedung ini, tapi apakah mereka menyadari apa mereka itu? Apakah mereka akan bersembunyi? Dan, apa yang kuharapkan dari menyamarkan diriku sendiri menjadi salah satu prajurit Dauntless pembelot?

Di dalam hati aku tahu jawabannya: Aku sedang bertindak ceroboh. Aku mungkin tak akan mendapatkan apa-apa. Aku mungkin bakal mati.

Namun anehnya: Aku benar-benar tak peduli.

“Mereka ke atas,” kataku di sela-sela napasku. “Jadi kau harus … pergi ke lantai tiga. Bilang pada mereka untuk … evakuasi. Pelan-pelan.”

Kau sendiri mau ke mana?”

“Lantai dua,” aku menjawab. Aku mendorong bahuku ke pintu lantai dua. Aku tahu apa yang harus kulakukan di lantai dua: mencari Divergent.

***

Saat menyusuri koridor dan berjalan di antara orang-orang pingsan berbaju hitam dan putih, aku teringat syair lagu yang biasa dinyanyikan anak-anak Candor saat mereka pikir tak ada yang mendengar.

Dauntless yan paling bengis dari kelimanya
Mereka saling robek hingga jadi serpihan ….

Sekarang, aku melihat kebenaran lagu itu, melihat Dauntless pembelot menginduksi simulasi tidur yang tak jauh berbeda dibandingkan simulasi yang memaksa mereka membunuh anggota faksi Abnegation, tak sampai satu bulan yang lalu.

Kami satu-satunya faksi yang bisa terpecah seperti ini. Faksi Amity tak akan mengizinkan perpecahan. Di faksi Abnegation, tak ada seorang pun yang akan bertindak seegois ini. Faksi Candor akan berdebat hingga menemukan solusi bersama. Bahkan, faksi Erudite tak akan pernah melakukan sesuatu yang begitu tidak logis seperti ini. Kami memang faksi paling bengis.

Aku melangkahi lengan terbalut dan seorang wanita dengan mulut ternganga, sambil menyenandungkan bagian awal bait selanjutnya dari lagu tadi dengan pelan.

Erudite yang paling dingin dari kelimanya
Pengetahuan itu sesuatu yang mahal ….

Aku bertanya-tanya kapan Jeanine menyadari bahwa faksi Erudite dan Dauntless akan menjadi kombinasi memastikan. Tampaknya kekejaman dan logika yang dingin dapat menyelesaikan hampir segalanya, termasuk menyebabkan satu setengah faksi tertidur.

Sambil berjalan, aku memandangi wajah-wajah dan tubuh-tubuh, mencari napas yang tak teratur, kelopak yang bergerak, apa pun yang menunjukkan orang-orang yang terbaring di lantai ini hanya pura-pura pingsan. Sejauh ini, semua napas teratur dan semua kelopak mata tak bergerak. Mungkin tak ada orang Candor yang Divergent.

“Eric!” Aku mendengar seseorang berteriak dari ujung koridor. Aku menahan napas saat ia berjalan ke arahku. Aku berusaha tidak bergerak. Kalau aku bergerak, ia akan melihatku dan mengenaliku, aku tahu itu. Aku menunduk. Tubuhku gemetar karena sangat tegang. Jangan melihatku jangan melihatku jangan melihatku ….

Eric berderap melewatiku dan menyusuri koridor di kiriku. Aku bisa melanjutkan pencarianku secepat mungkin, tapi rasa ingin tahu mendesakku maju, menuju orang yang memanggil Eric. Teriakan tadi kedengarannya penting.

Saat mengangkat pandangan, aku melihat seorang prajurit Dauntless berdiri di depan seorang wanita yang sedang berlutut. Wanita itu mengenakan blus putih dan rok hitam, dengan tangan di belakang kepala. Senyuman Eric tampak serakah, bahkan dari kejauhan.

“Divergent,” katanya. “Bagus. Bawa wanita ini ke depan lift. Nanti kita putuskan mana yang dibunuh dan mana yang dibawa pulang.”

Prajurit Dauntless itu mencengkeram ekor kuda si Wanita, lalu menyeretnya ke depan lift. Wanita itu memekik, kemudian berdiri sambil membungkuk. Aku berusaha menelan ludah, tapi rasanya seolah ada gumpalan kapas di kerongkonganku.

Eric terus menyusuri koridor, menjauhiku. Aku berusaha untuk tidak memandang saat wanita Candor itu melewatiku dengan terhuyung-huyung, rambutnya masih di genggaman prajurit Dauntless tadi. Tapi sekarang, aku tahu bagaimana teror itu bekerja: Aku membiarkannya memengaruhiku selama beberapa detik, kemudian aku memaksa diriku bertindak.

Satu… dua … tiga ….

Aku melangkah maju dengan tekad baru. Memandang setiap orang untuk melihat apakah ada yang masih sadar terlalu menyita waktu. Begitu mencapai orang pingsan berikutnya, aku menginjak jari kelingkingnya. Tak ada reaksi, tak ada sentakan sedikit pun. Aku melangkahinya dan menginjak jari orang berikutnya, menekan denan keras menggunakan ujung sepatuku. Tak ada reaksi juga.

Saat mendengar seseorang berteriak, “Dapat satu!” dari koridor yang jauh, aku merasa kalut. Aku melompati pria, wanita, anak-anak, remaja, dan orang tua, sambil menginjak jari, perut, atau tumit, mencari tanda-tanda kesakitan. Setelah beberapa saat, aku tak lagi melihat wajah mereka, tapi aku tetap tak mendapatkan reaksi. Aku main petak umpet dengan Divergent, tapi aku bukan satu-satunya orang yang “jaga”.

Lalu terjadilah. Aku menginjak jari kelingking seorang gadis Candor dan wajahnya berkedut. Hanya sedikit—usahanya menyembunyikan rasa sakit patut diacungi jempol—tapi cukup untuk menarik perhatianku.

Aku menoleh dari balik bahuku untuk melihat apakah ada orang di dekatku, tapi mereka semua bergerak pergi dari koridor tengah ini. Aku mencari tangga terdekat—ada satu, jaraknya hanya tiga meter, di koridor samping di kananku. Aku berjongkok di dekat kepala anak perempuan itu.

“Hei, Nak,” kataku sepelan mungkin. “Tak apa. Aku bukan salah satu dari mereka.”

Mata anak itu terbuka, hanya sedikit.

“Ada tangga tiga meter dari sini,” kataku. “Aku akan memberitahumu jika tak ada yang melihat, lalu kau harus lari, mengerti?”

Ia mengangguk.

Aku berdiri dan berbalik pelan. Seorang Dauntless pembelot di kiriku sedang memandang kea rah lain sambil menyentuh seorang Dauntless pincang dengan kakinya. Dua Dauntless pembelot di belakangku sedang menertawakan sesuatu. Satu di depanku berjalan ke arahku, tapi kemudian ia mengangkat kepalanya dan berjalan ke koridor lagi, menjauhiku.

“Sekarang,” kataku.

Anak itu bangkit dan berlari kea rah pintu menuju tangga. Aku mengawasinya hingga pintu itu menutup, dan melihat bayanganku di salah satu jendela. Tapi, aku tidak berdiri sendirian di koridor penuh orang tidur seperti yang kukira. Eric berdiri tepat di belakangku.

***

Aku menatap bayangannya dan ia balas menatapku. Aku bisa melarikan diri dari ini. Jika aku bergerak cukup cepat, ia mungkin tak sempat berpikir untuk meraihku. Tapi bahkan, saat genggaman itu muncul, aku tahu aku tak akan bisa melarikan diri darinya. Dan aku tak bisa menembaknya karena aku tidak membawa pistol.

Aku berbalik sambil mengangkat sikuku dan menyodokkannya ke wajah Eric. Sikuku mengenai ujung dagunya, tapi tidak cukup kuat sehingga tak berpengaruh apa pun. Eric mencengkeram lengan kiriku dengan satu tangan dan menekankan laras pistol ke dahiku dengan tangan yang lain, sambil menunduk dan tersenyum ke arahku.



No comments:

Post a Comment