Penulis: Suzanne
Collins
Aku mengangkat bahu. “Kita berdoa saja semoga tidak.”
Aku berlari kea rah tangga dan ia mengikutiku. Begitu kakiku
menyentuh anak tangga pertama, aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin
kulakukan. Pasti ada banyak Divergent di gedung ini, tapi apakah mereka
menyadari apa mereka itu? Apakah mereka akan bersembunyi? Dan, apa yang
kuharapkan dari menyamarkan diriku sendiri menjadi salah satu prajurit
Dauntless pembelot?
Di dalam hati aku tahu jawabannya: Aku sedang bertindak ceroboh.
Aku mungkin tak akan mendapatkan apa-apa. Aku mungkin bakal mati.
Namun anehnya: Aku benar-benar tak peduli.
“Mereka ke atas,” kataku di sela-sela napasku. “Jadi kau
harus … pergi ke lantai tiga. Bilang pada mereka untuk … evakuasi.
Pelan-pelan.”
“Kau sendiri mau
ke mana?”
“Lantai dua,” aku menjawab. Aku mendorong bahuku ke pintu
lantai dua. Aku tahu apa yang harus kulakukan di lantai dua: mencari Divergent.
***
Saat menyusuri koridor dan berjalan di antara orang-orang
pingsan berbaju hitam dan putih, aku teringat syair lagu yang biasa dinyanyikan
anak-anak Candor saat mereka pikir tak ada yang mendengar.
Dauntless yan paling
bengis dari kelimanya
Mereka saling robek
hingga jadi serpihan ….
Sekarang, aku melihat kebenaran lagu itu, melihat Dauntless
pembelot menginduksi simulasi tidur yang tak jauh berbeda dibandingkan simulasi
yang memaksa mereka membunuh anggota faksi Abnegation, tak sampai satu bulan
yang lalu.
Kami satu-satunya faksi yang bisa terpecah seperti ini.
Faksi Amity tak akan mengizinkan perpecahan. Di faksi Abnegation, tak ada
seorang pun yang akan bertindak seegois ini. Faksi Candor akan berdebat hingga
menemukan solusi bersama. Bahkan, faksi Erudite tak akan pernah melakukan
sesuatu yang begitu tidak logis seperti ini. Kami memang faksi paling bengis.
Aku melangkahi lengan terbalut dan seorang wanita dengan
mulut ternganga, sambil menyenandungkan bagian awal bait selanjutnya dari lagu
tadi dengan pelan.
Erudite yang paling
dingin dari kelimanya
Pengetahuan itu
sesuatu yang mahal ….
Aku bertanya-tanya kapan Jeanine menyadari bahwa faksi
Erudite dan Dauntless akan menjadi kombinasi memastikan. Tampaknya kekejaman
dan logika yang dingin dapat menyelesaikan hampir segalanya, termasuk
menyebabkan satu setengah faksi tertidur.
Sambil berjalan, aku memandangi wajah-wajah dan tubuh-tubuh,
mencari napas yang tak teratur, kelopak yang bergerak, apa pun yang menunjukkan
orang-orang yang terbaring di lantai ini hanya pura-pura pingsan. Sejauh ini,
semua napas teratur dan semua kelopak mata tak bergerak. Mungkin tak ada orang
Candor yang Divergent.
“Eric!” Aku mendengar seseorang berteriak dari ujung
koridor. Aku menahan napas saat ia berjalan ke arahku. Aku berusaha tidak
bergerak. Kalau aku bergerak, ia akan melihatku dan mengenaliku, aku tahu itu.
Aku menunduk. Tubuhku gemetar karena sangat tegang. Jangan melihatku jangan melihatku jangan melihatku ….
Eric berderap melewatiku dan menyusuri koridor di kiriku.
Aku bisa melanjutkan pencarianku secepat mungkin, tapi rasa ingin tahu mendesakku
maju, menuju orang yang memanggil Eric. Teriakan tadi kedengarannya penting.
Saat mengangkat pandangan, aku melihat seorang prajurit
Dauntless berdiri di depan seorang wanita yang sedang berlutut. Wanita itu
mengenakan blus putih dan rok hitam, dengan tangan di belakang kepala. Senyuman
Eric tampak serakah, bahkan dari kejauhan.
“Divergent,” katanya. “Bagus. Bawa wanita ini ke depan lift.
Nanti kita putuskan mana yang dibunuh dan mana yang dibawa pulang.”
Prajurit Dauntless itu mencengkeram ekor kuda si Wanita,
lalu menyeretnya ke depan lift. Wanita itu memekik, kemudian berdiri sambil
membungkuk. Aku berusaha menelan ludah, tapi rasanya seolah ada gumpalan kapas
di kerongkonganku.
Eric terus menyusuri koridor, menjauhiku. Aku berusaha untuk
tidak memandang saat wanita Candor itu melewatiku dengan terhuyung-huyung,
rambutnya masih di genggaman prajurit Dauntless tadi. Tapi sekarang, aku tahu
bagaimana teror itu bekerja: Aku membiarkannya memengaruhiku selama beberapa
detik, kemudian aku memaksa diriku bertindak.
Satu… dua … tiga ….
Aku melangkah maju dengan tekad baru. Memandang setiap orang
untuk melihat apakah ada yang masih sadar terlalu menyita waktu. Begitu
mencapai orang pingsan berikutnya, aku menginjak jari kelingkingnya. Tak ada
reaksi, tak ada sentakan sedikit pun. Aku melangkahinya dan menginjak jari
orang berikutnya, menekan denan keras menggunakan ujung sepatuku. Tak ada
reaksi juga.
Saat mendengar seseorang berteriak, “Dapat satu!” dari
koridor yang jauh, aku merasa kalut. Aku melompati pria, wanita, anak-anak,
remaja, dan orang tua, sambil menginjak jari, perut, atau tumit, mencari
tanda-tanda kesakitan. Setelah beberapa saat, aku tak lagi melihat wajah
mereka, tapi aku tetap tak mendapatkan reaksi. Aku main petak umpet dengan
Divergent, tapi aku bukan satu-satunya orang yang “jaga”.
Lalu terjadilah. Aku menginjak jari kelingking seorang gadis
Candor dan wajahnya berkedut. Hanya sedikit—usahanya menyembunyikan rasa sakit
patut diacungi jempol—tapi cukup untuk menarik perhatianku.
Aku menoleh dari balik bahuku untuk melihat apakah ada orang
di dekatku, tapi mereka semua bergerak pergi dari koridor tengah ini. Aku
mencari tangga terdekat—ada satu, jaraknya hanya tiga meter, di koridor samping
di kananku. Aku berjongkok di dekat kepala anak perempuan itu.
“Hei, Nak,” kataku sepelan mungkin. “Tak apa. Aku bukan
salah satu dari mereka.”
Mata anak itu terbuka, hanya sedikit.
“Ada tangga tiga meter dari sini,” kataku. “Aku akan
memberitahumu jika tak ada yang melihat, lalu kau harus lari, mengerti?”
Ia mengangguk.
Aku berdiri dan berbalik pelan. Seorang Dauntless pembelot
di kiriku sedang memandang kea rah lain sambil menyentuh seorang Dauntless
pincang dengan kakinya. Dua Dauntless pembelot di belakangku sedang
menertawakan sesuatu. Satu di depanku berjalan ke arahku, tapi kemudian ia
mengangkat kepalanya dan berjalan ke koridor lagi, menjauhiku.
“Sekarang,” kataku.
Anak itu bangkit dan berlari kea rah pintu menuju tangga.
Aku mengawasinya hingga pintu itu menutup, dan melihat bayanganku di salah satu
jendela. Tapi, aku tidak berdiri sendirian di koridor penuh orang tidur seperti
yang kukira. Eric berdiri tepat di belakangku.
***
Aku menatap bayangannya dan ia balas menatapku. Aku bisa
melarikan diri dari ini. Jika aku bergerak cukup cepat, ia mungkin tak sempat
berpikir untuk meraihku. Tapi bahkan, saat genggaman itu muncul, aku tahu aku
tak akan bisa melarikan diri darinya. Dan aku tak bisa menembaknya karena aku
tidak membawa pistol.
Aku berbalik sambil mengangkat sikuku dan menyodokkannya ke
wajah Eric. Sikuku mengenai ujung dagunya, tapi tidak cukup kuat sehingga tak
berpengaruh apa pun. Eric mencengkeram lengan kiriku dengan satu tangan dan
menekankan laras pistol ke dahiku dengan tangan yang lain, sambil menunduk dan
tersenyum ke arahku.
No comments:
Post a Comment